Selain keindahan alam dan daya tarik sosial lainnya, sejarah dan budaya juga menjadi faktor penarik wisatawan pada sebuah objek wisata. Di sana letak kelebihan destinasi wisata di Indonesia. Sehingga, wajar jika banyak tempat di Indonesia menjadi destinasi wisata yang berkaitan dengan budaya dan sejarah.
Konsekuensi logis dari kepariwisataan adalah masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar ke dalam suatu daerah. Sehingga kebudayaan lokal menjadi terancam, apakah itu terancam terpinggirkan atau bahkan terhimpit budaya luar tersebut. Pengaruh zaman memberi warna tersendiri terhadap nilai dan paradigma masyarakat. Padahal, sejarah dan budaya menjadi identitas suatu bangsa, hal ini yang membedakan satu negeri dan negeri lain, bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Memelihara dan mempertahankannya adalah wajib bagi kita.
Keterancaman ini bisa di pahami dengan tiga hal, pertama karena masyarakat yang tidak mampu menahan diri dengan kebudayaan atau kebiasaan baru. Sehingga meninggalkan kebudayaan mereka yang lama. Kedua karena tidak adanya norma atau hukum positif yang mampu menjadi pedoman bagi masyarakat sekitar, atau pemerintah setempat untuk melindungi kebudayaaan lokal. Dan yang ketiga, tidak termasuknya pelestarian budaya ke dalam master plan pengembangan pariwisata suatu daerah. Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa orientasi pengembangan pariwisata adalah materi dan bersifat eksploitatif.
Keberadaan nilai dalam suatu daerah ibarat pepatah lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya. Tiap-tiap daerah yang ada kehidupan masyarakatnya memiliki nilai tersendiri. Dalam konteks dua pihak atau dua kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda, ketika berada dalam daerah salah satu kelompok, maka kelompok yang satu harus menghargai kebiasaan atau kebudayaan kelompok di daerah yang bersangkutan. Dan kelompok di daerah tersebut juga harus memagari kelestarian kebudayaannya dengan norma dan aturan yang berlaku. Pun demikian dalam konteks parisiwisata, terutama daerah yang di-explore lantaran memiliki pariwisata yang menjanjikan.
Jika kebudayaan lokal tidak dipelihara, maka pola pemikiran masyarakat bisa terkena imbasnya. Dari yang ramah lingkungan bisa menjadi eksploitatif. Sederhananya, perubahan pola pikir mampu merusak lingkungan, meski berkedok pembangunan pariwisata. Misalnya, masyarakat tradisional hanya butuh nilai berupa kepercayaan untuk melestarikan pohon-pohon dan hutan hijau mereka. Kepercayaan terhadap marahnya dewa-dewa atau ruh hutan jika kita merusak hutan ternyata sanggup untuk mencegah agar hutan itu lestari dari tangan-tangan manusia yang usil lagi tamak. Beda halnya dengan masyarakat modern, dengan pola materialisnya, masyarakat ini tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistik itu. Sehingga larangan-larangan itu tak mempengaruhi niat mereka untuk merusak hutan dan menebang pohon guna membangun tempat wisata sesuai keinginan mereka.
Identitas menjadi sesuatu yang harus dijaga, sehingga sejarah dan budaya tidak hanya dimanfaatkan untuk nilai ekonomisnya, tapi untuk memperlihatkan betapa kuat dan kayanya budaya Indonesia ke luar negeri.
Esensi
Jika pariwisata hanya menjadi lahan baru para kapitalis, biarlah daerah itu tetap asri seperti sedia kala, tanpa terkontaminasi unsur-unsur yang bersifat eksploitatif. Karena, sebagai bagian yang bersifat integral dari pembangunan nasional, pengembangan pariwisata memang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan serta bertanggung jawab.
Dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah diatur mengenai asas dan tujuan pariwisata. Mengenai asas, telah diatur dalam pasal 2, pengembangan pariwisata memiliki beberapa asas yang menjadi pertimbangan utama, salah satunya adalah asas kemanfaatan. Artinya, pengembangan dan pemasaran pariwisata itu juga harus mempertimbangkan segi kemanfaatannya, baik bagi lingkungan maupun masyarakat. Karena, jangan sampai pariwisata itu hanya menjadi pengeruk keuntungan para pelaku usaha, sementara daerah sekitar dan masyarakat tidak mendapat sumbangsih apa-apa dan daerah mereka hanya menjadi komoditas bernilai ekonomis. Sehingga, pariwisata itu tidak menjadi eksploitasi di daerah, baik sumber daya, keindahan dan sosial budayanya.
