Beberapa waktu lalu, saya sempat mengunjugi kembali dua nagari yang pernah menjadi lokasi riset S-3 saya tahun 1997. Alangkah terkejutnya saya, setelah lama sekali tidak ke sana, suasana dan kondisi kedua nagari tersebut tidak banyak berubah.
Tidak dipungkiri, telah ada sejumlah perubahan fisik, tapi pengaruhnya minor bagi keseluruhan perkembangannya. Dapat dikatakan kedua nagari tersebut hampir tidak mengalami perubahan berarti. Di mana letak efek dari pembangunan daerah terhadap kedua nagari tersebut selama ini? Pertanyaan besar bagi saya adalah apa hasil pembangunan daerah bagi perkembangan nagari di Sumbar selama ini? Kiranya perlu ditinjau ulang model pembangunan nagari yang telah berjalan, kemudian perlu menyiasatinya terkait kebijakan pembangunan desa secara nasional.
Kebijakan nasional tentang pembangunan desa sejak tahun 2015 mulai diterapkan Pemerintahan Jokowi. Kebijakan ini adalah implementasi dari model pembangunan dimulai dari pinggiran. Keseriusan ini ditandai dengan digelontorkannya dana desa (DD) yang terus meningkat sejak tahun 2015, 2016 dan 2017. Nilainya, mulai dari Rp 20,7 triliun menjadi Rp 46,9 triliun.
Tahun ini mencapai Rp 60 triliun. Peningkatan jumlah yang signifikan ini menjadi indikator betapa pentingnya pembangunan masyarakat berbasis pada wilayah terkecil dalam setiap wilayah provinsi yakni desa.
Untuk konteks Sumbar, pembangunan desa berbasis nagari dan desa, khusus beberapa kabupaten yang memiliki desa, sebenarnya pernah tenar di provinsi ini tahun 2000-2007, saat dikeluarkannya kebijakan tentang Kembali ke Nagari dan dilanjutkan dengan penetapan “Tujuh Agenda Pembangunan Daerah”, di mana pada agenda ketujuh berisi program memberdayakan nagari sebagai basis pembangunan.
Saat itu, kebijakan ini dapat dikatakan hebat karena pemerintah daerah menganggap penting eksistensi nagari sebagai tolok ukur perkembangan daerah di provinsi ini secara keseluruhan. Apabila nagarinya maju, maka seluruh wilayah di Sumbar ini juga dianggap maju. Bagaimana pembangunan berbasis kepada nagari sekarang?
Punahnya Leading Sector Nagari
Pasca penerapan undang-undang tentang otonomi daerah tahun 1999, dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2007, Provinsi Sumbar melalui kebijakan Kembali ke Nagari menempatkan nagari sebagai leading sector pembangunan daerah.
Perda No 9 Tahun 2000 dan direvisi Perda No 2 Tahun 2007 menjadi payung kebijakan tentang pentingnya nagari dikelola sebaik mungkin mulai dari urusan pemerintahan, adat, ekonomi, kepemimpinan lokal sampai kepada penanganan konflik.
Pemerintah dan masyarakat nagari kala itu tampak bergairah untuk memperbaiki sistem pemerintahan dan mengisinya dengan berbagai kegiatan pembangunan ekonomi serta sosial untuk mendorong nagari menjadi lebih maju namun terarah.
Selama hampir 10 tahun terakhir, nagari tidak lagi menjadi tolok ukur perkembangan daerah dan tidak lagi menjadi leading sector untuk magnet pembangunan di Provinsi Sumbar. Salah satu indikatornya adalah dalam RPJMD Provinsi Sumbar 2010-2015 dan RPJMD 2016-2021 tidak ada ketegasan, apalagi rincian arahnya, tentang pembangunan daerah berbasis pada pembangunan nagari.
Pendekatan yang dipakai untuk pembangunan daerah berbasis pada 10 prioritas pembangunan. Dalam konteks ini, jelas bahwa pendekatan pembangunan berbasis nagari sekarang sudah tidak ada lagi dalam peta politik pembangunan di provinsi ini. Apakah pendekatan pembangunan daerah serupa ini menguntungkan?
Pembangunan Daerah= Pembangunan Desa
Ternyata pendekatan menghilangkan nagari sebagai basis pembangunan daerah, tidaklah menguntungkan, karena ternyata tidak selaras dengan kebijakan pemerintah yang justru sekarang mengedepankan desa sebagai salah satu leading sector pembangunan masyarakat. Setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan desa dengan program Rp 1 miliar per desa, melalui kebijakan alokasi dana desa (ADD), maka setiap desa dipastikan memiliki darah segar untuk dana pembangunannya yang jumlahnya dapat jauh lebih besar dari dana yang digelontorkan melalui APBD wilayah masing-masing.
