in

Merdeka dan Mental Lamit

Oleh Teuku Zulyadi*)

Pekik merdeka dan Allahu Akbar saling bersahutan seiring dengan perjuangan merebut kemerdekaan. Kobaran semangat perjuangan fisabilillah mengiringi setiap langkah mujahidin dalam memerangi para penjajah di bumi Nusantara. Mereka bersatu, semangat dan memiliki tujuan yang sama, yaitu tegaknya bangsa dengan kedaulatan di atas bumi sendiri. Biadabnya perilaku penjajah, tidak menyurutkan mereka dari tujuan kemerdekaan.

Dalam catatan sejarah, senjata yang dimiliki pejuang saat itu tidaklah sebanding dengan kekuatan militer penjajah. Mereka hanya memiliki bambu, parang, pedang, rencong, ditambah dengan beberapa bedil hasil rampasan perang. Namun, dorongan agama, martabat dan harga diri suatu bangsalah yang mampu menggelorakan perang terhadap “kaphe” pada saat itu. Kekuatan ini hanya mampu dimiliki oleh orang-orang yang punya orientasi tentang kebangsaan dan mencintai tanah air. Kekuatan fisik akan terlampaui karena mampu mendefinisikan “musuh bersama” yang merampas segala hak anak bangsa.

Lamiet

Perang dalam jangka waktu ratusan tahun menyebabkan keruntuhan fisik maupun mental bagi rakyat Nusantara. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan para penjajah dalam memainkan strategi politik pecah belah. Rakyat diadu domba, dibentuk kelompok elit dan rakyat biasa, kelompok agama dan bangsawan. Dibuat aturan-aturan yang merugikan masyarakat lokal dan istilah-istilah yang mengarah kepada keberadaan orang tempatan.
Aturan pakai sepatu misalnya, kantor-kantor Hindia Belanda hanya membolehkan orang-orang yang memiliki sepatu untuk berkunjung. Tidak boleh masuk kantor, ke sekolah, fasilitas kesehatan atau tempat-tempat yang dibangun para kolonial. Mereka paham, rakyat jelata tidak mampu membeli sepatu. Dengan demikian, sudah mengamankan tempat-tempat strategis dari para pejuang tanah air. Begitu juga dengan istilah “hitam”. Warna ini sengaja dilabel dengan sesuatu yang jelek, jahat, dan harus dihindari. Ini, hanya semata-mata untuk menunjukkan superior warna kulit mereka yang putih.
Penghasutan dan fitnah disebarkan bagi rakyat biasa supaya saling membenci dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Dengan demikian, semakin mudah untuk mengontrol keberadaan rakyat. Sebagian kelompok sengaja diangkat untuk menjadi bagian dari kolonial, elit, terlatih dan berpendidikan. Tujuannya tetap sama, yaitu untuk menghancurkan kaumnya sendiri, bangsa yang memiliki hak atas tanah dan air.

Strategi para penjajah di mana-mana tetap sama, merampas, menghancurkan dan menguasai. Sumber-sumber produksi seperti hutan, air, perkebunan dan potensi energi harus menjadi hak milik para penjajah. Hal ini sangat penting karena merupakan komoditi perdagangan yang sangat bernilai. Penguasaan terhadap sumber daya ekonomi adalah kunci utama untuk keberlangsungan penjajahan. Tidak heran, jika banyak kebun, bendungan dan pertambangan adalah peninggalan para penjajah. Begitu juga dengan produk hukum, kita masih mengenal warisan Belanda.

Budak/lamiet adalah manusia setengah atau setengah manusia. Secara biologis, dia berdaulat atas dirinya sendiri sementara pikiran dan masa depannya terjajah oleh kaum imperialis. Tidak ubah, selayaknya boneka sebagai pelengkap permainan, hiburan dan teman untuk sesaat. Keberadaannya penting pada saat tertentu, akan ditinggalkan karena sudah tidak dibutuhkan. Atau karena sudah ada pengganti yang lain.

Memaknai kemerdekaan

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak atas dirinya, pikirannya dan mengedepankan kesetaraan atas nama kemanusiaan. Bangsa yang merdeka adalah mereka yang berdirinya sama tegak dan sujudnya sama rendah. Tidak membedakan warna, kelamin apalagi status sosial. Semuanya saling membutuhkan dan melengkapi, bukan untuk sesaat, namun sepanjang keberadaan manusia itu sendiri.

Era penjajahan sudah berakhir semenjak tujuh puluh dua tahun silam. Namun, tidak berarti kita sudah merdeka dari banyak hal. Tantangan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan merupakan perjuangan baru rakyat Indonesia untuk membebaskan diri dari ketidak berdayaan. Persoalan ekonomi, pendidikan dan penguasaan terhadap sumber daya energi adalah perjuangan utama, yang tujuannya adalah untuk dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran.

Secara ekonomi, masyarakat Indonesia masih berada dalam garis kemiskinan. Secara persentase tergolong kecil, yaitu 10,64% sementara jumlahnya mencapai 27, 77 juta jiwa. Jumlah ini lebih kurang setara dengan 5 kali jumlah penduduk Aceh. Pendidikan, justru melahirkan pengangguran cerdas karena tidak mampu menjawab perubahan zaman dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Begitu juga dengan sumber energi belum dikelola secara maksimal.

Kondisi ini terjadi karena kita masih memiliki mental lamiet. Sibuk membangun kelompok-kelompok kecil untuk kepentingan politik sesaat. Fitnah (hoax) disebarkan untuk tujuan propaganda, para penjilat bebas berkeliaran dan mendapatkan tempat yang layak. Rakyat, terbiasa dengan tidak mau bekerja, menghabiskan waktu berleha-leha. Energi anak bangsa dihabiskan untuk berbicara tanpa fakta (peih teim) bukan bekerja membangun negara. Jalan pintas dijadikan solusi, mengedar narkoba, mencuri hingga korupsi.
Potensi alam seperti gunung, kebun, sawah, laut terbengkalai tidak terkelola. Rakyat membiarkan, pemerintah juga mendiamkan. Sementara, bagi investor asing melihat indonesia sebagai surga untuk penghasilan, potensi ekonomi dari sumber daya alam dan konsumen. Jumlah penduduk nomor empat terbanyak didunia menjadikan kita sebagai sasaran barang dagangan. Jangan heran, semakin banyak produk-produk asing yang membanjiri, hampir tidak ditemukan barang lokal sebagai barang produksi.

Simpulan

Indonesia masih “berperang” dalam mengisi kemerdekaan. Jika para pejuang era penjajahan kolonial mampu mendefinisikan “musuh bersama” secara jelas dan nyata, sementara generasi sekarang masih kabur siapa yang mau dijadikan sebagai musuh. Dalam kondisi seperti ini, Negara harus hadir sebagai penggerak dan pemberi arah pembangunan dalam mengisi kemerdekaan. Melatih anak bangsa untuk menguasai sumber-sumber produksi dan menempatkan mereka sebagai pelaku utama. MERDEKA!

*)Teuku Zulyadi, Mahasiswa HUST, kota Wuhan, China.

Foto ilustrasi dikutip dari Okezone.

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Neraca Dagang Juli Defisit

JCH Aceh Kloter Pertama Tiba di Tanah Suci