in

Multikulturalisme sebagai Politik Kebhinekaan

Nasionalisme itu ialah suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!

Ir. Soekarno – 

Hampir dua dekade pasca kejatuhan Soeharto, perjalanan kehidupan bernegara kita ternyata tidak semakin membaik. Penerapan demokrasi liberal di dalam sistem politik kita di era reformasi telah mengancam nilai-nilai nasionalisme bangsa ini. Di dalam temuan empirik yang dikeluarkan oleh riset bersama antara Universitas Gajah Mada dan Universitas Oslo tentang Power, Wealth and Democracy (PWD), praktik demokrasi liberal telah menyebabkan terbuka lebarnya kesenjangan sosial, konflik primordial, serta tumbuh suburnya oligarki, dan politik uang di masyarakat.

Tergerusnya semangat nasionalisme Pancasila kita menyebabkan masyarakat terfragmentasi ke dalam banyak kelompok-kelompok kepentingan. Mencuatnya masalah-masalah yang didasarkan pada sambungan ideologi, etnisitas, agama, dan kepentingan lokal tak pelak lagi menyebabkan kita menafsirkan sendiri makna nasionalisme kita. Rasanya saat ini di tengah-tengah masyarakat semangat kesetiakawanan hanya dapat terjalin kalau ada keselarasan ikatan primordial. Sebaliknya, heterogenitas komunitas tak mampu menarik semangat kebersamaan yang berhasil dikonversi menjadi kekuatan dalam pembangunan nasional.  

Apalagi hari ini, narasi bernada SARA begitu mudah dan gencar disebarkan lewat media sosial. Tentunya, semakin membuat ancaman terhadap kebhinekaan kita semakin nyata dan terang. Potensi-potensi konflik atas nama primordialisme ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak kapan saja. Buya Syafii dalam satu kesempatan juga menyebut bahwa disintegrasi dan konflik horizontal adalah ancaman nyata bila tidak ditangani dengan cerdas serta pemahaman nalar historis yang benar.

Menghidupkan Kembali Bhinneka Tunggal Ika

Sepertinya perlu untuk kita mendiskusikan ulang atas pemaknaan bhinneka tunggal ika. Hal ini menurut saya penting agar kita dapat menelusuri kembali sebab-sebab menguatnya kelompok-kelompok masyarakat yang cenderung tidak toleran, saling curiga, serta berwatak eksploitatif. Sudah selayaknya kita kembali mempertajam pemaknaan kalimat bhinneka tunggal ika. Tidak lagi sebatas slogan yang menghiasi pita dalam cengkraman kaki Garuda saja. Bahwa benar negara mengakui kemajemukan masyarakat, tapi di sisi lain negara secara sadar aktif memanipulasi SARA untuk kepentingan penguasa. Negara juga alfa memberikan perlindungan hukum terhadap kelompok-kelompok yang dianggap minoritas.  Padahal menurut Gellner (1983:110) dalam Mabry (2010:66) salah satu tugas utama negara adalah sebagai pelindung kebudayaan. Ketiadaaan fungsi negara pada akhirnya akan mengarah kepada konflik ethno-national yang disebabkan oleh dihambatnya mobilitas sosial karena bukan bagian dari budaya dominan (Mabry, 2010:67).

Usulan untuk mendiskusikan ulang bhinneka tunggal ika sebenarnya sempat disampaikan oleh Parsudi Suparlan seorang guru besar antropologi UI tahun 2004 dalam sebuah artikelnya Bhinneka Tunggal Ika: Keanearagaman Suku bangsa atau Kebudayaan? Prof. Parsudi menekankan pada perubahan ulang konsep keanekaragaman suku bangsa dalam bhinneka tunggal ika menjadi keanekaragaman kebudayaan. Selanjutnya, masyarakat Indonesia yang ia sebut sebagai masyarakat yang bercorak plural (plural society) menjadi masyarakat yang bercorak banyak kebudayaan (multicultural society). 

Gagasan yang sama juga disampaikan Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna, menurutnya konsepsi kebhinekaan kebangsaan Indonesia perlu dikembangkan agar menjadi peletak dasar politik sebagai suatu usaha untuk mencari persatuan dalam perbedaan. Direpresentasikan oleh negara persatuan, kesamaan hak setiap warga negara di atas paham golongan dan perseorangan diakui sebagai upaya menghormati masa lalu, keberlanjutan etnisitas, local genius, kearifan tradisional, budaya, serta perbedaan keyakinan.  Dengan meletakkan dasar keberagaman sebagai bentuk penting kebangsaan Indonesia, Latif menyebutkan Indonesia sebagai “nations-state” daripada “nation state”. Artinya Indonesia adalah bingkai yang menyediakan tempat bagi tumbuhnya imajinasi kebangsaan yang beragam.

