ACEHTREND.CO | Liga Inong Aceh (LINA) bersama Jaringan Survey Inisiatif (JSI) mengadakan diskusi yang bertajuk.”Kemelut Politik Lokal di Tengah Dinamika Demokrasi Aceh.” Sabtu, Pukul 14.00 Wib di Gravity Coffee & Bistro, (28/10/2017).
Diskusi ini menghadirkan narasumber yang berkompeten, diantaranya yaitu, Prof. Olle Tornquist (Peneliti dari Universitas Oslo), Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog), Munawar Liza (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki), Raihal Fajri (Aktivis Perempuan).
Sebagai moderator Saifullah Abdul Gani begitu mampu membuat susana diskusi semakin hidup.
Munawar Liza membuka sesi pertama dengan menyinggung persoalan kewenangan yang selama ini kerap dipermasalahkan.
“Sebagian pihak menyetujui dan sebagian lainnya mempermasalahkan, seperti apa yang kita lihat menyangkut kewenangan dalam Undang-Undang Pemilu. Hal tersebut dikarenakan masyarakat tidak bergerak untuk terlibat menyelesaikan permasalahan tersebut, karena masyarakat dalam banyak hal tidak dilibatkan.”Kata Mantan Walikota Sabang ini.
Kemudian Munawar Liza juga menyampaikan bahwa beberapa butir kesepakatan di Helsinki yang tidak dijalankan menjadikan masyarakat tidak maksimal dalam menerima manfaat dari kesepakatan tersebut. “Perpecahan ditingkat elit dapat dilihat ketika berhadapan dengan Jakarta dalam persoalan negosiasi, ketika yang digerakkan hanya satu kelompok tertentu saja, dan tidak melibatkan elemen lain.”Kata Munawar.
Olle Tornquist yang didampingi oleh Sakdiah Marhaban memulainya dengan menjelaskan Aceh dari kacamata historis. “Saya ingin melihat Aceh secara historis. Saya mengajak kita semua untuk mengapresiasi perjanjian damai karena ini perjanjian yang unik.” Kata Olle yang diterjemahkan oleh Sakdiah Marhaban.
Olle juga menjelaskan persoalan yang dihadapi Aceh. Pertama, menurutnya adanya kengganan Indonesia untuk mendemokratisasi Aceh. Kedua Program rekontruksi di Aceh tidak demokratis dan sangat teknokrat. Ketiga, perpecahan yang terjadi ditubuh GAM dan Organisasi Masyarakat Sipil, “Sehingga membuat Aceh tidak dapat membangun demokrasi secara utuh.” Kata Olle.
Menurut Olle tidak mudah dari sebuah kelompok yang resistensi untuk membangun demokrasi. Olle memberikan contoh kemenangan cantik pada tahun 2006. “Pada tahun 2006 kemenangan cantik yang diperoleh karena adanya kerjasama antara GAM dan masyarakat.”Ungkap Olle.
Kemudian Olle juga menambahkan. “Dan saya tidak melihat lagi kerjasama yang terjadi seperti tahun 2006 kini. Proses politik yang sangat individual bukannya institusional sehingga proses pembangunan tidak menyeluruh.” Tegas Olle.
“Power sharing yang terjadi membuat kondisi Jakarta mampu menempatkan orang-orangnya. Kompetisi yang terjadi ketika orang-orang yang mengaku GAM tapi sebenarnya bukan GAM.”Kata Olle.
“Perkembangan yang terjadi kini membuat frustasi anak-anak muda yang ingin membangun Aceh, menurut saya Aceh sekarang seperti menjadi sebuah gerakan yang sangat teknokrat.
Model seperti ini tidak berlangsung lama karena proses yang dilakukan tidak berideologi.”Kata Olle menutup pembicaraan pada sesi pertama.
Aktivis Perempuan Aceh Raihal Fajri menyatakan bahwa wajah demokrasi sangat mudah diukur, adalah melalui indikator yaitu kesejahteraan.
“Indeks demokrasi di Aceh belum bisa dikatakan indeks demokrasi yang utuh, karena belum maksimal dalam menerima keberagaman, bagaimana kejadian pembakaran rumah ibadah di Bireun, kejadian di Singkil.” Tanya Raihal.
“Perubahan yang menuju arah yang lebih baik di Aceh belum mengubah wajah demokrasi di Aceh menjadi lebih baik.” Tandas Raihal.
Kemudian Raihal juga menyinggung bahwa indeks kemiskinan Aceh masih sangat tertinggal secara nasional. “Nah ini menjadi duri-duri dalam perjalanan demokrasi di Aceh.” Kata Raihal.
Kemudian Sosiolog Otto Syamsuddin Ishak dalam pandangannya menyatakan bahwa Mou Helsinki tidak digunakan secara komplit. “Perjanjian damai MOU Helsinki tidak digunakan secara komplit, termasuk oleh GAM sendiri.”Kata Otto.