PEREKONOMIAN global tersandera ketidakpastian yang makin besar. Belum pulih sepenuhnya akibat pandemi Covid-19 dan dampak buruk dari perang Ukraina-Rusia, perekonomian dunia “dihantam” oleh kebijakan “brutal” Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve). Mereka menaikkan suku bunga dengan “ugal-ugalan”.
Imbas kebijakan The Fed ini menyebabkan pemulihan ekonomi terancam dan bahkan diperkirakan pada 2023 perekonomian dunia menuju resesi. Terutama pada negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya alam.
Kebijakan The Fed juga menyebabkan depresiasi mata uang negara lain yang cukup parah. Akibatnya, negara-negara berkembang akan mengalami kesulitan membayar angsuran utang serta menggagalkan upaya untuk menekan inflasi akibat dari kenaikan harga barang impor.
Sebagai wujud protes terhadap kebijakan Amerika Serikat (AS) yang dianggap “egoistis” dalam berekonomi di dunia yang terkoneksi, Negeri Paman Sam di-bully sebagai pembawa rasa sakit (vector of pain) ke seluruh dunia, yang akibatnya lebih buruk daripada perang Ukraina-Rusia. Bahkan, mata uang dolar yang sering disebut Green Buck sekarang dipelesetkan sebagai Green Monster.
Brutal
Kebijakan antiinflasi The Fed dengan menaikkan suku bunga secara ekonomi adalah wajar. Suku bunga adalah instrumen moneter yang paling umum dan dianggap paling efektif dalam mengatasi inflasi. Bahkan, ini telah menjadi “dogma” yang diikuti ekonom seluruh dunia.
Kebijakan suku bunga sering dipandang sebagai the only game the town. Artinya, bank sentral akan menggunakan instrumen tersebut dan tidak peduli apakah efektif atau tidak. Mereka juga tidak peduli “ongkos” yang harus dibayar perekonomian.
Ironisnya, bank sentral seluruh dunia akan menggunakan instrumen suku bunga untuk mengatasi hampir semua problem ekonomi, termasuk inflasi maupun pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi (overheating economy). Kebijakan ini seolah menjadi instrumen “sapu jagat”.
Namun, yang dilakukan The Fed saat ini sungguh aksi yang tidak “bermoral”. Sebelumnya mereka mengeluarkan kebijakan pencetakan dan mengedarkan uang besar-besaran. Ketika inflasi tinggi, mereka “menyedot” kembali dengan menaikkan suku bunga tinggi.
Data menunjukkan jumlah M1 (uang kas dan koin) pada Januari 2020 sebesar USD 4.200 miliar menjadi USD 20.514 miliar pada Januari 2022. Artinya, inflasi adalah “buah” dari kebijakan The Fed sendiri.
Ekonom terkenal Steve Hanke menyatakan, The Fed telah melakukan kebijakan antiinflasi secara “ngawur”. The Fed seolah tak peduli bahwa setiap pergerakan dolar selalu “menggoyang” ekonomi negara-negara lain, khususnya negara-negara sedang berkembang dan negara-negara miskin.
Mengabaikan fakta bahwa setiap kebijakan moneternya memiskinkan tetangganya dan membuat masalah baru di negara lain adalah sebuah “kesombongan”. The Fed yang dipimpin Jerome Powell benar-benar sangat agresif dalam berusaha mengatasi inflasi.
Kebijakan Powell sungguh sangat berbeda dengan apa yang dilakukan gubernur sebelumnya. Tuan Powell menaikkan suku bunga dengan agresif kalau tidak disebut sebagai “brutal”.
Sejarah inflasi tinggi memang bukan saat ini saja. Pada 2004, ketika menghadapi situasi yang relatif sama, mereka menaikkan suku bunga 425 basis poin secara bertahap dalam waktu 24 bulan. Selanjutnya, pada 2015, ketika AS juga menghadapi inflasi, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 225 basis poin dalam waktu tiga tahun.
Pada 2022 ini Tuan Powell menaikkan 300 basis poin dalam waktu kurang dari enam bulan. Diperkirakan pada November tahun ini mereka masih akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin. Makanya, negara Eropa bahkan menyebut The Fed mengekspor resesi dan akan menjerumuskan ekonomi dunia dalam bahaya menjadi Yunani yang mengalami kebangkrutan.
Gejolak suku bunga, kurs, dan inflasi menjadi bahan bakar terjadinya resesi global. Kenaikan suku bunga pinjaman negara-negara berkembang akan menjadi sumber gagal bayar berjemaah. Bahkan akan menjadi sumber krisis politik dan ekonomi yang merugikan. Sepertinya AS ingin mengulang kejadian pada 1970-an ketika Paul Volcker menaikkan suku bunga sehingga terjadi resesi global.
Krisis ekonomi dan politik meledak dalam skala yang mengerikan di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Negara-negara di sana mengalami masa yang dikenal sebagai “masa hilangnya pertumbuhan ekonomi”. Dengan dalih menolong, AS melalui IMF menyarankan kebijakan propasar dengan reformasi struktural yang memperparah keadaan.
Hati-Hati
AS boleh tidak peduli terhadap negara Asia, Amerika Latin, dan Afrika atas dampak buruk kebijakan mereka. Inggris sebagai sekutu utama AS ternyata mendapatkan imbas buruk juga. Negara yang dikenal memiliki sistem dan pasar keuangan yang bagus ternyata mengalami dampak buruk dari kebijakan The Fed. Mata uang pound sterling “jatuh”.
Pasar obligasinya “runtuh”. Keadaan diperparah oleh kebijakan pemerintah Inggris yang dipimpin Liz Truss untuk memotong pajak dengan motivasi menaikkan daya beli masyarakat.
Pound sterling sekarang setara dengan USD 1. Inggris adalah korban pelarian modal (capital flight) ke AS. Krisis kredibilitas sektor keuangan Inggris menyebabkan makin sulit mengatasi kondisi ekonomi saat ini. Inggris merasa dikhianati AS setelah mendorong Brexit.
Dengan masih terjadinya kenaikan inflasi per bulan 0,4 persen dan inflasi inti sebesar 0,6%, menjadi pertanyaan apakah “Powell” sebagai gubernur Bank Sentral AS telah “salah membaca” sumber inflasi Amerika? Atau The Fed menyadari hanya ini “perangkat” yang mereka miliki sehingga apa pun konsekuensinya akan “dimainkan”. Egoisme bank sentral yang wajib diwaspadai.
Bagi masyarakat dan dunia usaha di Amerika, mereka harus siap menanggung akibatnya. Saat ini saja suku bunga KPR melonjak dari 3 menjadi 6%. Yang mengejutkan sebagai bukti kegagalan The Fed adalah inflasi inti IHK (indeks harga konsumen) tanpa biaya energi dan makanan masih naik 6,6% dari 6,3% pada Agustus. Ini menjadi peningkatan inflasi inti tercepat sejak 1980-an.
Berkaca dari kondisi tersebut, kita berharap Bank Indonesia (BI) lebih berhati-hati dalam merespons kenaikan suku bunga The Fed. Kita juga berharap orang kaya dan manajer investasi tidak melakukan pelarian modal demi meraih keuntungan atau demi menghindari risiko politik. Tindakan itu dapat membawa ekonomi kita ke jurang krisis. (*)