in

Pemprov Sumbar Diminta Transparan

Soal Penindakan Terhadap Pelaku SPj Fiktif

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit menegaskan, dalam dua hari ini nasib pegawai Dinas Prasana Jalan Tataruang dan Permukiman (Prasjal Tarkim) Sumbar (sekarang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, red) SJN akan ditentukan.

Apakah akan dilanjutkan ke ranah hukum atau penyitaan aset SJN. Hal ini diungkapkan Nasrul Abit saat usai rapat pembahasan soal jalan tol di Istana Gubernur, kemarin. 

”Tanggal 25 Januari memang merupakan batas waktu yang ditetapkan bagi SJN untuk mengembalikan uangnya, namun ternyata yang bersangkutan belum mampu mengembalikannya. Makanya, dalam dua hari ini, sekda bersama timnya akan membahasnya nasib SJN selanjutnya,” ucapnya.

Terkait bagaimana sikap Pemprov selanjutnya, tergantung dari rapat  khusus yang dilakukan Sekprov Sumbar Ali Asmar. Sebelumnya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar segera memproses dan mengusut tuntas kasus surat pertanggung jawaban (SPj) fiktif yang dilakukan pegawai Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman (Prasjal Tarkim) Sumbar berinisial JSN.

Akibat perbuatan yang dilakukan JSN tersebut negara dirugikan sekitar Rp 46 miliar.

“Kasus dugaan korupsi mencapai Rp 46 miliar dengan modus surat pertanggungjawaban (SPj) fiktif terkait pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur. Ini menjadi kejutan pahit awal tahun yang harus diterima rakyat Sumbar,” ujar Direktur LBH Padang Era Purnama Sari dalam siaran pers yang diterima Padang Ekspres, Minggu ( 22/1).  

Ia menyebutkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumbar telah menginformasikan, temuan terkait adanya penyelewengan anggaran tersebut.

Mengetahui hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sumbar belum menyerahkan persoalan tersebut ke aparat penegak hukum, karena memberikan waktu 60 hari bagi JSN untuk mengklarifikasi sekaligus mengembalikan kerugian negara terhitung sejak 25 November 2016. 

”Sehubungan dengan hal tersebut, klaim pihak Pemerintah Provinsi Sumbar yang menyatakan pelaku dugaan SPj fiktif adalah tunggal merupakan kesimpulan yang terlalu prematur sehingga patut disesalkan,” ujarnya.

Sebab, selain diketahui dilakukan selama kurun waktu tahunan dengan angka yang terbilang fantastik, juga belum adanya penelusuran mendalam atau pengembangan kasus di level penegak hukum.

Terkait tindakan Pemprov Sumbar menunda penyerahan persoalan tersebut ke ranah penegakan hukum selama 60 hari, dengan alasan menyediakan waktu pengembalian kerugian keuangan negara, tidak boleh dipahami sebagai cara yang memberikan peluang ‘impunitas’ bagi pelaku sehingga terbebas dari jeratan pidana. 

Pada prinsipnya menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.

Bahkan, langkah pelaku yang mencicil kerugian negara diakibatkannya (yang sampai saat ini diketahui belum mencapai Rp 10 miliar), semakin meneguhkan sinyal terjadinya tindak pidana korupsi oleh ASN di lingkungan Dinas Prasjaltarkim tersebut.

Sehingga dapat membantu sekaligus menjadi dasar penting bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri serta melakukan serangkaian tindakan penegakan hukum lainnya.

”Dengan demikian, perbuatan JSN dalam kasus pemalsuan SPj fiktif ini, telah tergolong tindak pidana korupsi sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan. Khususnya, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ucapnya. 

Terpisah, Koordinator Integritas Arif Paderi mengatakan, Pemprov Sumbar harus mengoptimalkan pengawasan internal. Sehingga, kasus serupa tidak terulang kembali. Selain itu, juga membuka keran transparansi untuk mendorong partisipasi masyarakat turut melakukan pengawasan.

Dalam proses penegakan hukum ada berbagai tahapan. Seperti penyelidikan, penyidikan dan proses selanjutnya. Yang berwenang dalam memproses kasus tersebut adalah aparat penegak hukum (APH) bukan Pemprov atau  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Asal Mula Bayi Kelinci

Ulang Tahun Pertama, Organisasi Roehana Koeddoes Menggelar Operasi Katarak