in

Menelusuri Pulau Pagai Utara dan Selatan Kepulauan Mentawai -3

Perkampungan Masuk HPH, Warga Resah Digusur

Miskin dan terisolir. Itulah keseharian warga Kepulauan Mentawai. Bertambah usia kabupaten, tidak lantas mengantarkan warga sejahtera. Kini, mereka justru terancam tergusur dari kampung halaman karena masuk kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). 

Masyarakat Pagai Utara, hidup dalam ketidakpastian. Mereka tak bisa mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB), membangun, ataupun  membuka akses jalan. 

“Indonesia baru merdeka tahun 1945. Namun, kampung kami (Dusun Silaomau, Desa Taikako, red) sudah ada jauh sebelum itu. Cuma saja, sekarang kok batas patok HPH ada di halaman rumah kami. Kami berharap keluar dari HPH,” tegas Efendi Sapolakkai, ketua Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) Taikako ketika audiensi dengan tim Pemprov Sumbar dan Pemkab Mentawai, Selasa (6/12) lalu. 

Di hadapan Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintahan Pemprov Sumbar, Jefrinal Arifin, Asisten II Setkab Mentawai Lubis Sabelau dan pejabat lainnya, Efendi mempertanyakan batas HPH dengan perkampungan. Sebab, sekarang batas patok HPH ada di depan rumah warga.

“Otomatis, kami mengurus segala macam surat seperti IMB tidak bisa. Kepada siapa kami harus melaporkan ini?” tanya Efendi. Data yang dihimpun Padang Ekspres, Dusun Silaomau bukanlah satu-satunya perkampungan penduduk dalam HPH.

Di Desa Taikako, beberapa permukiman berada dalam kawasan hutan produksi (HP). Di antaranya, permukiman hunian tetap (huntap) Dusun Maguiru, Dusun Silabu, Dusun Rua Minga, Dusun Bulak Monga, Dusun Matoininit Jaya.

Lalu, Dusun Silaoinan Barat, Silaoinan Timur, Silaoinan Selatan, Dusun Taikako Hulu Timur dan Taikako Hulu Barat yang masuk kawasan hutan produksi dengan HPH milik PT Minas Pagai Lumber (MPL).

Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terungkap bahwa lahan hutan yang dikuasai warga di Desa Taikako, Kecamatan Sikakap mencapai 2.843 ha.

Sehari sebelum pertemuan warga dengan Pemprov Sumbar, Padang Ekspres sempat mengunjungi Dusun Taikako Hulu Timur, Desa Taikako. Sama halnya dengan dusun-dusun lain di Kecamatan Pagai Utara, akses jalan ke dusun ini bak kubangan kerbau. Hanya bisa dilalui sepeda motor.  

Begitu memasuki dusun ini, tampak sebuah gereja yang sedang dibangun. Anak-anak asyik bermain dekat gereja. Beberapa warga bergotong-royong membersihkan jalan yang becek.

Di perkampungan itu, umumnya rumah warga berbentuk pondok kayu. Tidak ada listrik, sinyal, ataupun fasilitas air bersih dan mandi cuci kakus (MCK) di dalam rumah warga. 

Kepala Dusun Taikako Hulu Timur, Satriman Sababalat menuturkan, Dusun Taikako Hulu Timur merupakan kampung tua di Pulau Pagai Utara. Mereka menghuni dusun itu turun menurun. Kini, kampung itu dihuni 120 kepala keluarga. Rata-rata warga bertani dan berkebun dengan tanaman utama pinang, pisang, talas dan manau. 

Sejak tahun 2014 lalu, Dusun Taikako Hulu Timur dan dusun lainnya di Desa Taikako masuk Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT MPL selaku pemilik HPH di Pulau Pagai Utara dan Selatan.

Sebagai kompensasi, PT MPL memberikan fee kayu kepada masyarakat dengan nilai Rp 25 ribu per kubik, plus pembangunan gereja. Pembagian fee lewat badan pengurus. 

Masyarakat Dusun Taikko Hulu Timur berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar hanya tamatan SD. Ini disebabkan lokasi SMP yang jauh dari kampung mereka. Hanya ada SMPN 2 di Sikakap. Mereka harus berangkat sekolah pukul 05.30 berjalan kaki sejauh 6 km. 

Keluarga Rinjani Sabelau, 74, salah satu keluarga miskin di dusun itu. Nenek ini tinggal di pondok di pinggir hutan. Tanpa penerangan dan MCK. Sehari-hari bertahan hidup dari pisang dan talas.

“Berbekal satu tandan pisang dan beberapa talas, saya bisa bertahan seminggu. Biasanya, pisang itu saya rebus,” ujar perempuan tersebut dengan bahasa Mentawai yang diterjemahkan kepala dusun.

Selain beberapa dusun di Desa Taikako, pancang HPH juga terdapat di dekat rumah warga di Desa Saumanganya. Ketika Padang Ekspres mengunjungi desa itu, beberapa pancang ditemui di dekat rumah warga di Dusun Pujaringan. 

Kepala Dusun Pujaringan, Desa Saumanganya, Kecamatan Pagai Utara, Kurnia Sapalakkai mengatakan, pancang itu dipasang PT MPL akhir 2014 lalu. Kendati sempat diprotes, pihak perusahaan mengklaim sudah sesuai peta yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan. 

Data yang diperoleh Padang Ekspres, izin konsesi di Pagai Utara dan Selatan dipegang PT MPL. Perusahaan yang beroperasi mulai tahun 1972 ini sempat berhenti, sebelum akhirnya beroperasi lagi. Konsesi miliki perusahaan ini, separuh luas Kecamatan Pagai Utara. 

