Para pemegang kekuasaan di Jakarta, berhentilah sejenak bertengkar. Tentang Pansus Angket KPK, tentang Perppu Ormas, atau tentang apa saja. Tengoklah ke Deiyai nun di Papua.
Di sana, wabah campak tengah merajalela. Sudah puluhan anak terenggut nyawanya. Yang kalau tak segera mendapat perhatian intensif dari berbagai pihak, bisa saja menjadi tragedi kemanusiaan yang lebih mengerikan lagi.
Bayangkan, bahkan jumlah korban pun sampai kemarin masih simpang siur. Yang pertama dari Dinas Kesehatan Papua, sudah 40 anak meninggal (13/7). Lalu direvisi menjadi 27 anak sehari kemudian, yang berbeda dengan versi dari Deiyai yang menyebut korbannya 36 anak.
Begitu pula penyebabnya. Dari Jayapura, campak disebut sebagai penyebab tunggal. Tapi, dari Deiyai, terdengar setidaknya tujuh penyakit yang jadi pemicu. Begitu pula soal sudah berapa lama pagebluk itu berlangsung.
Deiyai, yang dimekarkan dari Paniai pada 2008, memang berada di pedalaman Papua. Akses ke sana sangat sulit. Rute darat melalui Nabire harus melewati jalur berkelok-kelok nan terjal. Pilihan lainnya adalah lewat udara yang sudah pasti tak murah.
Tapi, justru karena keterisolasian itu, semua pihak, harus segera bergandengan tangan erat dengan yang ada di Deiyai.
Tenaga medis sangat minim di sana. Dokter di kabupaten yang terdiri atas lima distrik tersebut cuma lima. Itu pun, menurut bupati setempat, jarang berada di tempat. Puskesmas juga cuma dua.
Padahal, persoalan yang dihadapi sungguh tidak ringan. Campak atau apa pun penyakit yang jadi pemicu pagebluk di Deiyai muncul karena rendahnya kesadaran terhadap pola hidup sehat.
Jadi, yang dibutuhkan adalah penanganan menyeluruh. Tak hanya mengobati, tapi juga mengantisipasi. Diperlukan sosialisasi masif tentang pentingnya menjaga kesehatan dari tingkat yang paling fundamental.
Memang tak mudah dan tak murah. Harus ditanggung bersama-sama. Untuk itulah kita bernegara. Indonesia bukan cuma Jakarta, yang tiap hari menyuguhi kita pertengkaran yang kita tahu di mana ujungnya dan untuk apa. (*)
LOGIN untuk mengomentari.