Di Minangkabau syarat untuk mendirikan nagari adalah harus memiliki pasar, masjid dan balai adat. Bukittinggi mempunyai suatu nagari bernama Nagari Kurai yang memiliki pasar di atas sebuah bukit yang dikenal dulu dengan nama Pasar Kurai. Berdiri di atas tempat yang bernama Bukik Kubangan Kabau.
Dari cerita sejarahnya, tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang inilah kemudian menjadi Bukittinggi.
Pasar ini terus berkembang dan membutuhkan perluasan lahan. Karena bukit tempat Pasar Kurai mulai sempit, maka perluasan merambah sampai ke bawah bukit. Antara Pasar Kurai dengan pasar di bawah bukit itu dihubungkan sebuah tangga yang dikenal dengan jenjang 40 (empat puluh).
Setelah perluasan, Pasar Kurai berubah namanya secara alami oleh masyarakat kala itu, yakni Pasar Kurai menjadi Pasa Ateh dan pasar yang berada di bawah bukit disebut Pasa Bawah.
Sekitar tahun 1825-1826, Kepala Opsir Militer Belanda Kapten Bauer datang ke dataran tinggi Agam dan mendirikan benteng For de Kock di Bukit Jirek. Nama For de Kock diambil dari nama Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jenderal Belanda, Baron Hendrik Markus de Kock.
Benteng ini dibangun untuk membantu kaum adat menghadapi kaum Paderi (agama). Sejak pemerintahan Hindia Belanda, kawasan itu disebut Fort de Kock. Pada tahun 1833 setelah Perjanjian Plakat, Belanda menjadikan Pasa Ateh sebagai pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock. Pasa Ateh disebut Pasar Fort de Kock.
Pada tahun 1890, Belanda membangun pasar secara permanen. Pasar yang sudah mulai dirancang oleh penghulu Kurai tersebut dibangun loods (deretan toko). Agar lahan pasar menjadi lebih luas, Belanda meratakan sebagian tanah untuk dibuat jalan dan jalur selokan. Deretan toko itu oleh orang Bukittinggi menyebutnya dengan loih galuang, karena bentuknya melengkung atau setengah lingkaran. Letak loih galuang inilah yang sekarang dikenal dengan Pasa Ateh.
Semakin lama, pedagang yang membuka kios di sekitar loih galuang terus bertambah. Tahun 1923, Pemerintah Belanda merobohkan kios-kios yang terdapat pada sisi barat dan timur dengan membangun delapan blok rumah ruko. Di sebelah barat terdiri 4 blok sejajar yag disebut muka pasar, sedangkan sebelah timur terdiri 4 blok berjajar dua yang disebut belakang pasar. Sementara untuk membuka akses menuju Pasa Ateh itu, Belanda membuat beberapa jenjang yang dikenal dengan jenjang 40, jenjang gudang dan jenjang pasar lereng.
Tahun 1949, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah Nomor 16/GM/Stg/Ket-1949, maka penguasaan pasar berada sepenuhnya pada pemerintah Kota Bukittinggi. Sejak dikeluarkan peraturan tersebut, penghasilan dan pendapatan Pasa Ateh Bukittinggi tidak lagi dibagi-bagikan kepada wilayah nagari Agam Tuo, tapi digunakan sebagai kas.
Sejak masa pemerintahan Belanda sampai saat ini, Pasa Ateh sudah beberapa kali mengalami renovasi. Pada tahun 1972, Pasa Ateh yang waktu itu masih bernama loih galuang mengalami kebakaran hebat, semua kios baik bagian muka pasar dan belakang pasar ludes terbakar.
Bekas kebakaran Pasa Ateh tersebut dibangun kembali oleh pemerintah atas biaya dari pemerintahan masa Presiden Soeharto. Pembangunan toko dibuat dengan beberapa blok yang dikenal dengan blok A, B, C dan D yang dibangun dua lantai. Awalnya berjumlah ratusan petak dibangun menjadi dua tingkat dengan jumlah sekitar 400-500 petak kios atau toko. Setelah bangunan selesai, pedagang mulai kembali berjualan dan kios-kios.
