DIENG, PADEK – Paguyuban Homestay Dieng Kulon yang beranggotakan 140 homestay siap menyukseskan Dieng Culture Festival (DCF) 2017 yang digelar 4-6 Agustus 2017. Penegasan tersebut disampaikan Ketua Paguyuban Homestay Dieng Fortuna Dyah Setyowati, Minggu (30/4).
Kesiapan ditunjukkan dengan menyiapkan tempat penginapan, kordinasi dengan panitia penyelenggara hingga renovasi dan penambahan kamar baru. Hal tersebut bisa terlihat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara. Sejumlah homestay tampak dibongkar, ditambah ruang, kamar mandi ataupun sekadar dicat.
“Kami ingin menjadi tuan rumah yang baik. Melayani para tamu hingga mereka punya kenangan indah pada Dieng. Karena bagi kami, DCF tidak untuk sekali ditonton, sekali didatangi. Tahun-tahun yang akan datang masih akan berjalan,” ujar Tina, panggilan akrab Fortuna Dyah.
Sejumlah homestay yang melakukan renovasi misalnya Cassablanca, Acacia dan Adenium. Bau cat baru juga tercium di Kenanga Homestay.
Cassablanca menambah kamar di lantai atas. Acacia merombak salah satu kamarnya yang menghadap ke arah Kompleks Candi Arjuna. “Diganti kaca besar sehingga saat bangun tidur, tamu bisa langsung melihat pemandangan yang indah,” kata Alif, pemilik Acacia yang juga Ketua Pokdarwis Dieng Pandawa.
Sedangkan pemilik Adenium mengatakan akan membongkar homestay-nya. “Menambah kamar di lantai bawah maupun atas. Yang lantai atas jadi kamar double bed dengan kamar mandi dalam,” ungkap Siti Cholifah, pemilik Adenium.
Penambahan kamar itu dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan wisatawan saat DCF. Pada tahun 2016 lalu, pengunjung DCF mencapai 150 ribu orang. Mereka memang menginap tidak hanya di Dieng Kulon tetapi juga di Dieng Wetan, Kepakisan, Pathak Banteng dan desa-desa di sekitar.
Namun, Dieng Kulon sebagai tuan rumah DCF harus lebih siap. Termasuk menerima tamu dengan penuh keramahan.
Dieng Culture Festival 2017 dengan tema The Spirit of Culture berisikan sejumlah acara. Di antaranya Sendratari Rambut Gembel, Jazz Atas Awan, Festival Caping Gunung, Ritual Cukur Rambut Gembel, Akustik Atas Awan, Kirab Budaya, Parade Kesenian, Pesta Lampion, Ekspo UKM dan Purwaceng.
Menpar Arief Yahya menempatkan homestay desa wisata itu sebagai top three atau 3 program utamanya. Selain Go Digital dan Air Connectivity. Homestay itu adalah sharing economy yang diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat, karena di pariwisata itu benefit langsung dirasakan oleh masyarakat.
Homestay itu, menurut Menteri Arief Yahya, harus dikembangkan lebih banyak dan cepat di tanah air. Pertama, jumlah kamar hotel untuk target 20 juta wisman 2019, pasti tidak cukup. Sedangkan membangun hotel baru, juga tidak bisa cepat, dan tidak bisa masif. “Homestay adalah solusinya!” kata Arief Yahya yang menyebut sharing economy atau dalam bahasa Presiden Jokowi disebut ekonomi gotong royong.
Kedua, homestay memperkuat karakter ke-Indonesiaan dengan arsitektur nusantara. Memgembalikan ciri khas budaya lokal, dari heritage building, yang bisa memperkuat atraksi wisata di daerah. “Di Jawa, misalnya menggunakan konsep joglo pendopo. Di Sumbar dengan begonjong. Di Sumateri Bagian Utara dengan rumah panggung Melayu, dan lainnya,” kata Menteri Arief.
Menpar Arief Yahya bahkan meminta, ada karakter ke-Indonesiaan dari bahan bangunannya. Gunakan bambu, pohon nyiur, rotan, atau produk asli Indonesia lain yang tidak akan kesulitan mencari bahan bakunya. Lebih eco-green, lebih mudah dan murah maintenance-nya. “Tetapi tetap artistik dan menjadi atraksi yang kuat karena culture-nya,” kata dia.
Ketiga, digitalisasi homestay desa wisata. Kemenpar memfasilitasi semua homestay dan pondok wisata untuk go digital. Free mendapatkan website developer yang sudah commerce. Free booking system dan payment engine. Free asistensi sampai bisa mengelola sendiri web untuk promosi. “Saya masih siapkan aplikasi untuk buat laporan keuangab, laba rugi, neraca dan cashflow. Tiga itu sudah cukup untuk menaikkan level cara berpikir sebagai industri,” kata Arief Yahya.(*)
LOGIN untuk mengomentari.