in

Nikah Itu Puncak Bahagia

Judul berita utama halaman 2 Padang Ekspres, Rabu (16/8), berjudul “Tidak Menikah Paling Bahagia”, benar-benar “menjual” untuk pembaca harus menamatkan berita tersebut. Namun, bersamaan dengan itu hasil survei BPS tersebut adalah sinyal adanya perubahan persepsi masyarakat terhadap lembaga perkawinan. Tidak Menikah Paling Bahagia itu juga menjadi penanda terjadinya pergeseran konstruksi pemikiran masyarakat tentang kepuasaan hidup, perasaan dan makna hidup. Sinyal itu pula menunjukkan tengah terjadi perubahan mendasar tentang gaya hidup menuju era kebebasan. 

Survei indeks kebahagian hidup tahun 2014 hanya 68,28, tahun 2017 naik menjadi 70,69 dengan jumlah responden 72 ribu rumah tangga pada 487 kabupaten/kota. Indikator kebahagian hidup orang Indonesia dimensi paling tinggi adalah mengenai makna hidup 72,23 poin, kemudian kepuasaan hidup 71,07 poin dan dimensi perasaan hidup 68,59 poin. Ada hal menarik bahwa ada gap yang tinggi antara dimensi sosial dan dimensi personalnya” (Padang Ekspres, Rabu (16/8), halaman 2).

Karakteristik keluarga yang diukur kebahagiaannya laki-laki lebih bahagia dari perempuan, keadaan ini tidak berubah sejak tahun 2012 lalu, orang kota lebih bahagia dari orang desa dari sisi pendidikan dan penghasilan, dalam bidang sosial justru orang pedesaan lebih bahagia dari orang perkotaan. Dari sisi umur orang muda mengalahkan kebahagian orang tua, paling rendah bahagianya orang di atas usia 64 tahun. Bahwa orang single lebih bahagia dari yang sudah menikah, status cerai hidup indeks kebahagian paling rendah, realitas sosial ini adalah warning bagi tokoh agama, pendidik dan pegiat keluarga, adanya pergeseran nilai keluarga. 

Provinsi Maluku Utara dengan penduduk paling bahagia, diikuti Maluku dan Sulawesi Utara diukur dari dimensi hubungan sosial sangat baik, khususnya variabel terkait makna hidup. Mereka lebih meyakini diri mereka lebih berharga dari orang lain. Mereka merasa nyaman, dan akhirnya bahagia. Hasil survei di atas banyak bacaannya, seperti perubahan mindset tentang perkawinan sebagai pengurang kebahagian. Dapat juga dibaca bahwa ada yang salah dan atau berubah dengan pandangan sosial tentang perkawinan di era digital ini? 

Bahagianya Menikah

Kebahagiaan tertinggi dalam dimensi kepuasaan, perasaan dan makna hidup sejatinya ada pada pernikahan. Secara normatif, juridis, psikologis dan sosiologis, pernikahan adalah jaminan terhadap pencapaian kebahagian sesungguhnya. 

Kata-kata dalam karangan bunga, tulisan dalam kartu ucapan selamat terhadap perkawinan dan ucapan yang disampaikan undangan saat memberikan doa restu pada kedua pengantin dalam pesta pernikahan adalah selamat menempuh baru, semoga bahagia dan menjadi keluaga yang sakinah, mawaddah dan rahmah disingkat Samara. Istilah Samara kini sudah viral karena dipakai dalam komunikasi medsos dan generasi milineal sebagai ungkapan kebahagiaan yang hendak dicapai pasangan yang baru menikah. 

Islam menegaskan bahwa pernikahan itu adalah bagian dari mewujudkan tanda-tanda kemahakuasaan Allah SWT dan sekaligus menetapkan norma dan indikator bahagia dengan konsep sakinah, mawaddah dan rahmah. (QS. Al-Ruum/30:21). Sakinah berarti hadirnya situasi aman, nyaman dan bebas dari kekhawatiran pada kekurangan kebutuhan pokok. Mawaddah adalah hubungan cinta kasih yang didasarkan pada ketulusan. Rahmah artinya hubungan saling menyayangi dan mengasihi atas dasar hak-hak dasar kemanusiaan, fitrah. 