Pada awal bulan Agustus 1995 sekitar pukul 15.00 WIB, Pasa Ateh kembali terbakar untuk kedua kalinya. Kebakaran kedua ini diketahui asal api berasal dari ledakan kompor kios penjual makanan yang terletak di lantai satu blok C. Semua petak toko di pusat pertokoan Pasa Ateh hangus. Pada kebakaran ini terdapat lebih lima orang korban jiwa, namun yang diketahui hanya dua orang, yakni pemilik kedai makanan dan minuman bernama Mak Nas serta satu orang pengunjung. Sementara korban yang lain tidak diketahui karena sangat tertutupnya informasi saat itu.
Setelah kebakaran tahun 1995, pemerintah pusat dan provinsi Sumatera Barat membantu. Pedagang toko dan kios Pasa Ateh meminta bangunan yang terbakar direhab saja. Permohonan pedagang itu dikabulkan pemerintah pusat, walau pada saat itu Pemko Bukittinggi bersikeras ingin membangun. Wali kota saat itu Armedi Agus.
Setelah permohonan pedagang dikabulkan pemerintah pusat, maka dilakukan pekerjaan rehabilitasi oleh sebuah perusahan dari Jakarta. Setelah setahun pekerjaan dilakukan, pedagang kembali dipersilakan menempati pasar dan berjualan seperti biasa. Dengan rehab yang dilakukan, jumlah petak toko dan kios menjadi bertambah sekitar 790 petak toko dengan menambah 3 blok yakni blok D, E dan F.
Pertengahan awal Agustus 1997 sekitar pukul 05.00 WIB, terjadi kebakaran ketiga di Pasar Atas yang ditempati pedagang. Hampir semua petak toko dan kios musnah terbakar serta pedagang kaki lima yang berada di sekitar pusat bangunan Pasa Ateh ikut hangus terbakar. Kebakaran tahun 1997 ini memicu kemarahan para pedagang karena ada isu kebakaran kali ini disengaja. Kemarahan terhadap isu yang muncul kala itu tak dapat dielakan karena sejak kebakaran tahun 2015 dan rehab dilakukan, wali kota waktu itu melalui media massa sering berencana akan membangun Pasa Ateh, ditambah lagi adanya investor dari Jakarta dan Padang yang akan siap membangun Pasa Ateh.
Saat kebakaran, kemarahan massa tidak terbendung. Mobil pemadam kebakaran yang membantu memadamkan api dan sebuah mobil milik pemko jadi sasaran amukan massa pedagang. Tidak sampai disitu, pedagang melalui organisasi pedagang bernama P4B (Persatuan Pedagang Pusat Pasa Ateh Bukittinggi) usai kebakaran langsung melakukan pertemuan di Masjid Raya Bukittinggi. Dalam pertemuan itu, pedagang melalui organisasi P4B minta Pemko Bukittinggi merehabilitasi bangunan toko dan kios yang terbakar.
Keesokan harinya, para pedagang demo besar-besaran ke kantor Balaikota yang berada di Jalan Sudirman atau depan lapangan Kodim 0304/Agam. Mereka menuntut agar pemko menyelidiki penyebab kebakaran dan menolak pembangunan baru bangunan Pasa Ateh Bukittinggi. Alasan pedagang waktu itu, mencurigai sebab kebakaran dan menolak pembangunan baru karena mereka takut tidak dapat membeli kembali karena harga yang disampaikan sangat tinggi. Namun kedatangan para pedagang tidak dapat diterima wali kota.
Pedagang kembali melakukan demo dengan jumlah yang cukup besar, besoknya. Pedagang kaki lima ikut bergabung. Demo kali ini menjadi panas karena adanya isu bahwa para pendemo akan ditangkap aparat keamanan.
