Aneka ragam peristiwa menjadi salah satu jalan Tuhan menyampaikan pesan-pesan-Nya. Buku ini memuat 35 kisah singkat dengan nilai-nilai universal yang dapat dimaknai pembaca, tanpa sekat apa pun. Penulis adalah rohaniwan muda yang sama-sama diutus kembali ke kampus untuk melanjutkan studi. Mereka berbagi tentang merayakan hidup dengan cinta kepada Tuhan, sesama, bahkan yang berbeda.
Di antara tulisan Rama Andreas, imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang, ada tema mengenai kebahagiaan sebagai esensi hidup manusia, tempat sumber kebahagiaan dapat ditemukan. Apakah kekayaan, ketenaran, kekuasaan, atau kecantikan dapat membuat manusia bahagia? Pencerahan muncul dari perjumpaannya dengan sosok Mbah Juman dan Suster Virgini.
Mbah Juman dalam kisah Hidup Bahagia ala Mbah Juman, seorang pria 70 tahun yang sehat, gembira, dan banyak tawa. Resep bahagia dan umur panjang, pertama dan utama banyak bersyukur. Kondisi masa tua berbeda dijalani Suster Virgini dalam Selamat Ulang Tahun, Suster Virgini!. Suster purnatugas yang sedang merayakan ulang tahun ke-87 itu tak berdaya di usia senjanya. Dia hanya bisa terbaring di ranjang dengan pancaindera yang telah banyak berkurang fungsinya. Namun, dia tetap gembira dan optimistis. Dia juga selalu senyum memancarkan kebahagiaan sejati.
Rama Andreas mengutip sebuah dongeng kebijaksanaan Timur Tengah tentang Sufi Ra’biah al-Adawiyah, perempuan yang dianggap gila karena mencari jarum di luar rumah, padahal dia menghilangkannya di dalam rumah. “Kalian menganggap aku gila. Tetapi, kalian melakukannya juga seumur hidup. Kalian kehilangan di dalam, batin kalian, tetapi mencarinya di luar” (hlm 88).
Sementara itu, tulisan Sr Andrea, OP secara khusus banyak bertema toleransi dan pluralisme. Ini sejalan dengan suasana keberagaman penuh persaudaraan di kampus swastanya di Yogyakarta. Perjumpaannya dengan teman-teman kuliah yang lebih muda dan tidak seiman, bahkan mendorong salah satu datang kepadanya. Dia mempercayainya sebagai tempat berbagi pergulatan hidup. Kisah ini juga menjadi judul buku, Cerita Kecil di Bawah Payung.
“Justru dalam perbedaan itulah, saya menemukan arti diri. Saya dituntut menjadi berkat. Dalam perbedaan, asal ada hati terbuka, rasanya hilanglah sekat-sekat penghalang itu” (hlm 139). Demikian ungkap suster yang berkarya sebagai guru ini. Ia bersyukur karena masih diperkenankan memberi perhatian dan cinta kepada sesama. Tuhan masih menggunakannya untuk karya baik-Nya.
Kisah menarik lain, Suster Pengunjung Masjid Kampus. Isinya, mengenai Sr Andrea, sebagai biarawati Katolik, dengan pakaian khas jubah mencolok, masuk musholla ikut menikmati keteduhan di situ. Meski, awalnya ragu dan takut, dia menunggu teman-temannya yang muslim selesai salat. Selama menunggu, Suster turut menguntai doa sesuai keyakinannya. “Benar-benar sejuk dan damai. Kami berada dalam satu bangunan suci, tetapi beribadah dengan cara masing-masing. Rasanya, saya berada dalam suatu tempat yang tidak terjangkau,“ ujarnya (hlm.145).
“Seorang Sahabat dari Bugis” mengisahkan persahabatan Sr Andrea dengan seorang muslim yang tak asing dengan gereja. Awalnya dari sekadar mengantarkan teman, lalu ikut masuk dan duduk sampai misa kudus selesai. Sahabat yang sama-sama berasal dari Bugis itu mengaku senang memperoleh inspirasi dari khotbah para pastor dan informasi yang benar mengenai agama Katolik, ternyata berbeda dengan paham yang selama ini dia dengar.
Agar bisa saling memahami lalu menjadi toleran, perlu keberanian melangkah lebih jauh untuk masuk. Perbedaan tak bisa ditolak. Tak bisa dibuat jadi sama. Tak boleh pula jadi penghalang hubungan sosial antarmanusia. Di tengah kondisi negeri yang belakangan memprihatinkan karena sensitif bahkan menolak perbedaan, buku ini dapat menggugah pembaca untuk lebih dalam merenungkan arti keberagaman dan toleransi. n
Diresensi Anindita Arsanti, Alumna UPN Veteran Yogyakarta