in

Meningkatkan Toleransi Melalui Ibadah Puasa

Kehidupan berbangsa dan bernegara, akhir-akhir ini menghadapi persoalan intoleransi akut. Sebaran ujaran kebencian terhadap Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) setiap saat terjadi di media sosial. Sesuatu yang sebelumnya sangat dijaga, saling dihormati, kini porak-poranda oleh sebuah sikap intoleran.

Di media sosial, kita seperti memasuki babak kelam kehidupan. Media sosial, seperti sebuah dunia lain, yang tidak ada tata krama dan etika. Media sosial bukan lagi sekadar menjadi alat komunikasi antar personal dan kelompok tetapi juga telah menjadi senjata kepentingan para pihak. Seperti jalan tol, pemilik akun-akun berkepentingan, bebas hambatan menyebar sikap intoleransi dalam bentuk kebencian dan caci maki.

Tentu saja masih banyak akun media sosial yang baik dan positif. Tidak ikut ambil bagian sebagai penyebar (share) kebencian. Sayangnya, yang lebih aktif tetaplah akun yang menyebar intoleran tersebut. Mereka sepertinya telah memindahkan hidup dari dunia nyata ke dunia maya, demi tujuan yang hendak dicapai. Apa tujuan dari intoleransi? Memecah belah persatuan dan kesatuan, serta ingin menang dan benar sendiri.

Intoleransi adalah lawan dari kata toleransi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi adalah kata sifat yang memiliki arti: batas ukur yang bisa dimaklumi sebagai perbedaan, batas penambahan, batas pengurangan dan pengukuran dalam bentuk lain. Sikap toleransi merupakan syarat dalam mengelola setiap perbedaan. Sementara, perbedaan adalah sebuah keniscayaan di dunia. Perbedaan adalah karunia dari Allah SWT. Sebuah kemestian yang alamiah. Perbedaanlah yang membangun keindahan dalam kehidupan ini. Tak terbayangkan, jika kehidupan ini tanpa perbedaan.

Berkaitan dengan term toleransi, kita juga mengenal term tepa salira, yang dalam KBBI dijelaskan pula, sebuah sifat dan sikap menjaga perasaan orang lain sehingga tidak menyinggung perasaan atau dapat meringankan beban orang lain; tenggang rasa lebih sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari selain tepa salira. 

Sementara itu, di dalam kehidupan budaya Minangkabau, adagium penting telah diberikan oleh para leluhur kita; raso dibaok naik, pariso dibaok turun. Di mana, sesuatu sebelum dikeluarkan dalam bentuk kata-kata dan tindakan, harus dianalisis sedemikian rupa dengan membawanya ke hati dan ke akal. Dua alat yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia.

Toleransi, tenggang rasa dan tepa salira, adalah prasyarat yang membuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir, berdiri dan besar. Ada sikap saling mengalah demi kepentingan lebih besar, yaitu rasa aman dan tetap kokohnya NKRI. Ketika ada dua kepentingan beradu yang bisa mencetus api konflik, cepat diredam dengan toleransi. Begitulah para pendiri negeri ini melahirkan, mendirikan dan membesarkan negeri ini.

Kini, ketika kualitas toleransi anak bangsa turun drastis, adakah kemungkinan bisa kembali ke titik normal? Dapatkah segala faktor yang membuat meningkatnya intoleransi itu dipadamkan? Kita harus menjawabnya, bisa! Demi kecintaan kita terhadap NKRI, demi rasa aman yang mahal harganya bagi kehidupan hari ini dan masa depan.

Menurut Abraham Maslow (1908–1970) dalam Teori Hirarki Kebutuhan Dasar Manusia, rasa aman terletak paling dasar, setelah kebutuhan fisik. Sebuah negara dibuat, salah satunya untuk memastikan terjaminnya rasa aman, agar warganya bisa melakukan segala aktivitas kehidupan.

