Di Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang tergolong endemis. Kasusnya sekitar 300-800 per 100.000 populasi dalam setahun. Kematian (mortalitas) pada pasien yang dirawat inap adalah 3,1-10,4%. Insiden yang tinggi berkaitan dengan higiene dan sanitasi yang buruk.
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang merupakan jenis bakteri gram negatif, memiliki flagel, dan tidak berspora. Salmonella merupakan bagian dari keluarga enterobakter, yaitu bakteri yang menyerang saluran cerna. Salmonella ditularkan melalui jalur fekal oral atau makanan yang tercemar tinja penderita atau pembawa demam tifoid.
Demam tifoid ditandai dengan demam yang berlangsung lebih dari 7 hari, disertai dengan gangguan saluran cerna, dan dapat disertai dengan penurunan atau gangguan kesadaran. Demam tifoid dikenal juga sebagai enteric fever, gastric fever, dan abdominal typhus. Diantara istilah-istilah tersebut, yang cukup populer adalah demam enterik yang selama ini banyak dipakai untuk menyebut demam tifoid.
Demam tifoid didiagnosis oleh dengan tampilan klinis, demam stepladder (naik turun), sakit kepala, malaise (tidak enak badan), anoreksia (tidak nafsu makan), bradikardia (denyut jantung melambat) relatif, disertai gejala saluran cerna (diare atau konstipasi). Demam yang dialami biasanya cukup tinggi, yaitu 39-40 dalam ukuran celcius. Pada pemeriksaan bisa saja ditemukan lidah yang kotor berkerak (typhoid tongue), ruam kulit (rose spot), nyeri pada perut, peningkatan bising usus, dan pembesaran hati serta limpa (hepatosplenomegali). Komplikasi berat yang terjadi pada demam tifoid adalah penurunan kesadaran (pada tifoid toksik), perdarahan saluran cerna, kebocoran (perforasi), dan peradangan lapisan perut peritoneum (peritonitis).
Penatalaksanaan Demam Tifoid
Prinsip tata laksana demam tifoid adalah mencegah perburukan, komplikasi, dan kematian. Selain itu, dalam terapi demam tifoid diharapkan dapat mengeradikasi (memberantas) kuman Salmonella typhi. Beberapa terapi penting dalam terapi demam tifoid dalam perawatan adalah pemberian cairan infus, diet lunak rendah serat, pemberian antipiretik (penurun demam), dan pemberian antibiotik. Pada penderita yang dirawat, antibiotik diberikan melalui suntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena atau melalui drip (selang infus dengan pengaturan tetesan). Antibiotik yang digunakan untuk rawat inap adalah golongan sefalosporin, yaitu ceftriaxon, cefotaksim, dan cefoperazon. Pilihan lainnya adalah golongan fluorkuinolon, yaitu ciprofloksasin.
Ceftriakson merupakan salah satu obat yang populer dalam tata laksana demam tifoid. Dalam terapi standar disebutkan bahwa pemberian obat ini secara drip dengan dosis 3 gram selama 5-7 hari. Berbagai studi menyebutkan keunggulan ceftriakson dalam hal waktu singkat dalam mencapai penurunan demam. Cefalosporin aman dan memiliki angka kesembuhan yang sangat baik. Untuk penderita yang hamil, kategorinya B sehingga masih bisa digunakan untuk penderita hamil dengan demam tifoid. (*)