Belum sepekan dilantik menjadi presiden Amerika Serikat (AS), Donald J Trump sudah membuat dunia gerah. Beberapa jam setelah pengambilan sumpah jabatan pada Jumat malam (20/1), taipan properti itu langsung membatalkan kebijakan presiden sebelumnya di bidang kesehatan atau biasa dikenal sebagai Obamacare. Setelah itu, presiden ke-45 Negeri Paman Sam tersebut mengumumkan AS cabut dari pakta Kerja Sama Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP).
Bukan hanya itu. Bapak lima anak tersebut secara terang-terangan juga terlihat tak bersahabat dengan Tiongkok dan Meksiko. Misalnya, dia ingin memberlakukan tariff impor 35–45 persen untuk barang-barang dari Tiongkok dan Meksiko. Trump memang patut gusar. Sebab, deficit neraca perdagangan AS dengan dua negara itu kelewat besar.
Meski sasaran kebijakan perdagangan tersebut adalah Tiongkok dan Meksiko, Indonesia pasti kena getahnya. Terutama dengan Tiongkok. Bila dikenai tarif tinggi, Negeri Panda itu bisa jadi akan kehilangan pasarnya di AS. Pilihannya, Tiongkok akan mengekspor produknya ke negara-negara dengan pasar besar lain seperti Indonesia.
Indonesia bisa menjadi pasar limpahan produk Tiongkok karena penduduknya besar dan pendapatan kelas menengah ke atasnya cukup tinggi. Selain itu, jika ekspor Tiongkok ke AS melambat, permintaan mereka untuk barang-barang komoditas yang biasanya diimpor dari Indonesia ikut turun. Jika itu berlangsung lama, tentu kinerja ekspor Indonesia terpengaruh. Pemerintah pun tak bisa lagi mengandalkan ekspor untuk mendongkrak pertumbuhan.
Lalu, soal dampak pengurangan pajak yang akan dilakukan Trump, hal tersebut berpotensi mendorong kaburnya modal asing dari emerging market seperti Indonesia. Selain itu, penurunan pajak di AS akan mempercepat kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed). Sejumlah analis memprediksi tahun ini suku bunga The Fed akan naik 50–75 basis poin.
Seperti tahun lalu, dampak kenaikan suku bunga The Fed pasti terasa pada nilai tukar rupiah terhadap USD dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Terkereknya suku bunga The Fed juga akan mendorong kenaikan imbal hasil (yield) dari surat utang negara (SUN). Kenaikan yield pada akhirnya akan membebani anggaran negara dalam membayar bunga SUN.
Karena itu, pemerintah mesti melakukan sejumlah terobosan untuk meredam dampak Trump effect. Selain terus melakukan reformasi birokrasi dan memperbaiki kemudahan berinvestasi, daya beli masyarakat harus tetap dijaga. Tahun ini konsumsi masyarakat masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Tentu saja ditambah dengan pembangunan infrastruktur serta dana segar dari tax amnesty. (*)
LOGIN untuk mengomentari.