JAKARTA – Undang-Undang Cipta Kerja perlu dioptimalkan dalam tataran implementasinya agar mampu mendorong daya saing Indonesia di mata investor. Selain itu, monitoring juga penting agar penyederhanaan regulasi bukan hanya terjadi secara de jure (hukum), tetapi juga de facto (pengakuan) dari investor.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Talisa Aulia Valianty, yang diminta pendapatnya soal omnibus law Cipta Kerja dan dampaknya terhadap daya saing mengatakan untuk melihat korelasinya harus melihat pengalaman empiris Indonesia yang mengacu pada Ease of Doing Business (EODB) dari Bank Dunia dan Global Competitiveness Index (GCI) dari World Economic Forum (WEF).
Dari pengalaman pada 2013 dalam GCI peringkat yang jauh membaik adalah infrastruktur dan pasar tenaga kerja yang membaik 17 peringkat, juga pasar produk yang naik 13 peringkat. Sedangkan untuk EODB yang mengalami peningkatan peringkat secara drastis pada 2018 adalah Resolving Efficiency yang membaik 38 peringkat dan Enforcing Contract sebanyak 27 peringkat.
Meskipun demikian, beberapa PR besar di dalam EODB 2019 yang masih perlu diperbaiki Indonesia karena peringkatnya masih di atas 100 adalah Starting Business (140), Trading Across Border (116), Dealing with Construction Permit (110), dan Registration Property (106). Sedangkan yang perlu diperbaiki dalam GCI tahun 2019 adalah Health (96), Labor Market (85), dan Innovation Capability (74).
Berdasarkan model regresi sederhana antara GCI dengan PDB dan tenaga kerja sebagai variabel independen, maka diperoleh koefisien regresi untuk GCI sebesar -0.13. Artinya, kenaikan/perbaikan ranking sebesar 1 peringkat dalam GCI atau ranking menjadi lebih kecil akan menaikkan PDB sebesar 0,13 persen ceteris paribus.
“Jika Omnibus Law secara skenario moderat dapat didekati dengan historis perbaikan median dalam GCI maka dengan median perbaikan peringkat sebesar 5 maka akan diperoleh kenaikan PDB sebesar 0,65 persen poin dari baseline. Jika digunakan skenario optimis bahwa perbaikan peringkat GCI adalah 12 peringkat maka maksimal akan dapat kenaikan 1,56 persen poin dari baseline,” kata Talisa.
Jika baseline pertumbuhan 5 persen maka maksimal dapat diperoleh pertumbuhan sebesar 6,56 persen. Angka tersebut diharapkan dapat mengeluarkan Indonesia dari middle income trap.
“Pertanyaan apakah Omnibus Law mampu menaikkan peringkat GCI kita hingga 12 peringkat dengan kondisi global yang saat ini penuh ketidakpastian. Sebab, simulasi yang dilakukan belum memperhitungkan dampak wabah Covid-19,” katanya.
Lebih Realistis
Dihubungi terpisah, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan pemerintah harus lebih realistis akan harapan ekonomi lebih lekas pulih meskipun vaksin ditemukan.
“Kalau baru awal 2021 vaksin didistribusikan, tentu sulit diharapkan tahun itu juga recovery tercapai. Paling cepat baru 2022 dampaknya bisa dirasakan karena distribusi vaksin untuk populasi yang besar dan tersebar seperti di Indonesia tentu perlu waktu,” kata Andy. n ers/SB/E-9