Segerombolan orang dari sejumlah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang mengatasnamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) berunjukrasa. Mereka menolak kebaktian perayaan Natal yang rencananya akan dilangsungkan di Gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) Bandung, Jawa Barat pada Selasa malam. Mereka menuding kegiatan ibadah itu juga mengundang pemeluk agama lain. Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, kata mereka, tidak membolehkan mengajak agama lain ke kegiatan agamanya. Karena itu mereka mendesak agar ibadah Natal yang dipimpin Pendeta Stephen Tong itu dipindahkan ke gereja.
PAS juga menuding penyelenggara kegiatan berbohong. Mereka beralasan waktunya tak sesuai dengan yang dijadualkan. Dalam spanduk tertulis kegiatan akan berlangsung mulai pukul 18:30 tapi menurut PAS sejak pukul 13 kegiatan sudah mulai.
Penyelenggara mengaku memakai gedung Sabuga lantaran tempat ibadah yang mereka miliki tak bisa menampung jemaat yang lebih besar. Tudingan mengundang penganut agama lain sepertinya mengada-ada. Setidaknya itu terlihat dari spanduk di depan gerbang Sabuga yang tegas menyantumkan tulisan kegiatan Natal itu khusus untuk umat kristiani. Tapi pendemo tak menggubris spanduk itu. Bahkan semalam beberapa sempat masuk ke dalam gedung meminta acara dibubarkan. Melalui video yang beredar di media sosial tampak di panggung anak-anak dengan wajah cemas lantaran dipaksa turun oleh seorang pendemo.
Begitulah nasib minoritas di negeri ini. Diskriminasi jadi santapan rutin. Bahkan untuk kegiatan ibadah yang dijamin konstitusi sekalipun, bisa dibatalkan atau dibubarkan atas nama tekanan massa. Sementara untuk membangun tempat ibadah juga perkara sulit. Pemerintah daerah dan aparatnya mesti memastikan hal serupa tak terjadi lagi. Jaminan dari konstitusi mestinya bisa jadi kekuatan untuk memberi hak beribadah bagi agama atau keyakinan apapun, di tempat manapun yang memungkinkan untuk dilaksanakan ibadah tanpa mengganggu aktifitas orang lain.