in

Meninggalkan Kampanye Ala Tiga S

Oleh Amarullah*
Atmosfir pemilihan kepala daerah (pilkada) Aceh semakin terasa, para calon semakin matang dalam menyusun siasat untuk menduduki kursi orang nomor wahid di Aceh, Dalam prediksi penulis, kali ini kontestasi masih akan berlangsung alot dan riuh. Karena para petarung, semuanya adalah orang-orang yang punya nama besar.

Sudah dimaklumi bersama bahwa memang setiap kandidat yang maju baik dari jalur perseorangan (independen) maupun yang diusung partai diberi hak untuk melakukan kampanye. Sampai saat ini kampanye masih dianggap sebagai strategi jitu untuk promo kandidat pada publik, memaparkan visi dan misi kepada masyarakat menjadi hal ‘wajib’ untuk dilakukan. Sangatlah wajar agar masyarakat mengetahui program andalan yang akan dijalankan jika terpilih nantinya. Akan tetapi tidak sedikit terjadi “lebay” dalam berkampanye sehingga yang disampaikan terkesan tidak lebih dari sekedar janji dan haba ceet langeet (istilah untuk angan-angan semata) oleh para kandidat.

Penyampaian janji yang berlebihan ditambah dengan ketidakmampuan dalam membuktikan secara nyata akan membawa efek yang tidak bagus. Paradoksal antara janji dan kenyataan malah menjadi ‘boomerang’ bagi siapa saja yang berjanji jika terpilih menjadi gubernur nantinya.

Tujuan kampanye idealnya sebagai alat untuk bersilaturrahmi dan upaya menyadarkan masyarakat agar menjadi pemilih cerdas, bukan menjadi pemilih karna ada iming-iming bayaran, termakan popularitas semu, pengaruh jabatan dan lain sebagainya. Karena tujuan jangka panjang adalah untuk menanamkan pemahaman kepada masyarakat agar tidak apatis terhadap perpolitikan.

Kita hari ini melihat bahwa kampanye dilakukan hanya retorika semata akan tetapi esensi dari kampaye tidak sesuai dengan apa yang semestinya. Janji “mameeh” hanya sebatas sebelum menjadi gubernur namun setelah terpilih, janji hanyalah tinggal janji semua akan dilupakan begitu saja. Para kandidat kerap menyampaikan janji yang tidak masuk akal.

Di sisa waktu kampanye yang tidak berapa lama lagi, pasangan calon dapat memanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk merebut hati rakyat, maka oleh karena itu perlu adanya inovasi baru dalam berkampanye. Kiranya kandidat dapat mencari format kampanye yang tepat agar mendapat dukungan dari rakyat tanpa harus ada embel-embel money politic.

Ada beberapa hal yang semestinya menjadi pertimbangan kandidat ketika kampanye:
Pertama, Aceh adalah wilayah yang dikenal dengan kekentalan agama Islam dan budaya, dua unsur tersebut mejadi identitas khas Aceh. Para indatu terdahulu telah meninggalkan konsep hidup yang sangat relevan dengan agama Islam, salah satunya melalui hadih maja “Peugah lagee buet pubuet lagee na” konsep tersebut sangat cocok sebagai pegangan para kandidat, maksudnya adalah harus sinkron antara perkataan (janji) dengan perbuatan, Islam dan budaya kita tidak membenarkan banyak bicara atau berjanji kemudian tidak bisa menepatinya.

Anatomi tubuh manusia juga mengandung filosofis demikian, dimana mulut hanya diciptakan satu tapi tangan ada dua, itu semua bermakna bahwa kita jangan terlalu banyak bicara tapi harus banyak berbuat secara nyata.

Kedua, kampanye di Aceh dominan dilakukan dengan cara memobilisasi massa dalam jumlah yang banyak kemudian menyampaikan orasi politik di sudut-sudut tempat yang dianggap strategis, tapi cobalah sesekali masuk ke desa-desa, wilayah pedalaman. Bukan bermaksud mencari pencitraan akan tetapi untuk mendengar keluh kesah masyarakat secara real, dengan demikian program yang dilakukan kelak lebih terarah dan tepat sasaran. Tidak salahnya kalau calon gubernur Aceh membumikan versi kampanye demikian pada pilkada kali ini.

Ketiga, calon pemimpin yang baik memberikan panutan yang baik juga tentunya. Ia akan memilih cara yang arif bijak untuk menggapai tujuan politik, itu semua akan menjadi barometer untuk mengetahui dewasa atau tidaknya perpolitikan di provinsi kita. Berkaca dari pengalaman, orasi politik kampanye identik dengan S3 (Semeuseup, Seurapa, dan Seumiloet). sering kita mendengar kata-kata yang tidak pantas, bahkan tidak segan-segan untuk membuka aib kandidat lain guna melumpuhkan lawan politiknya. Aceh sebenarnya sangat berpotensi untuk terjadi kekerasan, sedikit saja terjadi gesekan maka masalahnya akan menjadi lebih besar. Ringkasnya, perlu dibiasakan “kampanye halal” agar pilkasa aman dan bermartabat.

Melalui momentum pilkada diharapkan mampu menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat pula, Aceh sangat membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengambil kebijakan pro rakyat, dapat membawa Aceh lebih maju bukan yang pandai berjanji dan memberikan angin syurga kepada masyarakat. Semoga saja akan lahir pemimpin sesuai dengan harapan rakyat.

*Penulis adalah mahasiswa UIN Ar-Raniry, Jurusan Pendidikan Agama Islam. Tim monitoring kegiatan mahasiswa Pattani, Cawangan Aceh.

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Presiden: Kita Ingin Anak Indonesia Sehat dan Pandai

Kasi PM3D Jangka Tipu Aparatur Gampong