Jakarta (ANTARA) – Sekali lagi Indonesia berhasil menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Bukan bidang politik atau ekonomi, tapi terkait perubahan iklim yang dampaknya bisa ke politik dan ekonomi. KTT Archipelagic and Island States (AIS) Forum 2023 semakin menegaskan kepemimpinan Indonesia dalam geopolitik dan geostrategi global. Sebanyak 32 pemimpin dari negara-negara kepulauan hadir.
Prediksi para ahli iklim, negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan merupakan wilayah yang paling terancam dampak perubahan iklim. Ancamannya berupa berkurangnya luas daratan akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, berubahnya mata pencaharian masyarakat akibat sulitnya berlayar karena cuaca tidak menentu, berkurangnya wilayah pertanian di dekat pantai, gangguan transportasi lintas pulau, hilangnya objek wisata pulau, dan menurunnya biodiversitas.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter di atas permukaan laut (BPS: 2020). Diprediksikan pada 2050, kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil (USAID: 2016). Kemungkinan ini sangat mungkin terjadi mengingat 75 persen kota besar Indonesia terletak di wilayah pesisir (Dahuri: 2006). Nilai potensial ekonomi yang hilang dalam kurun 2020 – 2024 diperkirakan mencapai Rp.81,53 Triliun (Bappenas: 2021).
Hal yang sama akan terjadi di negara-negara anggota AIS. Dari Tuvalu hingga Dominika, dari Pasifik Selatan hingga Karibia, negara-negara kepulauan kecil ini berada di garis depan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut telah mengubah bentuk dan membanjiri dataran rendah, seperti Kepulauan Marshall dan Tuvalu. Badai yang semakin parah yang melanda Fiji dan Vanuatu di Pasifik, Sao Tome dan Príncipe di Atlantik khatulistiwa, dan Dominika di Karibia.
Kenaikan permukaan air laut kemungkinan akan semakin memburuk dalam tiga dekade mendatang. Hilangnya rumah, jalan, dan infrastruktur lainnya, naiknya permukaan laut menimbulkan dampak hukum yang serius bagi negara-negara kepulauan kecil, hilangnya hak teritorial dan akses terhadap sumber daya (World Bank: 2022).
Dampak tersebut semakin meruncing dengan potensi ancaman pertahanan yang ditimbulkan. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga potensi ancaman dari perubahan iklim ini.
Pertama, perubahan batas teritorial laut yang semakin menyempit. Hilangnya sebuah pulau, secara hukum juga menghilangkan batas pulau itu sendiri. Batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) sepanjang 200 mil laut dari garis dasar, dimana luas pantai teritorial telah ditentukan juga akan hilang.
Dengan demikian, luas wilayah laut lepas akan semakin luas. Di laut lepas banyak kemungkinan gangguan keamanan dan ancaman yang akan terjadi. Kapal-kapal perompak bergerak bebas di sana, yang mana hal ini dapat mengganggu kapal-kapal kargo dengan tujuan bisnis. Kriminalitas lain, seperti penyelundupan narkoba, perdagangan senjata dan barang-barang ilegal, serta perdagangan manusia semakin leluasa bergerak di laut lepas.
Demikian pula, kapal perang dan pesawat tempur dapat bergerak bebas di sana. Ruang ancaman untuk menuju ZEE negara di sekitar pulau yang hilang semakin tinggi.
Kedua, sumber daya yang terkandung dalam lautan berpotensi menjadi perebutan dan sengketa negara-negara di sekitar pulau yang hilang ini. Berkaca dari kasus klaim China terhadap wilayah LCS yang menggunakan pulau buatan sebagai basis, kemungkinan yang sama juga terjadi jika satu pulau hilang.
Sumber daya yang terkandung di dalam laut sangat menggiurkan. Selain ikan dan biota laut lainnya, minyak di dasar lautan bagai kemilau di mata negara-negara yang haus sumber daya. Perebutan sumber daya seringkali berakhir dengan konflik militer dan mengganggu iklim perdamaian dunia.
Ketiga, negara-negara kepulauan kecil dengan penduduk terbatas, selain menanggung dampak kehilangan hak teritorialnya, mereka juga akan menjadi beban imigrasi bagi negara-negara lain. Migrasi dalam jumlah besar berpotensi menimbulkan masalah sosial dan politik di dalam negara tujuan migrasi.
Sebagai ilustrasi, terdapat hampir 8 juta pengungsi Ukraina yang terdaftar di seluruh Eropa. Menurut data PBB, Sekitar 160.000 orang berhasil melintasi Mediterania pada tahun 2022 ke Eropa bagi orang-orang yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. Terorisme, kriminalitas, dan konflik sosial terjadi setelah muncul gelombang migrasi ini.
Sejumlah negara kepulauan pasifik yang getol membela gerakan kemerdekaan Papua tidak terlepas dari kekhawatiran mereka terhadap ancaman kehilangan teritorial wilayah negara. Kemana lagi negara-negara yang berpotensi tenggelam ini akan berlindung membawa penduduk mereka jika bukan ke negara-negara yang memiliki daratan luas. Mereka hendak memastikan bahwa negara yang hendak menjadi tujuan migrasi bisa dikontrol dengan cara memberi dukungan gerakan separatisme.
Sebagai negara-negara yang terdampak, sudah selayaknya para pemimpin negara kepulauan memikirkan hal ini secara serius untuk dapat bahu membahu di masa yang akan datang. Sebagai negara kepulauan terbesar, sudah selayaknya Indonesia tampil memimpin untuk bersama-sama memikirkan, mencari solusi, dan melaksanakan solusi terbaik bagi semua peserta KTT AIS.
Maka, sudah tepat langkah Indonesia untuk maju ke depan memimpin dengan cara yang elegan dan damai. Bahwa wilayah laut harus dijaga bersama-sama berbasis teritori negara-negara kepulauan. Komitmen Indonesia untuk terus mencapai target net-zero akan bernilai positif terhadap dampak perubahan iklim. Setidaknya menunda lebih lama naiknya permukaan air laut.
Di masa yang akan datang, dampak perubahan iklim ini tidak hanya menjadi urusan kementerian sektoral, tetapi juga harus menjadi perhatian dalam merumuskan strategi pertahanan nasional. Tiga ancaman di atas sangat nyata. Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan Kementerian Luar Negeri harus mempertimbangkan ancaman tersebut dalam satu strategi kebijakan yang terintegrasi.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah analis intelijen, pertahanan, dan keamanan, Rektor Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal Jakarta