Takut Salah Bicara, tak Berani Ajak Ngobrol Habibie
Muhammad Nasim menjadi langganan BJ Habibie sejak sang istri Ainun berpulang. “Pelanggan VIP”-nya banyak: mulai gubernur Bank Indonesia, sejumlah jenderal, sampai duta besar.
Tiap kali Muhammad Nasim datang ke rumah, pria itu pasti sudah menunggu di kursi biasanya. Persis di depan cermin.
Dengan segera pula Nasim akan mengeluarkan peralatan cukur yang dibawa. Lalu memotong rambutnya. Tanpa sekali pun berani membuka pembicaraan. Meski sudah tujuh tahunan dia jadi tukang cukur langganan pria tersebut.
“Saya khawatir salah bicara. Nanti suasananya jadi tidak enak,” katanya kepada koran ini yang menemuinya di PX Wijaya, barbershop tempatnya bekerja di Jakarta, Rabu (8/11) lalu.
Maklum, pria yang rambutnya dia tangani di rumah yang terletak di bilangan Patra Kuningan, Jakarta, itu bukan orang sembarangan. Dia BJ Habibie, presiden ketiga Indonesia.
Biasanya Habibie-lah yang mencairkan suasana. Selagi rambutnya dipotong, pakar aeronautika dunia lulusan Jerman tersebut kerap bertanya tentang keluarga Nasim. “Anak berapa, cucu berapa. Tidak ngomongin politik lah, enggak ngerti,” kata Nasim.
Habibie, ujar Nasim, bukan orang yang neko-neko untuk urusan cukur. Rambut Habibie yang sudah menipis pun tidak sulit untuk ditata. Nasim mengaku hanya perlu merapikan sedikit. Tidak ada model khusus yang diminta tokoh yang pernah lama menduduki jabatan menteri riset dan teknologi di era Orde Baru itu.
“Model rambut orang tua biasa, enggak dimodel-modelin. Nyukurnya saja paling lima menit selesai,” jelas pria asli Karawang, Jawa Barat, tersebut.
Yang merekomendasikan Nasim kepada Habibie adalah kedua adiknya, Timmy dan mendiang Fanny Habibie. Keduanya memang sudah lama menjadi langganan Nasim. Fanny malah sudah sejak masih di bangku Akademi Angkatan Laut.
Sebelumnya Habibie tidak pernah cukur di tukang cukur. Mendiang istrinya, Ainun, yang selalu memotong rambutnya. Setelah Ainun meninggal pada 2010, Habibie kebingungan di mana harus cukur. Akhirnya adik-adiknyalah yang merekomendasikan Nasim. “Saya ditelepon, lalu dijemput. Setelah itu beliau jadi langganan saya,” kenangnya.
Bagi Nasim, menjadi tukang potong rambut seorang mantan presiden jelas tak pernah terbayangkan. Sebab, menjadi tukang cukur saja lebih disebabkan kepepet.
Semua berawal ketika salah seorang saudaranya menjual sawah milik keluarga untuk maju sebagai calon kepala desa di kampung halamannya di Karawang. Jabatan yang diincar gagal diraih, sedangkan semua aset warisan orang tua habis. Merantaulah Nasim ke Jakarta pada 1960-an. Itu pun tidak langsung menjadi tukang cukur. Tapi pekerja di berbagai kantor, termasuk di gedung DPR/MPR.
Tragedi nasional 30 September 1965 menandai babak baru dalam hidup Nasim. “Pas banget 30 September tuh. Saya keluar dari kerjaan di gedung DPR/MPR dan akhirnya jadi tukang cukur di Blok M,” terang pria yang tinggal di kawasan Ciledug tersebut.
Menjadi tukang cukur dipilihnya karena teman-teman seperantauan kebetulan banyak berkecimpung di pekerjaan yang sama. Belajarlah dia kepada mereka. “Waktu itu yang dipikirkan kerja apa saja, yang penting bisa hidup. Yang penting enggak maling,” tutur Nasim.
Pengalaman tak mengenakkan langsung dia alami saat menangani pelanggan pertama. Seorang kolonel angkatan udara. “Boro-boro nyukur ABRI (TNI), nyukur orang biasa aja waktu itu masih ngeri. Baru banget soalnya,” kata Nasim mengingat pengalaman pertamanya itu.
Jadilah dalam benak Nasim muncul pikiran-pikiran negatif. Bagaimana kalau dia gagal? Bagaimana kalau pelanggan pertamanya tidak puas? Dan bagaimana-bagaimana yang lain sampai akhirnya Nasim kehilangan konsentrasi. Dan pisau Nasim pun menyayat kulit kepala sang kolonel.
Otomatis berdarah. Otomatis pula sang kolonel marah. Nasim pun ketakutan setengah mati. “Untungnya, dia tidak sampai menampar. Saya benar-benar minta maaf,” kenang dia.
Pengalaman pahit itu pun mengajarinya untuk lebih berhati-hati. Juga mendorongnya agar lebih giat meningkatkan kemampuan. Untuk mematangkan kemampuan, dia memilih menangani pelanggan anak-anak dulu. Pengetahuannya tentang gaya rambut yang terus berubah juga dia genjot. Sampai “zaman now”.
Tak jarang permintaan pelanggan yang membuatnya geli. Ada yang, misalnya, minta bagian atasnya panjang, tapi pinggirnya dibuat tipis. “Saya bilang kan jelek. Dia mah senang. Ya sudah, kita mah ngikut saja, hehehe,” ucap Nasim.
Sekian puluh tahun setelah pengalaman tak mengenakkan dengan sang kolonel tadi, Nasim pun tumbuh menjadi tukang cukur yang mumpuni. Tak heran kalau pelanggannya datang dari berbagai kalangan.
Habibie bukanlah satu-satunya pelanggan “VIP (very important person)” Nasim. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo juga rutin mengunjungi PX Wijaya untuk merapikan rambutnya. “Kalau sedang ke sini, bawa pengawal segala macam. Polisi juga berjaga di depan,” beber kakek 23 cucu itu.
Kendati demikian, lanjut Nasim, PX Wijaya tidak lantas ditutup untuk umum. Agus juga sama sekali tidak berkeberatan jika harus berbagi tempat cukur dengan pelanggan lain. Tapi memang, suasananya agak lain karena ada polisi dan pengawal Agus yang berjaga di depan.
Selain Agus, para purnawirawan jenderal polisi dan TNI pun kerap mendatangi PX Wijaya untuk mendapatkan layanan potong rambut dari Nasim. Antara lain mantan Wakapolri Adang Daradjatun, sejumlah mantan Kapolda Metro Jaya, serta beberapa jenderal bintang dua dan tiga. Begitu pula mantan Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia John Cameron Monjo. Monjo bertugas di Indonesia pada 1989–1992.
Semua pelanggan VIP itu selalu mendatanginya ke PX Wijaya tiap kali butuh potong rambut. Kecuali Habibie. Nasim yang mendatanginya ke Patra Kuningan dua bulan sekali. Timmy yang biasanya menghubungi Nasim dulu untuk membuat janjian. “Di hari yang disepakati saya dijemput,” katanya.
Lalu, berapa bayaran yang dia terima untuk tamu-tamu para tokoh penting itu? Nasim mengatakan, semua orang yang datang untuk cukur dikenai tarif sama. Tidak ada yang dibeda-bedakan. “Tapi, kalau Pak Habibie biasanya memberi lebih. Biasanya Rp 500.000 sekali datang untuk mencukur,” ungkap dia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.