KEMARIN muncul berita dan broadcast tentang utang BUMN. Kemudian hal tersebut dibahas secara masif dalam group-group WhatsApp (WA).
Sebenarnya pemberitaan tersebut tentang Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VI DPR RI dengan Kementerian BUMN, bukan hanya membahas tentang utang, tetapi juga tentang perkembangan aset BUMN.
Tetapi entah mengapa, yang lebih senang dibahas dari berita itu bukan tentang perkembangan asetnya, tapi utangnya. Bahkan calon wakil presiden Sandiaga Uno, dengan perspektif pilpres—dan menyalahkan petahana tentunya—ikut berkomentar tentang utang BUMN ini. Ia menyatakan bahwa utang BUMN itu mengkhawatirkan. Bahkan dia mengatakan bahwa utang itu karena politik Jokowi.
Deputi Menteri Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro, dalam pemberitaan itu sebenarnya sudah menjelaskan bahwa utang itu aman dan digunakan untuk investasi. Saya pun mengamini bahwa utang itu aman. Bukan hanya dilihat dari DER (Debt Equity Ratio--Rasio utang terhadap modal) seperti yang dipaparkan Aloysius Kiik Ro, juga bisa dilihat dari kemampuan-labaan BUMN tersebut.
BUMN yg disebut pengutang terbesar—Telkom, Mandiri, BRI dan lain-lain—adalah BUMN dengan kinerja yang baik (untung) dan sebagian besar sahamnya dengan predikat “blue chip” di lantai bursa. Artinya, saham perusahaan ini berharga tinggi/kapitalisasi besar, sering diperdagangkan, dan dipercaya untuk investasi jangka panjang. Artinya penilaian saya terhadap keamanan utang BUMN itu, sejalan dengan publik yang bermain di pasar modal.
Kita boleh dan memang harus waspada dengan utang BUMN. Tapi kita tetap harus jernih menilainya. Jangan seperti calon wakil presiden Sandiaga Uno (Sandy) yang memandang negatif utang BUMN, padahal dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara) juga tercatat bahwa Sandy memiliki utang hampir Rp9 triliun (Rp 8.4 triliun rupiah dan 23.653.682 dollar AS).
Tidak bisa dikatakan bahwa utang Sandy itu, apakah korporasi maupun pribadi, kalau bermasalah maka tidak beresiko buat negara. Saya tekankan, kalau utang sudah sebesar itu, jika bermasalah jelas akan ikut merusak ekonomi nasional.
Contoh Bank Century. Begitu sakit, pemerintah segera bailout agar tak muncul efek sistemik. Padahal dana bailout-nya Rp7,6 triliun, lebih kecil dari utang Sandy yang hampir Rp9 triliun tersebut.
Jadi sekali lagi, jernihlah dalam menilai. Jangan lupa pula, BUMN itu diawasi DPR. Dan BUMN yg sudah go publik (Tbk) selain diawasi oleh DPR juga diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa.
BUMN dan Keadilan
Yang harus ditingkatkan oleh BUMN adalah memperbesar kontribusinya dalam membantu pemerintah untuk mewujudkan keadilan. Komitmen pemerintah Jokowi dalam mewujudkan keadilan tak perlu diragukan.
Pembangunan infrastruktur di wilayah terluar dan wilayah perbatasan, kebijakan BBM satu harga, redistribusi lahan, dan program afirmatif lainnya adalah wujud pembangunan yang berkeadilan, yang sedang dijalankan pemerintah.
Hasilnya sudah tampak. Indeks Gini (gini ratio), indeks ketimpangan pendapatan di masa pemerintah Jokowi menurun dari 0,414 di September 2014, menjadi 0,389 di Maret 2018. Tingkat kemiskinan juga menurun menjadi 9,82 persen.
Jika banyak pihak yang masih merasa tidak puas atas kinerja pemerintah tadi, bagi pemerintah, ini harus menjadi dorongan untuk bekerja lebih keras lagi.
Termasuk BUMN. Kontribusinya harus lebih besar lagi. Jika sebelumnya BUMN berkontribusi sebesar Rp351 triliun untuk APBN dalam bentuk pajak dan deviden, ke depan harus lebih besar lagi. Menjadi BUMN efisien menjadi tuntutan.
Bagi kalangan oposisi, tentu harus menyadari bahwa kita tidak sedang mulai di titik nol. Ketidakadilan sudah berjalan di rezim sebelumnya, terutama masa Soeharto. Jadi sambil memastikan perekonomian saat ini terus berjalan (tumbuh), masalah kesenjangan akan terus dibenahi.
*) Teddy Wibisana, Dewan Penasehat Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) dan Komisaris di BUMN