Ketika dikonfirmasi, Kabag Sosial Masyarakat PT MPL, Marsono mengakui ada permukiman dan ladang masyarakat dalam HPH. Meski begitu, pihaknya berkomitmen tidak akan mengusir masyarakat.

“Kami memasang patok sesuai peta Kementerian Kehutanan. Namun, kami tidak memaksakan diri guna menghindari konflik dengan warga,” jelasnya.

Terkait fee kayu, menurut dia, perusahaan memberikan Rp 25 ribu per kubik kepada masyarakat. Selain fee, perusahaan juga rutin menyalurkan CSR (corporate social responsibility) sesuai permintaan warga melalui pemerintahan desa. 

Selama ini, kata Marsono, bantuan disalurkan berbentuk land clearing perumahan, jalan, pembuatan tugu, pembangunan kantor desa, kantor karang taruna dan pembangunan fasilitas publik lainnya. Ada juga pemberian bibit padi dan pembangunan gereja di Taikako Hulu Timur. 

Sekadar diketahui, berdasarkan Kepmenhut No SK.052/Menhut-II/2013 tentang Pemberian Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam kepala PT MPL atas Areal Hutan Produksi Seluas 78.000 Hektare di Mentawai, pada poin J ditegaskan PT MPL diwajibkan melakukan kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat paling lambat satu tahun setelah diberikan izin. Sejauh ini, keberadaan koperasi di sana belum terealisasi.

Peneliti LIPI, Gutomo Bayu Aji memaparkan, luas kawasan hutan di Kecamatan Pagai Utara mencapai 36.577,78 ha. Namun, 19.883,83 ha merupakan hutan produksi, 1.295,44 ha hutan lindung dan areal penggunaan lain hanya 14.886,35 ha. 

Di Kecamatan Sikakap, dari total 32.598,21 ha luas hutan, luas APL hanya 12.957,20 ha. Sisanya seluas 19.640,01 ha adalah hutan produksi. Sedangkan di Pagai Selatan luas hutan mencapai 84.593,54 ha. Sebanyak 58,394, 90 ha di antaranya hutan produksi, sisanya hutan lindung dan suaka alam. Hanya 21.964, 21 ha yang merupakan APL.

Jika dilihat dari keseluruhan Mentawai, luas hutan mencapai 601,135,00 ha. Dari luas itu, hanya 109.217,71 ha areal penggunaan lain, atau bisa dimanfaatkan Pemkab Mentawai dan masyarakat untuk pembangunan.

Sisanya, milik negara terdiri dari 183.378,87 kawasan suaka alam, 7.670,73 hutan lindung, 246.011,41 ha hutan produksi. Sedangkan 54.856,28 ha hutan produksi konversi (HPK). 

Berdasarkan penelitiannya, sejak tahun 1969 konsesi hutan Mentawai telah diserahkan ke banyak perusahaan. Jika dihitung dari dua HPH saja, sejak tahun 1969-1992 sudah bisa menghasilkan uang Rp 4-7 triliun.

Jika dipakai untuk pembangunan, bisa untuk membangun Trans Mentawai senilai Rp 3 triliun, empat bandara masing-masing Rp 50 miliar, 43 unit SD senilai Rp 86 miliar dan infrastruktur lainnya, seperti RSUD, pasar rakyat dan perguruan tinggi.

Kenyataannya, pengelolaan hutan cenderung eksploitatif, deforestasi, mendegradasi lingkungan, serta ancaman biodiversitas asli Mentawai. Hasil eksploitasi SDH (sumber daya hutan) itu dibawa keluar Mentawai dan dinikmati kalangan luar Mentawai.

Itulah sebabnya, Mentawai sampai sekarang tercatat sebagai kabupaten termiskin di Sumbar (BPS, 2014). Tingkat kemiskinan sekitar 15 persen (13.265 jiwa), jauh di atas angka kemiskinan nasional sekitar 11 persen. Sebagian besar penduduknya hanya berpendidikan SD. Pelayanan kesehatan sangat buruk, serta angka harapan hidup relatif rendah sekitar 63,55 (2014).

Keberadaan hutan ini menghambat pembangunan Mentawai. Dari total panjang jalan Trans Mentawai mencapai 393,3 km, sepanjang 254 km atau 65 persen berada dalam hutan negara. Yakni, 183 km melintasi HP dan 71 km melintasi HPK. 

Mempertimbangkan situasi dan kondisi di atas, menurut dia, pembangunan di Mentawai seharusnya diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Paradigma pembangunan sudah seharusnya digeser dari eksploitatif ke berkelanjutan. 

“Terkait pengelolan kawasan hutan, sebaiknya mulai digeser ke arah pengelolaan berbasis komunitas melalui berbagai skema perhutanan sosial dan hutan adat. Untuk mencapai itu, diperlukan kolaborasi berbagai pihak di Mentawai plus pemerintah pusat melalui serangkaian dialog yang diakomodasi dalam perencanaan pembangunan daerah,” ujarnya dalam Semiloka Pengelolaan Potensi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta Kawasan Hutan

Mentawai di Kantor Gubernur Sumbar, beberapa waktu lalu. Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai mendesak pemerintah menghentikan pemberian konsesi seperti HPH dan HTI, dan meminta pemerintah mengembalikan hak kelola hutan ke masyarakat adat.

“Hutan produksi dan hutan lindung yang sudah dijadikan permukiman dan ladang masyarakat, juga harus dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan,” ujar Direktur YCM, Rifai Lubis. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Indonesia vs Thailand 2 – 1: Juara di Depan Mata

QS. An Nahl: 67