Budaya merantau bagi suku Minangkabau dilatarbelakangi berbagai faktor. Intinya mencari penghidupan yang lebih baik. Sejarah menunjukkan merantau juga dilakukan untuk Islam.
“Pada abad ke-14, ulama-ulama Minangkabau merantau dalam rangka penyebaran agama Islam,” ujar Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit, dalam diskusi virtual bersama Yayasan Diaspora Minang Dunia (Minang Diaspora Network-Global/MDN-G), Kamis (25/6/2020).
Pada diskusi yang mengusung tema budaya merantau dan pelestarian adat budaya Minangkabau, Wagub Nasrul mengungkapkan budaya merantau saat ini sangat tergantung kepada kepentingan masing-masing.
“Kalau semua sarana prasarana ada di Sumatera Barat, mungkin orang tidak merantau, termasuk mencari nafkah, lapangan pekerjaan tersedia, orang bisa sekolah, hidup layak dan ekonominya bagus,” jelasnya.
Menyangkut pelestarian adat Minangkabau, Wagub menuturkan bahwa konsep kembali ke Surau dan Nagari belum sepenuhnya tercapai. Hal ini merupakan tantangan.
Dirinya mengapresiasi gerakan babaliak ka surau yang telah diinisiasi oleh Ketua MUI Sumbar melalui pendirian Surau Buya Gusrizal Gazahar di Kota Bukittinggi.
“Di sana generasi muda dididik bukan hanya mengaji saja, ada kegiatan beladiri, pelajaran adat, kesenian juga,” sebutnya.
Selanjutnya Wagub Nasrul juga menyinggung peran dan fungsi niniak mamak yang mulai memudar, khususnya terkait upaya-upaya pembinaan terhadap dunsanak yang berada di kampung halaman.
“Kok dapek niniak mamak berfungsilah untuak mambina anak kamanakan,” harapnya.
Di samping itu ia juga menyoroti bagaimana upaya seluruh pihak dalam melestarikan bahasa Minang. Selaku orang Minangkabau, bahasa merupakan identitas yang wajib dilestarikan.
“Kita tentu tidak ingin, jangankan paham Datuak, bahasa Minang saja tidak dikuasai, bagaimana cara berkomunikasi dengan anak kemenakan di kampung,” pungkasnya.
Terakhir ia mengharapkan, melalui dialog dan dukungan dari tokoh Minang di manapun berada, cita-cita masyarakat Minangkabau bisa diwujudkan. (ISC/ MMC DiskominfoSB)