Bikin Klub Baca setelah Diusir dari Toko Buku
Aktivitas Nursyda Syam menularkan semangat membaca kepada ibu-ibu dan masyarakat Lombok Utara sudah genap satu dasawarsa. Dengan buku, dia memprovokasi orang-orang desa untuk mau menimba ilmu.
Sore itu (27/10) cuaca di Dusun Prawira, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, sangat cerah. Suasana ramai tampak di sekretariat Klub Baca Perempuan (KBP) di Dusun Prawira. Belasan anak bermain ayunan dan panjat-panjatan di kompleks sekolah alam dan PAUD yang didirikan Nursyda Syam itu.
Bersama suami, Lalu Badrul Islam, Ida mendirikan KBP pada 2006. Awalnya menempati rumah kontrakan di Lombok Timur, tapi pada 2008 pindah ke rumah Ida di kampung halaman sampai sekarang.
“Sejak kecil saya senang membaca. Almarhum ayah sering membelikan buku dongeng inspiratif seperti biografi PM India Mahatma Gandhi dan PM Pakistan Benazir Bhutto,” ujar Ida saat mengajak Jawa Pos (Grup Padang Ekspres) berkeliling kompleks sekolah alam miliknya.
Ketika itu Ida tengah menunggu kedatangan ibu-ibu duta baca KBP. Kebetulan, November ini KBP merayakan hari ulang tahun ke-10. Mereka merancang kegiatan literasi bersama pemerintah setempat.
Ida bercerita, dirinya tergerak terjun ke bidang literasi justru bermula dari kondisi yang memprihatinkan di desanya. Saat dia masih kecil, Dusun Prawira termasuk terbelakang.
Akses menuju Kecamatan Tanjung sangat sulit. Setiap hari hanya beberapa kendaraan yang lewat. Untuk bisa ke Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat, diperlukan usaha yang luar biasa.
“Dulu naik ke Gunung Pusuk menuju Mataram seperti mau ke Tanah Suci. Perlu perjuangan ekstra,” ungkap perempuan 35 tahun itu memberikan gambaran.
Yang memprihatinkan, di dusunnya tersebut banyak perempuan yang tak berdaya karena hanya mengurus dapur dan di kasur. Mereka lebih sibuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
Namun, ada perkecualian bagi keluarga Ida. Ayah Ida dulu wartawan media lokal di Lombok. Dia selalu menyediakan buku-buku bacaan untuk anak-anaknya. “Ayah saya percaya, meski hidup serba terbatas, pengetahuan tidak boleh dibatasi,” ujar ibu Kesya dan Ara itu.
Meski di sekolah bukan siswa yang menonjol secara akademis, Ida menyebut kegemarannya membaca membantunya menempuh jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi. Dia pun sukses menembus Fisipol UGM tanpa tes melalui program penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) 1998.
Ida memilih Yogyakarta sebagai tempat menuntut ilmu karena yakin hobinya membaca buku akan tersalurkan. Benar saja, begitu sampai di Kota Gudeg, dia bak kesetanan melahap buku-buku yang tersedia di toko-toko maupun perpustakaan-perpustakaan umum.
Tidak hanya kalap baca buku, Ida juga terobsesi menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Maka, dia kemudian berkuliah rangkap di Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Persoalannya, uang saku kiriman orang tua ngepres untuk membiayai hidup di Yogya. Akibatnya, Ida mesti mencari tambahan uang saku dengan berbagai cara.
“Saya pernah ngamen, jual koran, sampai mengasuh anak orang. Tapi, saya melakukannya dengan fun,” kenang peraih SK Trimurti Award (2013), anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka (2013), dan Frans Seda Award (2016) itu.
Di negeri Sultan pula ide mendirikan klub baca tersebut muncul. Hal itu terjadi setelah dia menemukan buku berjudul Indonesia tanpa Pagar.