Pemprov Sumbar pun mulai kembali menaruh perhatian terhadap nagari dan desa yang masih ada untuk menggaet dana tersebut. Namun, sayangnya rumusan apalagi roadmap mengelola dana desa untuk visi jauh ke depan membangun nagari, tidak tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah sampai tahun 2021.
Upaya untuk membangun masyarakat nagari melalui pemanfaatan dana desa dari pemerintah seolah menjadi pekerjaan “dadakan”. Pemerintah daerah buru-buru mempersiapkan nagari sebagai ruang pembangunan masyarakat. Tetapi, hitung punya hitung, ternyata jumlah nagari dan desa di Provinsi Sumbar jauh lebih kecil dari beberapa provinsi tetangga di Sumatera. Ambil contoh Aceh, dengan berpenduduk yang lebih sedikit yakni 5.096 juta jiwa (2016) daripada penduduk Provinsi Sumbar 5.132 juta jiwa (2014), provinsi ini mendapatkan dana desa jauh lebih besar dari Sumbar.
Provinsi Aceh memiliki 6.474 desa (2016) dan 6.497 desa (2017) menerima dana desa Rp 4,89 triliun, sementara Sumbar memiliki 880 nagari dan desa (2016) serta meningkat jadi 928 nagari dan desa tahun 2017 menerima dana desa sebesar Rp 796,53 miliar. Dana yang akan diterima setiap nagari dan desa di Sumbar dengan kalkulasi khusus, bervariasi antara Rp 800 juta–Rp 1,2 miliar di tahun 2017.
Keluhan soal kecilnya dana desa dibandingkan beberapa provinsi tetangga tidak jarang pula terdengar di pidato beberapa pejabat terkait di Sumbar. Responsnya adalah pemerintah provinsi cepat-cepat menerapkan strategi pemekaran nagari. Terbukti dari data nagari dan desa tahun 2016 yakni 880, dalam tempo satu tahun bertambah menjadi 928 nagari dan desa.
Padahal, melakukan pemekaran nagari ini menyimpan persoalan sosial budaya yang sensitif. Namun, demi meningkatkan perolehan anggaran dana desa, strategi memekarkan nagari lebih penting untuk mendapatkan budget daripada risiko-risiko sosial dan budaya yang muncul atau akan menjadi persoalan di masa depan. Jelas bahwa strategi meninggalkan nagari untuk membangun daerah adalah keputusan keliru. Tetapi apakah nanti dana desa bagi pembangunan nagari mampu membangun nagari secara menyeluruh?
Sumber daya Lokal
Jelas dana desa yang akan diperoleh setiap nagari dan desa di Sumbar tidak akan mencukupi seluruhnya, misalnya dipakai hanya untuk membangun infrastruktur jalan beraspal hotmix di nagari, maka dana tersebut akan cepat ludes. Solusi yang dapat dipertimbangkan untuk membangun nagari secara menyeluruh adalah mensinergikan berbagai sumber daya dalam nagari untuk dipadukan dengan dana desa.
Asumsi yang harus dibangun adalah sumber daya lokal memiliki modal sosial dan budaya yang kuat untuk menstimulasi budget yang ada. Oleh Olivier de Sardan (2005) diperkenalkan strategi pemanfaatan aset sosial budaya yang diseimbangkan dengan mode perilaku ekonomi masyarakat (modes of economic action) untuk pembangunan masyarakat. Hal ini telah terbukti berhasil di pedesaan Amerika Latin, yakni di Mexico dan Honduras.
Tentunya dengan pertimbangan perbedaan situasi dan kondisi di Amerika Latin, strategi pemanfaatan sumber daya lokal dalam nagari dapat dipakai. Artinya, sumber daya lokal dimanfaatkan untuk menstimulasi dana desa sehingga memiliki nilai ekonomi dan sosial berlipat ganda.
Sumber daya lokal terdiri dari sumber daya fisik, dikenal dengan harta benda dan kekayaan nagari dan sumber daya sosial-budaya, seperti hubungan patron-klien, jaringan dan hubungan kekerabatan, lembaga adat, solidaritas dan gotong royong dan kepemimpinan lokal. Dengan demikian, memanfaatkan sumber daya lokal untuk pembangunan nagari akan mengimbangi pendekatan pembangunan berasas parameter prioritas. Akhirnya, pembangun nagari akan menciptakan alternatif pilihan kehidupan yang sesuai kebutuhan masyarakatnya untuk maju dan sejahtera. (*)
LOGIN untuk mengomentari.