in

Pemilihan Rektor Unand, Demokrasi Elitis Versus Parstispatif

Yoserwan
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Andalas

ERA reformasi dengan riuhnya rendahnya dunia politik, berimbas kepada dunia pendidikan tinggi. Pemilihan pimpinan universitas, khususnya universitas negeri yang dulunya adem-ayem, sekarang bak arena politik. Terasa panas, dibumbui lobi-lobi dan koalisi sana sini.

Janji-janji dan tawar-menawar, dan yang terpenting adalah mencari restu dari “istana”. Bahkan tidak jarang pemilihan rektor berakhir dengan kisruh, sebuah tontonan tidak enak dari lembaga pendidikan yang harus mencetak kader-kader bangsa.

Kita menyaksikan drama pemilihan Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang berakhir dengan pembatalan penetapan dan pelantikan rektor terpilih, serta pembekuan Majelis Wali Amanat (MWA). Padahal menteri pendidikan melalui utusannya sebagai wakil dari pemerintah ikut dan menandatangani berita acara pemilihan.

Tidak hanya itu, aneh bin ajaib, wakil ketua dan sekretaris MWA dikenai sanksi disiplin berupa pencabutan jabatan guru besar mereka. Berbalas pantun, Rektor UNS kemudian dilaporkan dugaan korupsi dan diperiksan aparat kejaksaan. Sungguh ironis!

Universitas Andalas (Unand) sebagai salah satu Universitas tertua di luar Jawa dan terkemukan di Sumbar, saat ini tengah menjalani proses pemilihan rektor baru. Tahap pertama, pendaftaran bakal calon sudah dilewati dengan diterimanya 12 bakal calon.

Sepertinya ini jumlah pendaftar terbesar sepanjang sejarah Unand. Semoga ini mengindikasikan Unand mempunyai stok calon-calon pemimpin yang siap untuk mengelola Unand kedepannya.

Partisipatif vs Demokrasi

Di tengah proses pemilihan rektor Unand, mulai tercium aroma kurang sedap. Semoga saja tidak berakhir ricuh. Beberapa media memberitakan enam orang dosen Unand mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang, dengan dasar Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Andalas No. 2 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Rektor Universitas Andalas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.95 Tahun 2021 sebagai dasar hukum Unand berstatus PTNBH (Perguran Tinggi Negeri Berbadan Hukum).

Terlepas dari apakah PTUN mempunyai kompetensi mengadili persoalan tersebut (karena objek kompetensi PTUN adalah suatu keputusan tata usaha negara), yang menarik untuk dicermati adalah dasar pemikiran Peraturan Wali Amanat Unand di satu pihak dan dasar gugatan yang diajukan oleh para “dosen muda” pencari keadilan tersebut di pihak lain.

Sebagai bagian dari civitas akademika Universitas Andalas, penggugat tentu saja mempunyai legal standing. Namun yang terpenting adalah apa filosifi di baliknya?
Esensi dari sebuah pemilihan tidak lain dari perwujudan “daulat rakyat” atau demokrasi sebagai sarana penyampaian aspirasi dan kepentingan.

Menurut PP No. 95 Tahun 2021, MWA adalah adalah organ UNAND yang menetapkan, memberikan pertimbangan pelaksanaan kebijakan umum, dan melaksanakan pengawasan di bidang non-akademik. Salah satu kewenangannya menurut Pasal 37 Peraturan MWA Unand adalah memilih, mengangkat, melantik dan memberhentikan rektor.

Selanjutnya MWA juga berwenang menetapkan Peraturan MWA tentang Tata Cara pemilihan, Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Rektor. KarenanyaPeraturan MWA No. 2 Tahun 2023 tidak lain wewenang MWA yang diberikan oleh PP. Ternyata melalui Peraturan itu, MWA menyerahkan sebagian wewenang dalam pemilihan rektor tersebut kepada Senat Universitas Andalas (SAU).

Apakah ide di balik penyerahan sebagian kewenangan MWA tersebut kepada SAU? Peraturan MWA tidak memuat dasar pemikiran itu, namun bisa dinalar bahwa tugas pemilihan rektor yang akan menahkodai sebuah universitas tidak bisa hanya diserhakan kepada MWA saja.

Atau MWA mempunyai keterbatasan dalam menyerap aspirasi “akar rumput”. Untuk itu MWA memerlukan keterlibatan SAU sebagai perwakilan dosen dari berbagai fakultas. Tidak hanya itu, kiranya MWA perlu meminta pendapat atau arus bawah, aspirasi dosen sebagai stakeholder.

