Pemerintah akhirnya membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Status badan hukumnya dicabut dengan ‘senjata’ Perppu tentang Organisasi Kemasyarakatan yang baru diterbitkan 10 Juli lalu. Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan, HTI dibubarkan lantaran dianggap berkegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Padahal dalam AD/ART, HTI mencantumkan Pancasila sebagai ideologi.
Merasa diperlakukan tak adil, HTI melawan. Mereka menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena merasa tak pernah sekalipun menerima Surat Peringatan. Padahal Perppu Ormas menyebut, pencabutan status badan hukum adalah langkah terakhir setelah ada peringatan tertulis dan penghentian kegiatan.
Jauh sebelum Perppu keluar, HTI mengklaim anggotanya mengalami kekerasan dari organisasi sayap Nahdatul Ulama seperti Banser dan Ansor, yang menganggap HTI anti-NKRI dan aktif mengkampanyekan negara khilafah. HTI juga mengklaim acara mereka banyak dibubarkan begitu keluar radiogram dari Menteri Dalam Negeri. Kini, pasca HTI dibubarkan, Polisi langsung mewanti HTI jika masih nekad melanjutkan kegiatannya.
Sejak Perppu keluar, banyak yang khawatir akan pasal karet di dalamnya. Termasuk tafsir sepihak Pemerintah tentang organisasi mana yang dianggap melanggar Pancasila. Dengan Perppu ini, HTI bukan satu-satunya ormas yang bisa dibubarkan. Perppu kontroversial ini membuka ruang sangat lebar untuk menyasar ormas-ormas lain yang dianggap menistakan agama, melakukan kegiatan separatis, dan menyebarkan SARA.
HTI memang bisa menggugat putusan pembubaran ini. Tapi semestinya Pemerintah juga adil dan transparan sejak awal: membuktikan dengan jelas aktivitas mana yang dianggap melanggar Pancasila. Begitu “karet”nya Perppu ini, sudah semestinya pemerintah berhati-hati. Jangan sampai jadi senjata makan tuan di kemudian hari.