Rasa aman itu anugerah dari Allah SWT, setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Bandingkanlah dengan belahan bumi lain, ketika rasa aman direnggut oleh peperangan. Betapa sulit untuk kembali aman seperti semula. Jika masih ada yang berpikir untuk intoleran, lalu ingin mengambil keuntungan dari dampak intoleransi tersebut, sesungguhnya ia sudah tak lagi layak hidup di bumi pertiwi ini. Karena bisa dianggap telah keluar dari kontrak sosial hadirnya NKRI.

Bila kita melihat sedikit ke belakang, kenapa muncul sikap intoleran, lunturnya tepa salira dan tenggang rasa, bermula dari kepentingan politik kekuasaan dari segelintir elit ketika memasuki musim pilkada. Ini didukung pula dengan muncul tuduhan penistaan agama, yang sebelumnya hanya wacana soal pilih pemimpin yang seagama. Semestinya, perbedaan pandangan politik, ambisi kekuasaan, harus berjalan di atas koridor berbangsa dan bernegara tanpa harus merobohkannya. Di sinilah sikap toleransi harus hidup dalam diri setiap insan beriman. 

Ngotot memaksa kehendak adalah sikap yang merugikan bangsa negara. Inilah titik awal, sehingga semua meruyak dan merebak ke tengah publik. Karena sudah sampai ke tengah publik, tidak mudah hilang dan disapu. Butuh proses agar ia bisa kembali normal.

Salah satu cara yang paling mungkin, adalah mari kita menahan diri untuk tidak ikut dalam hiruk pikuk yang belum tentu kita mengerti, siapa yang sedang memainkan apa dalam kontestasi kepentingan lebih besar. Singkatnya, jangan mau menari di gendang orang lain. Tahanlah diri agar tidak mudah terpengaruh dan terbawa emosi.

Syukur alhamdulillah, kini kita memasuki bulan Suci Ramadhan. Kita menunaikan ibadah puasa, menahan rasa haus dan lapar. Juga menahan emosi, segala kehendak yang berlebihan dari hati dan akal kita. Inilah bulan untuk berperang melawan diri sendiri dari segala kehendak yang ada dalam diri itu. Inilah waktunya untuk memancung segala bentuk sifat intoleran dalam diri, lalu memekarkan dengan sifat sabar dan toleran.

Bulan Ramadhan, bulan untuk menempa diri agar menjadi manusia yang baik (al-insan al-kamil). Ada puluhan hikmah Ramadhan yang diungkapan oleh para ulama, akademisi maupun budayawan. 

Semuanya, memperlihatkan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sesungguhnya ajang latihan menempa diri, agar disiplin terhadap waktu, agar menjalani hidup yang seimbang, agar tidak berlebih-lebihan, agar tetap menjalin silaturrahmi untuk persatuan dan kesatuan, agar berhati-hati dalam berkata dan berbuat.

Efek dari pelatihan diri di bulan puasa itu akan dibuktikan pada bulan-bulan berikutnya. Apakah kita menjadi seorang pribadi yang lebih baik untuk kehidupan? Atau, justru lebih buruk atau mungkin biasa-biasa saja. Orang yang beruntung (QS. 103: 1-3) adalah orang yang hidup lebih baik dan menghargai waktu yang telah diberikan.

Pribadi yang baik itu, adalah menghormati perbedaan-perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain tanpa harus menyerang dan membenci. Pribadi yang baik, juga memberi konstribusi terhadap kehidupan agar bersyukur atas kehidupan yang diberikan Allah SWT. Artinya, ibadah puasa jika dilakukan secara baik dan benar akan mampu membuat seseorang meningkatkan rasa syukur dan meningkatkan sifat toleransi, juga menumbuhkan empati, terhadap apa yang ada di hadapannya. Semoga kita termasuk orang-orang yang demikian. Amin. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Dari Titik Nol Anyer, GenPI Banten Terbentuk

PKB 2017 Dilepas di Monumen Perjuangan, Dibuka di Art Center Denpasar