Selama seminggu, Ida bolak-balik berjalan kaki dari Jalan Kaliurang, tempatnya kos, menuju toko buku langganannya agar bisa membaca buku karangan Adriani Sumampouw Sumantri dan Darmanto Jatman tersebut dengan gratis. Ida jatuh cinta pada buku itu.
Rupanya, aktivitas Ida memanfaatkan kelonggaran toko buku tersebut diawasi penjaga toko. Puncaknya, suatu hari si petugas mendatangi Ida yang tengah mojok meneruskan pembacaan buku kesukaannya itu.
Dengan serta-merta si petugas membentak Ida yang langsung terkejut dan tergagap. Dia disuruh memilih: membeli buku tersebut atau keluar dari toko. Lantaran tak punya cukup uang, Ida memilih keluar toko sambil menahan malu.
“Entah itu bercanda atau tidak, kejadian itu membekas sampai sekarang,” kenangnya.
Meski begitu, kejadian tersebut tidak membuat Ida berkecil hati. Dia justru kian bersemangat untuk segera merealisasikan gerakan literasinya, mengajak orang gemar membaca buku. Bahkan, semangatnya itu dibawanya saat menikah dengan Badrul, sang kekasih.
“Saat akan menikah, saya meminta mahar satu buah buku, ditambah janji beliau (Badrul) akan bersama saya membuat gerakan membaca buku,” ujarnya disusul tawa.
Janji tersebut benar-benar direalisasikan Badrul. Bahkan sejak di rumah kontrakan dan tempat usaha di Selong, Lombok Timur, Badrul membuatkan sebuah rak buku di samping tempat usahanya agar bisa dimanfaatkan sebagai taman bacaan.
Dari situlah Ida kemudian bertemu dengan empat ibu rumah tangga yang memiliki hobi dan semangat sama. Maka, tak lama kemudian berdirilah KBP. Ida menjelaskan, nama KBP dipilih karena inisiasi gerakan bersama empat temannya satu misi itu.
Kebetulan, tiga di antaranya juga lulusan kampus di Yogya dan satu lainnya dari Malang. “Koleksi buku kami awalnya baru sekitar 200 sampai 300 judul. Itu hasil urunan kami berlima,” kata Ida.
Setelah dua tahun berdiri di Lombok Timur, KBP ternyata kurang berkembang. Masyarakat kurang peduli, bahkan terkesan cuek, dengan fasilitas gratis yang disediakan Ida cs. “Mungkin mereka menilai membaca buku manfaatnya jangka panjang. Atau mungkin kami kurang mampu mendekati mereka,” ujarnya.
Setelah memutuskan pindah kembali ke Lombok Utara, Ida tetap konsisten menularkan semangat membaca kepada masyarakat melalui KBP. Upayanya tersebut sempat dicurigai memiliki muatan politis.
Sebab, saat itu di desanya tengah berlangsung pemilihan kepala desa. “Tapi, saya memilih diam saja,” kata Ida yang membuka usaha laundry di rumah.
Setelah kecurigaan tersebut tak terbukti, perlahan-lahan aksi Ida dkk mulai mendapat simpati masyarakat. Dia mengawali dari keluarganya di rumah. Ida mengajak suami maupun anak pertamanya, Kesya, menyenangi aktivitas membaca buku. Prestasi Kesya di sekolah pun termasuk menonjol.
“Banyak ibu-ibu yang bertanya, itu Kesya kok asyik sekali anaknya. Saya sampaikan, itu karena dia senang membaca buku. Dan itu semua bergantung ibunya,” jelas dia.
KBP kini memiliki 24 cabang layanan yang tersebar dari gerbang masuk Lombok Utara sampai di kaki Gunung Rinjani. Koleksi bukunya mencapai 16 ribu judul, yang didapat dari usaha dan donasi. “Kami juga punya 152 duta baca, termasuk ibu bupati dan ibu wakil bupati,” terang Ida. (*)
LOGIN untuk mengomentari.