in

Pemerintah Bahas Relokasi Terbatas Warga Asmat

JAKARTA – Menteri Sosial (Mensos), Idrus Marham, mengatakan pemerintah mewacanakan untuk melakukan relokasi terbatas bagi warga Asmat di Provinsi Papua. Relokasi terbatas harus dilakukan berbasis budaya dan mencirikan karakter daerah serta kearifan lokal.

“Karena lingkungan tempat tinggal mereka di rawa-rawa yang rentan penyakit maka ada pikiran bagaimana kalau komunitas adat terpencil dikembangkan. Istilahnya, relokasi terbatas, terkonsentrasi,” kata Mensos sebelum rapat koordinasi komunitas adat terpencil, di Kementerian Sosial, Jakarta, Jumat (2/2).

Menurut Mensos, dengan konsep relokasi terbatas, akan dibangun rumah untuk mereka, fasilitas kesehatan, sekolah, dan fasilitas lain secara bersama-sama oleh pemerintah. Relokasi masih merupakan wacana dan akan dibahas dalam rapat koordinasi komunitas adat terpencil.

Program komunitas adat terpencil dari Kemensos, tambah Mensos, sudah lama berjalan termasuk untuk wilayah Papua. Program komunitas adat terpencil sudah dilaksanakan sejak 1985 di Kabupaten Asmat.

Pada 2018, target komunitas adat terpencil berada di lokasi Seramit, Auban, dan Sorai sebanyak 107 keluarga dengan bantuan berupa pemukiman sosial, jaminan hidup, bantuan bibit, peralatan kerja, dan peralatan rumah tangga.

Total nilai bantuan untuk 2018 sebesar 3,1 miliar rupiah. Kemensos juga melaksanakan program keluarga harapan di Distrik Agats sebanyak 175 keluarga penerima manfaat (KPM) sejak 2017 dan bertambah menjadi 391 KPM pada 2018. Serta program bantuan pangan dan pemberian makanan tambahan selama 1.000 hari di Distrik Agats bagi ibu-ibu yang hamil dan mempunyai anak balita.

Perubahan Budaya

Sementara itu, Ketua Forum Pakar Asmat, Budi Santoso, mengatakan warga Asmat perlu dididik menghadapi akulturasi perubahan budaya agar mereka bisa bertahan. Yang jadi masalah, mereka menghadapi akulturasi perubahan kebudayaan yang amat pesat karena proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Suku Asmat sudah beradaptasi baik dengan kondisi lingkungannya. Mereka biasa makan sagu dan ikan maupun protein hewani yang ada di sekitarnya. Namun, karena proses pembangunan yang mereka hadapi secara tiba-tiba, harus mengubah pola makan dari biasanya makan sagu menjadi makan mi instan dan makanan kaleng lain yang tidak setiap hari bisa didapat.

“Bagi kami, para antropolog, ini mereka harus dididik dari cara masak. Kalau masak nasi mereka masih pakai kaleng sarden atau lainnya. Justru ini yang menyebabkan kesehatan mereka rentan bukan karena kurang perhatian,” tambah Budi.

Faktor lain, tambah Budi, karena mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Biasanya satu sama lain saling bermusuhan karena adanya ketakutan anak perempuan mereka dicuri kelompok lain.

Fasilitas kesehatan dan sekolah juga dituntut untuk dipisah, akhirnya mereka enggan ke puskesmas dan sekolah. Jadi sebetulnya lebih banyak masalah akulturasi dari pada teknis. cit/Ant/N-3

What do you think?

Written by Julliana Elora

Proses Belajar di Sekolah Harus Dievaluasi

10 Pesawat Penumpang Terbesar di Dunia