Panduan Al Quran untuk menjadikan pernikahan sebagai puncak kebahagian meliputi; Pertama, komitmen pada janji pernikahan. Komitmen kesetiaan pada pasangan hidup hanya bisa kuat, kokoh dan teguh bila dibingkai sikap spiritual atau iman. Komitmen iman disebut urwatul wusqa lamfisama laha, ikatan kuat yang tidak bisa dipisahkan oleh apapun, carai tambilang menyudahi, kearifan adat Minangkabau.

Kedua, komunikasi ma’ruf. Hubungan pasangan suami istri dapat membawa kebahagiaan, ketika komunikasi—lisan, tulisan, medsos, body language—dibangun atas dasar ma’ruf. Ada sembilan kali istilah komunikasi ma’ruf disebut dalam hubungan penikahan pada surat Al-Baqarah dari ayat 228-38 dan dalam surat An-Nisa’ 19-25. 

Perselingkuhan terjadi ketika anggota keluarga salah mengerti, atau komunikasi yang tidak ma’ruf. Reunian, CLBK, SMS, WA, Twitter dan sejenisnya, walaupun baik, namun seringkali menjadi pintu penyimpangan komunikasi, akhirnya menjadi pangkal bala rusaknya tatanan keluarga bahagia dan harmonis. 

Ketiga, relasi berpatutan. Pernikahan adalah menyatukan dua pribadi yang berbeda. Perbedaan antara dua insan itulah yang dicarikan persamaan dalam pernikahan. Bergaul dengan ma’ruf dapat dikatakan pergaulan yang memperhatikan sistem, nilai, norma, budaya, agama dan kepatutan sosial dalam komunitas. (QS. An-Nisa’: 19).

Adat Minangkabau mengajarkan tatanan moral, etika dan kepatutan dalam  sumando menyumando, ipar, besan, mertua, yang akhirnya menjadi keluarga batih dengan peran dan tanggung jawab berbeda. Keempat, keluarga surga kehidupan. Aspek penting lainnya yang hendaknya hadir dalam pernikahan adalah terbentuknya keluarga sebagai pelabuhan hati dan jiwa. 

Adanya pandangan orang bahwa “tidak menikah itu bahagia” adalah wujud dari salah mengerti, tidak memahami makna hidup, atau salah membaca konstruksi sosial terhadap artinya pernikahan dan keluarga dalam komunitas.  

Adapun ada konstruksi sosial budaya yang keliru terhadap pernikahan dan keluarga, seperti upacara menikah dengan biaya tinggi, pesta pernikahan yang harus glamour, tuntutan belanja hidup mewah, nikah cerai kaum selebritis yang hedonis, dan perilaku tidak Islami lainnya, adalah tantangan untuk diluruskan. 

Menikah itu memerlukan kesamaan pandangan pasangan, biayanya murah, tidak perlu cost tinggi, perlu komitmen pasangan, ijab qabul, persetujuan wali, saksi, mahar yang tidak harus mahal, saksi dan sedikit walimah (peresmian sudah menikah). 

Selanjutnya kedua pasangan hidup bersama di bawah perlindungan hukum, norma dan sosial budaya, apakah keadaan seperti itu tidak menunjukkan bahwa nikah itu puncak kebahagian? Beban sosial, dan penderitaan personal diyakini akan menghimpit setiap individu yang tak mau menikah, berkeluarga atau memilih hidup membujang, jomblo, karena mereka melawan kodrat yang melekat pada dirinya sendiri. Hidup tak mau menikah adalah penyimpangan sosial yang mengancam kelestarian entitas manusia. Belum lagi orang yang memilih hidup jomblo akan kesulitan mencari individu tempat ia curhat sepenuh hati, tempat mendiskusikan banyak dalam menempuh hidup. Di samping itu, pilihan hidup tidak menikah akan beroleh sanksi sosial dianggap di luar kodrat hidup. 

Wahai para jomblo menikahlah bila sudah mampu, saatnya sudah tiba dan berkeluarga segera untuk mendapatkan puncak kebahagian hidup. Semoga Samara hadir untuk keluarga Indonesia. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Merayakan Kehadiran Negara di Tengah Pasifik

Zahria Konsisten Lahirkan Album Minang