Jakarta (ANTARA) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk dilibatkan dalam penyusunan Kamus Sejarah Indonesia (KSI) khususnya menyangkut konten keislaman.
“Meminta Mendikbud RI dan semua pengambil kebijakan publik agar berkonsultasi dengan MUI. Hal ini untuk menghindari terjadinya bias dan kegaduhan publik,” ujar Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian MUI Utang Ranuwijaya dalam konferensi pers yang dipantau secara virtual, Senin.
Pernyataan MUI ini sebagai respon dari polemik penyusunan KSI yang menghilangkan jejak pendiri Nahdlatul Ulama Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari serta sejumlah tokoh agama lainnya.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek Hilmar Farid sempat mengonfirmasi bahwa KSI jilid I tidak pernah diterbitkan secara resmi. Menurutnya buku itu disusun sebelum kepemimpinan Nadiem Makarim dan belum ada penyempurnaan serta rencana penerbitan.
Menurut Utang, berdasarkan kajian MUI, ada dugaan semacam benturan kepentingan dan ideologi kiri serta kanan dari pihak-pihak tertentu. Sehingga muncul nama-nama yang merepresentasikan mereka dan menganaktirikan tokoh-tokoh Islam moderat.
“Penulisan sejarah bangsa Indonesia mempunyai peran penting dan strategis sebagai dasar untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air. Sehingga penulisannya harus objektif dan sesuai fakta,” kata dia.
Sementara itu, Sekjen MUI Amirsyah Tambunan mengatakan penulisan sejarah bangsa Indonesia yang tidak objektif akan terus menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
“Sehingga dikhawatirkan dapat memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa serta dapat memengaruhi keberlangsungan dan keselamatan bangsa dan negara Indonesia,” kata dia.
Maka dari itu, MUI bersikap bahwa buku KSI harus ditarik dari peredaran dan direvisi ulang dengan mengakomodir MUI dalam kepanitiaan penulisan. Dengan tujuan agar tokoh-tokoh dan Ormas Islam yang memiliki kontribusi besar untuk NKRI tidak lagi terbuang dalam penulisan sejarah.