Multikulturalisme sebagai Politik Kebhinnekaan Kita

Di dalam sebuah buku yang ditulis oleh Will Kymlicka (1995) tentang Kewargaan multikultural, sebuah negara modern dengan keragaman budayanya merupakan keniscayaan yang harus dikelola menjadi sebuah energi pembangunan. Sejalan dengan itu, ia bagian tak terpisahkan dari semangat demokrasi yang menjamin hak hidup masyarakat dari latar belakang yang berbeda. Sebagai sebuah negara multibangsa, keragaman budaya adalah menerima lebih satu identitas kebangsaan yang berbeda dalam satu negara. Dalam suatu defenisi sosiologisnya nation atau bangsa, erat kaitannya dengan pengertian masyarakat atau suatu kebudayaan. Karena itu, Kymlicka menyebutkan negara yang penduduknya beragam, bukan disebut negara bangsa melainkan negara multibangsa. Kymlicka juga memberikan penekanan sebagai prasyarat sebuah negara multibangsa, pertama, keadilan dan hak minoritas, kedua, memastikan suatu suara untuk minoritas, ketiga, kesetaraan kebudayaan. 

Multikulturalisme sendiri adalah sebuah desain pengakuan terhadap keanekaragaman budaya dalam semangat kesetaraan (Suparlan, 2004). Di dalam bayangan Suparlan, masyarakat multikulturalisme memiliki kebudayaan yang berlaku umum dimana paham ini berkorelasi kuat dengan politik, penegakan hukum, kesetaraan, serta adanya prinsip-prinsip etika. Ditambahkannya, sebagai corak kehidupan masyarakat yang beragam, keanekaragaman budaya harus dilindungi, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong minoritas. 

Penekannya pada pemahaman untuk dapat hidup dalam perbedaaan sosial dan budaya, baik secara individu maupun secara kelompok atau masyarakat. Multikulturalisme juga dilihat sebagat penjembatani serta mengakomodir perbedaan-perbedaan bukan hanya ditataran diskursus tetapi mewadahi perbedaan-perbedaan di ranah publik. Sebagai sebuah ideologi politik, multikulturalisme mendorong warga negara dapat menjalankan fungsi-fungsi produktifitas dan menikmati kesejahteraan hidup yang pantas.

Konsep lain tentang multikulturalisme ditulis oleh Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, bahwa esensi dari multikulturalisme adalah sebagai politik merawat perbedaan kebudayaan warga negara. Multikulturalisme juga mengandung politik integrasi. Bikhu Parekh memberikan tiga bentuk politik integrasi yakni pandangan prosedural, asimilasi sipil, dan otonomi komunitas budaya. Pertama, secara prosedural ada pandangan moral dan perbedaan kebudayaan yang memang harus dihormati dan dilindungi sekalipun pandangan tersebut dianggap irasional. Kedua, asimilasi sipil, komunitas kebudayaan disaat yang bersamaan mampu berbaur dalam budaya politik yang lebih luas. Ketiga, otonomi komunitas budaya yaitu jaminan atas kenyamanan menampilkan identitas di ruang-ruang publik. 

Alhasil, pendekatan multikulturalisme penting untuk kembali dihadirkan agar dapat mewadahi perbedaan-perbedaan. Sebab multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan yang sederajat secara budaya. Sebagai politik merawat perbedaan kebudayaan, multikulturalisme mengandung prinsip moral kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Meskipun pendekatan ini masih terasa asing di banyak kalangan masyarakat, tapi secara prinsip telah digunakan oleh para the founding fathers kita dalam mendesain kebangsaan kita. Oleh karena itu, pendekatan ini sejalan dan sebangun dengan falsafah negara yang dirangkum dalam lima prinsip utama sebagai “titik temu” (persatuan keragaman bangsa), “titik pijak” (dasar ideolgi dan norma), serta “titik tuju” (orientasi).

Dengan kata lain, ide multikulturalisme dapat memperkuat common platform kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus, memperkaya gagasan nilai-nilai berbangsa dan bernegara agar lebih berjiwa progresif. Maka, tak pelak lagi menghadirkannya kembali diskursus kebhinekaan tunggal ika dengan menggunakan pendekatan politik multikulturalisme di tengah mencuatnya “konservatisme” politik bisa menjadi solusi terbaik. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kelurahan Bersih jangan Retorika

KPK Segera Layangkan Panggilan Kedua