Jakarta (ANTARA) – Aktris komedian Amy Poehler kembali duduk di kursi sutradara setelah sebelumnya sempat menggarap “Wine Country” (2019).
Kali ini, Poehler kembali lewat karya film kisah remaja “Moxie” yang sudah tayang di Netflix sejak 3 Maret lalu.
Lewat “Moxie”, Poehler berupaya mengenalkan feminisme kepada para generasi Z yang rentang usianya masih remaja.
Sayangnya, meski niatnya mulia, film yang sebenarnya diadaptasi dari novel karya Jennifer Mathieu (2015) yang berjudul sama itu terlalu “nanggung”.
Film dimulai dengan gadis SMA Rockport High bernama Vivian (Hadley Robinson) yang bermimpi dia sedang tersesat di hutan rimba, meski dia sangat ketakutan, namun dia tak bisa mengeluarkan suaranya meski dia berusaha berteriak sekuat tenaga.
Vivian adalah sosok yang siswi under the radar yang cuma punya satu sahabat dekat, Claudia (Lauren Tsai), anak perempuan keturunan Asia.
Vivian bahkan dia mendapat gelar Anak Paling Penurut di voting angkatan SMA Rockport High yang digambarkan mirip seperti kebanyakan SMA di film-film yang terbagi-bagi jadi beberapa stereotipe anak remaja.
Konflik mulai muncul saat Vivian harus mengisi formulir aplikasi pendaftaran kuliah di Berkley. Saking biasanya hidup dia, dia tak tahu bagaimana mengisi surat lamaran itu.
Ditambah lagi, dia menyaksikan ada anak baru yang sangat vokal yakni Lucy (Alycia Pascual-Peña) diganggu habis-habisan oleh sang kapten football Mitchell Wilson (Patrick Schwarzenegger). Lucy adalah karakter yang sepertinya lebih layak dikisahkan di film.
Gadis keturunan Afrika Amerika itu sempat ditegur oleh Vivian supaya mengabaikan perilaku merisak Wilson, namun dengan tegas dia menolak dan tetap akan melawan si tukang bully.
Bingung dengan semua kenyataan ketidakadilan gender yang tiba-tiba saja begitu terlihat jelas di matanya, Vivian lantas bertanya pada ibunya (Amy Poehler), apa yang dilakukan sang ibu saat seusianya.
“Oh, aku tak tahu, saat aku berusia 16 tahun, semua yang kupedulikan cuma menghajar patriarki, dan membumihanguskannya,” jawab Lisa, ibu Vivian.
Poehler tampaknya terlalu berambisi untuk membahas topik-topik berat namun dengan cara yang ringan, hasilnya cerita jadi ambyar kemana-mana. Bahkan sampai akhir cerita, perkara Vivian mengisi aplikasi kuliah tak lagi disinggung.
Tak dipungkiri film ini memang menghibur. Film enak ditonton ketika kita sudah penat kerja seharian. Namun jangan terlalu berharap berlebihan karena film ini tak bisa membuat tertawa terpingkal-pingkal karena jaminan komedi dengan adanya Poehler atau merenung hingga baper seandainya ini dimaksudkan sebagai film drama.
Dibilang film romantis juga sepertinya tidak karena “Moxie” terasa terlalu mengada-ada saat membuat pemirsa percaya bahwa peti mati untuk dua orang adalah tempat yang romantis untuk pacaran. Sebuah rumah pemakaman di siang hari saja sudah seram, apalagi ada dua remaja yang larut malam mengendap-endap ke sana untuk berduaan. Rasanya tidak bisa dipercaya.
Dialog yang naskahnya turut ditulis oleh Tamara Chestna and Dylan Meyer juga tak terlalu mengesankan.
Bayangkan canggungnya dialog saat Seth akhirnya mengetahui identitas Vivian sebagai penyulut Moxie.
“Saat TK, kau selalu ingin mengeluarkan laba-laba saat anak yang lain berusaha membunuhnya. Kau ingat itu?” Kata Seth.
Menyederhanakan masalah
Untuk ukuran pimpinan pemberontak, sosok Vivian terlalu biasa saja bahkan tak terasa otentik. Kemarahannya yang harusnya meluap-luap melihat ketidakadilan di depan matanya tak keluar.
Sepanjang film, sosok Vivian terasa hambar. Nyatanya, alih-alih menyerap isu-isu terkini soal feminisme dari teman-temannya di sekolah, dia sibuk mengulik majalah-majalah selebaran dari koper tua milik ibunya yang tukang protes lebih dari tiga dekade sebelum dia lahir.
Vivian sendiri dikelilingi oleh teman-teman SMA yang memiliki masalah kompleks dan lebih terhubung dengan isu yang dihadapi anak-anak remaja masa kini.
Selain Lucy, ada CJ (Josie Totah) si anak perempuan transgender yang tak juga diakui di sekolah karena orang-orang masih suka memanggil dia dengan nama lamanya, lalu ada gadis di kursi roda (Emily Hopper) yang meski punya banyak keterbatasan dia sangat berani bersuara.
Atau Kaytlinn Price (Sabrina Haskett) yang didiskriminasi karena dadanya yang besar. Dia dipulangkan oleh kepala sekolah hanya gara-gara dia dilarang memakai tank top karena tampak terlalu vulgar karena dadanya tampak lebih besar dibanding anak lain yang juga pakai tan top ke sekolah.
Ada pula Kiera (Sydney Park) dan Amaya (Anjelika Washington) yang meski berprestasi namun tetap tak diakui oleh pihak berwenang hanya karena mereka main di liga sepakbola anak perempuan.
Ada lagi masalah yang lebih kompleks yang sebenarnya bisa digali lebih dalam yakni pengalaman feminis versi Claudia VS Vivian yang nyatanya anak perempuan berkulit putih dengan segala privillige dia.
Sayangnya, kisah-kisah gadis tersebut cuma jadi catatan kaki untuk membantu membangun karakter Vivian yang biasa saja.
Satu-satunya karakter yang berkesan sepertinya hanya Seth (Nico Hiraga) yang berkembang dari anak kikuk jadi pria yang bersimpati dan turut ambil bagian di pergerakan Moxie. Dia mematahkan stereotipe anak-anak Asia yang patriarkis atau kutu buku, dia justru dikisahkan jadi anak yang cool dan berpikiran terbuka.
Bagaimanapun, “Moxie” punya potensi jadi jenis film remaja baru di mana para Gen Z saat ini memang lebih peka terhadap berbagai isu mulai dari perubahan iklim sampai menciptakan budaya “Cancel” para selebritas yang mereka anggap tidak etis.