Sesuai pada pasal 4, tujuan utama dari pariwisata adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, juga perlu dicatat bahwasanya memajukan budaya dan melestarikan alam serta lingkungan juga menjadi tujuan pariwisata. Nilai dan kemudian budaya asing dapat dengan mudah bercampur dalam daerah pariwisata. sehingga kemungkinan tergerusnya kearifan lokal oleh budaya asing menjadi besar, dan perlu sebuah regulasi yang bisa melindungi aspek-aspek kearifan lokal. Regulasi tersebut tak perlu bentuk undang-undang, tapi cukup kebijakan lokal. Seperti halnya ketika kita ingin memasuki kawasan candi Borobudur. Sehingga, peningkatan sektor ekonomi dan kearifan lokal dapat berjalan seiringan.
Keunikan, keindahan serta keanekaragaman nilai dan budaya suatu daerah menjadi daya tarik lebih bagi daerah wisata. Positifnya, dengan semakin banyaknya pengunjung maka roda ekonomi masyarakat setempat kembali berputar dan pendapatan masyarakat tentu meningkat. Namun, hal negatifnya malah yang sering terlupa. Karena yang sering muncul kepermukaan biasanya hanya tentang sampah-sampah yang berserakan. Padahal, aspek kearifan lokal apakah itu nilai sosial dan budaya tengah terancam.
Kebudayaan merupakan identitas suatu kelompok. Keberadaannya merupakan bukti sejarah untuk kelompok masyarakat tersebut, dan turun-temurun dari nenek moyang masyarakat di sana. Tergerusnya nilai-nilai kebudayaan masyarakat tertentu memang patut disoroti. Karena, jika kebudayaan dan kebiasaan itu hilang, akan berimplikasi kepada identitas masyarakat di sana. Walau bukti sejarah atau keotentikannya tidak hilang, tetapi nilai-nilainya perlahan memudar. Sehingga, berakibat buruk kepada generasi berikutnya.
Melalui pariwisata, kita bisa melihat massifnya budaya-budaya baru yang masuk dan telah menyentuh ranah lokal. Kebudayaan lokal memang tidak dapat berubah dengan cepat. Tetapi, menurut Florence R Klukckhohn dan Fred R Strodtbeck dalam bukunya Variation in Value Orientation, mengatakan bahwa adakalanya di bawah tipe-tipe tekanan tertentu dan dalam kurun waktu tertentu, kepercayaan-kepercayaan dasar jenis apapun pasti dapat dipaksa untuk berubah drastis.
Tidak untuk Dijual
Pariwisata bukan hanya sekadar bisnis, dan bisnis bukan hanya provit oriented. Namun, juga berbicara bagaimana mempertahankan nilai sosial dan budaya pada daerah yang menjadi destinasi wisata tersebut. Karena, jika aspek Sosial dan Budaya hanya menjadi komoditi untuk dipamerkan, tanpa ada usaha untuk melindungi atau mempertahankannya, maka pariwisata hanya akan menjadi jubah penutup dari kaum kapitalis untuk kembali menggurita.
Para pelaku usaha seringkali menomor-sekiankan aspek nilai sosial dan budaya dalam pemasaran dan pengembangan objek pariwisata. Bagaimana mendatangkan pengunjung dan bagaimana penyebaran atau pengembangan objek pariwisata menjadi hal yang nomor satu. Padahal, panduan lengkap dalam hal kepariwisataan sudah diatur jelas dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Mulai dari asas hingga tujuan sudah ada di sana.
Namun, pengembangan objek pariwisata itu harus dan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya atau segala bentuk kearifan lokal yang harus dihormati. Aspek sosial dan budaya suatu daerah yang menjadi objek pariwisata bukanlah menjadi komoditas ekonomis, namun menjadi hal yang perlu dipikirkan untuk mempertahankannya. Karena ketika daerah itu menjadi objek pariwisata, tentu nilai sosial dan budayanya dapat tergerus sebagai akibat dari masuk dan bercampurnya nilai-nilai lain, bahkan dari bangsa asing.
Benang merahnya adalah, sejarah dan budaya menjadi identitas bangsa yang harus terus dijaga dan dilestarikan agar tidak punah atau dilupakan. Sejarah dan budaya dijadikan objek wisata bukan sekedar alasan ekonomis, namun untuk memperlihatkan betapa kayanya negeri kita tercinta. Dan juga, mengenai sejarah dan budaya juga harus dikuasai oleh orang-orang dalam negeri, sehingga pakar dari sejarah dan budaya Indonesia juga datang dari anak-anak Indonesia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.