Suatu pemikiran yang sangat pantas dihargai. Dengan demikian MWA telah mengusung paradigma participatory democracy, demokrasi partisipatif, yang melibatkan rakyat secara luas. Bukan oleh segelintir orang saja. Bukankah sering didengungkan Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat suara Tuhan)?

Di pihak lain perlu juga dicermati dasar pemikiran gugatan yang diajukan terhadap Peraturan MWA tersebut. Sepertinya gugatan itu hanya membaca sepenggal saja kewenangan MWA menyatakan, “Rektor dipilih, diangkat, dilantik dan diberhentkan oleh MWA.”

Sehingga dipandang bertengan dengan PP, tanpa mengkaitkan dengan wewenang MWA untuk membuat sendiri Peraturan tentang pemilihan, pengangkatan, pelantikan dan pemberhentian rektor. Pemikiran bahwa pemilihan rektor wewenang MWA sepenuhnya, mencerminkan paradigma elitist democracy yang hanya ada di tangan segelintir orang saja dalam hal ini MWA.

Bagaimanapun, gugatan yang diajukan juga sebuah perwujudan demokrasi. Suatu yang sangat pantas dihargai. Selanjutnya hasilnya diserahkan kepada putusan pengadilan.
Tantangan Rektor Kedepan

Terlepas dari hiruk-pikuk pemilihan, yang paling diharapkan dari rektor terpilih nantinya, bisa penjadi pilot yang transformatif. Yang akan membawa Unand menghadapi tantangan era millium mengharungi era industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Era dimana sebagian tugas dan fungsi manusia akan diambil alih oleh artifical intelligence (AI).

Atau seperti pendapat Clayton Christensen, profesor dari Harvard Business School, “Kita berada dalam era disruptive innovation, era dimana perubahan atau inovasi terjadi begitu cepat sehingga akan menyingkirkan teknologi atau entitas yang sudah mapan.”

Tantangan rektor kedepan sungguhlah sangat berat. Di samping melaksanakan fungsi utama proses pembelajaran, menghasilkan tamatan yang berkualitas, universitas menghadapi persaingan. Baik di tingkat lokal, nasional dan global.

Baik sesama Perguruan Tinggi Negeri ataupun dengan PerguruanTinggi Swasta. Berbagai lembaga pemeringkatan, baik nasional maupun internasional, akan berperan dalam menampilkan wajah dan citra sebuah universitas. Rektor akan disibukkan oleh upaya pencapaian-pencapaian kuantitatif. Berpacu mengejar peringkat nasional dan world class university.

Tugas berikutnya yang tidak kalah penting adalah menepis asumsi dan pandangan bahwa perubahan status dari universitas menjadi PTNBH akan mengubah watak pendidikan tinggi dari lembaga pendidikan dengan corak non-profit, menjadi sebuah usah (enterprise) untuk mencari profit, yang berujung pada biaya pendidikan yang mahal.

Hanya terjangkau kalangan berduit. Sedangkan masyarakat yang kurang mampu semakin termarginalkan dari pendidikan tinggi yang berkualitas. Rektor terpilih harus kreatif mencari sumber pendanaan yang tidak membebani masyarakat, serta memperluas akses bagi kalangan yang tidak mampu secara ekonomis namun mampu secara akademik.

Tanggung jawab berikutya dari dari rektor terpilih adalah upaya mensejahterakan karyawan Unand. Masih banyak tenaga pekendidikan di Unandmasih digaji di bawah Upah Minimum Provinsi. Untuk memberikan pelayanan yang excellence perlu dukungan tenaga kependidikan yang terampil dan penuh dedikasi. Hal itu membutuhkan peningkatan kesejahteraan dan pengembangan karir yang jelas.

Akhirul kalam, semua fungsi dan tanggung jawab rektor terpilih tetap dikembalikan kepada fungsi utama pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Untuk Kejayaan Bangsa, sebagaimana motto Universitas Andalas. Beban dan tanggung jawab itu nantinya ada di pundak rektor terpilih dari 12 calon yang ada. Semoga pemilihan rektor Unand berjalan lancar! (Yoserwan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas)

What do you think?

Written by Julliana Elora

TikTok Shop Tutup, Hanya Berdampak Pergeseran Platform

Bina Karakter Generasi Muda, PLN Gelar Edukasi Keagamaan di Kelurahan Pasie Nan Tigo