Muslimoderat.net – Penerimaan Allah atas amal ibadah menjadi tujuan para hamba-Nya. Lalu amal ibadah seperti apa yang patut diterima Allah? Apakah amal ibadah yang banyak, yang berat, amal ibadah yang dikerjakan hingga terkantuk-kantuk, atau yang serius? Hal ini disinggung oleh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut ini.
Artinya, “Tiada amal yang paling diharapkan untuk diterima selain amal yang lenyap dari pandanganmu dan keberadaannya sepele menurutmu.”
Amal-amal ibadah yang sudah tak masuk hitungan kita itu sebenarnya paling layak diharapkan. Di samping itu, amal ibadah yang kita nilai penuh kekurangan itu juga yang paling bisa diharapkan agar diterima di sisi Allah.
Amal yang kita anggap mengandung banyak kekurangan di sana-sini adalah amal ibadah yang bisa diharapkan untuk diterima Allah. Terlebih lagi adalah amal di mana kita sendiri tidak menganggapnya ada karena hakikatnya amal kita adalah semata karunia Allah berkat taufiq atau inspirasi dari-Nya. Artinya, amal itu tidak dianggap sebagai miliknya karena hakikatnya orang lain juga dapat melakukan itu berkat anugerah taufiq-Nya.
Artinya, “(Tiada amal yang paling diharapkan untuk diterima) oleh Allah (selain amal yang lenyap dari pandanganmu) dalam arti kau memandang bahwa yang menginspirasimu untuk beramal itu adalah Allah. Kalau bukan Dia, niscaya amal itu takkan muncul darimu (dan keberadaannya sepele menurutmu) kau tak menjadikannya sebagai andalan untuk meraih harapan seperti wushul ilallah, dekat dengan-Nya, mendapatkan derajat atau mqam tertentu karena kau memandang kelalaian dan ketidaksempurnaan amalmu dari kekurangan yang menghalangi penerimaan-Nya. Lain naskah, ‘Tiada amal yang paling diharapkan untuk kebaikan batin,’” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 43).
Artinya, “Allah berfirman, ‘Allah hanya menerima amal orang-orang yang bertakwa.’ Amal itu dapat selamat dari kekurangannya hanya dengan cara melemparkan tuduhan nafsu saat mengerjakannya dan memandang kelalaian yang terdapat di dalamnya sehingga amal itu lenyap dari pandangan matanya dan tampak hina menurutnya. Dari situ ia tidak merasa nyaman dan menjadikannya andalan. Kalau tidak demikian, ia justru malah menghitung amal itu, menganggapnya agung, dan luput memandang taufiq yang menginspirasinya sebagai karunia Allah, maka hal itu dapat menjerumuskannya ke dalam ujub sehingga amalnya gugur dan usahanya sia-sia…
Salah seorang Arifin ditanya perihal tanda penerimaan amal. Ia menjawab, ‘Kaulupakan amalmu dan kauputuskan sama sekali pandanganmu darinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Surat Al-Fathir ayat 10, ‘Kepada-Nya, naik kalimat yang baik dan amal saleh Dia akan mengangkatnya,’’” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 44).
Melalui hikmah ini, Ibnu Athaillah mengajak kita untuk tidak merasa puas dengan suatu ibadah. Ia mengingatkan kita agar tidak memandang kesempurnaan ibadah sehingga melahirkan ujub, sebuah penyakit batin yang berbahaya. Ia mengingatkan kita untuk melenyapkan diri kita dari praktik ibadah kita karena pada hakikatnya ibadah itu merupakan karunia Allah SWT. Kita tidak boleh sombong atas amal ibadah kita. Wallahu a‘lam. (Alhafiz k )
Sumber; Nu Online