Karena tidak ada tanggapan, massa pedagang balik menuju gedung DPRD Kota Bukittinggi untuk menyapaikan aspirasi. Pertemuan terjadi namun pedagang tidak puas karena DPRD tidak berani untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada wali kota. Hampir setiap hari demo dilakukan pedagang. Karena tidak ada tanggapan dari pemko dan DPRD Bukittingi, pedagang melalui organisasi P4B mengadu kepada gubernur dan DPRD Sumbar. Kala itu, Plt Gubernur dijabat Dunija dari Jakarta.
Atas bantuan dan fasilitasi gubernur dan DPRD Sumbar, aspirasi pedagang dikabulkan gubernur melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum kala itu dijabat Sabri Zakaria. Gubernur setuju bangunan bekas kebakaran Pasa Ateh dilakukan rehab dengan dana rehab berasal dari provinsi dan pekerjaan dilakukan secara konsorsium oleh lembaga-lembaga konstruksi di bawah nauangan Gapensi Sumbar, tanpa membebani biaya dari pedagang.
Pekerjaan rehab dilakukan dengan waktu selama dua tahun. Sementara pedagang ditampung di bangunan penampungan yang disediakan di sekitar lokasi Pasa Ateh, yakni di Jalan A Yani dan Jalan Perintis Kemerdekaan. Setelah rehab selesai dilakukan sekitar 2,5 tahun, pedagang kembali menempati toko dan kios yang sudah direhab. Konstruksi bangunan dijamin aman, walau berdampak menurunnya nilai tukar dan jual-beli karena isu bangunan tidak layak sehingga pengunjung enggan masuk. Namun setelah gempa besar tahun 2007, bangunan Pasar Ateh tetap aman walau banyak bangunan lain di Bukittinggi roboh.
Sejak rehab selesai tahun 1999, pedagang kembali menempati toko dan kios dan berjualan seperti biasa. Namun diakui memang tidak semua pemilik atau penyewa toko yang kembali menempati karena banyak pedagang akibat kebakaran itu mengalami kebangkrutan dan dililit utang kepada bank. Sementara beberapa tahun kemudian jual beli semakin menurun karena beberapa faktor, seperti akses jalan ke pusat pertokoan pasar atas sulit ditempuh karena jalan banyak ditempati pedagang kaki lima. Pembeli banyak beralih ke Pasar Aur Kuning.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Senin pagi sekitar pukul 06.00 WIB tanggal 30 Oktober 2017, Pasa Ateh kembali mengalami musibah kebakaran yang keempat kalinya dan menghanguskan lantai 2 blok A, blok B, C, D, E dan F. Dari sekitar 416 petak toko yang berada di lantai 2, ada sekitar 354 petak toko dan kios hangus terbakar. Sementara 423 petak toko dan kios lantai satu bisa selamat dari kebakaran, tapi mengalami kerusakan. Walaupun kebakaran kali ini tidak menimbulkan korban jiwa, namun kerugian sementara ditaksir hingga ratusan miliar rupiah.
Diakui memang kebakaran kali ini tidak ada unsur kesengajaan dan terbebas dari isu negatif karena memang kenyataannya api diketahui dari sebuah toko di lantai dua. Pemko di bawah kepemimpinan Wali Kota Ramlan Nurmatias pun saat ini juga tidak berencana melakukan pembangunan, kecuali memperindah bangunan agar menarik pendatang. Tentu saja kejadian seperti kebakaran tahun 1997 tidak terjadi lagi.
Tinggal sekarang Wali Kota Ramlan Nurmatias mengambil kebijakan apa terhadap bangunan Pasa Ateh setelah kebakaran ini. Tentu saja tetap dilakukan penyelidikan untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran serta melakukan pemeriksaan terhadap konstruksi bangunan bekas kebakaran. Akan direnovasi atau dibangun baru, wali kota harus melibatkan para pedagang duduk bersama. (*)
LOGIN untuk mengomentari.