in

Penghargaan Seni Budaya

Ada yang mengharukan saya ketika menghadiri peresmian Yayasan Pusako Minangkabau (YPM) di Hotel Mercure, Padang, pada malam 25 Oktober 2016. Keharuan itu adalah ketika melihat 10 pejuang seni budaya Minangkabau tampil di atas pentas untuk merima piagam penghargaan “Pejuang Seni Budaya Minangkabau’ dari Yayasan Pusako Minangkabau. 

Mereka adalah: 1) Amran Nur (alm), mantan wali kota Sawahlunto; 2) Amir MS, penulis prolifik tentang adat dan budaya Minangkabau; 3) Erison J Kambari, fotografer muda yang banyak memperkenalkan keindahan alam dan budaya Minangkabau melalui dunia fotografi; 4) ‘Tuen’ Islamidar, maestro musik tradisi Minangkabau, khususnya Sampelong;  5) Musra Darizal Katik jo Mangkuto, seniman tradisional yang telah memperkenalkan Minangkabau ke mancanegara; 6)  Sulastri Andras, pensiunan guru yang mendedikasikan hidupnya untuk kesenian Minangkabau melalui sanggar ‘Satampang Baniah’; 7) Syahrul Tarun Yusuf (Satayu), legenda pencipta lagu pop Minang standar; 8) Yus Datuk Parpatiah, pemangku adat Minangkabau yang telah menghadirkan berbagai unsur seni pasambahan Minangkabau ke dalam media kaset dan pencipta sandiwara Minang yang juga hadir dalam media kaset; 9) Yusrizal KW, pemuda yang bertekun dalam penyebaran literasi di kalangan anak-anak Minangkabau dari kalangan bawah dan banyak mengupas hakikat keminangkabauan melalui kolomnya ‘Rasakata’ di harian Padang Ekspres, dan; 10) Lettu CPM Burhanuddin, penulis dan pencipta berbagai program radio yang mengorbitkan seni budaya Minangkabau.

Sudah beberapa kali saya menyinggung dalam beberapa tulisan, juga dalam perbincangan dengan beberapa orang teman dan senior dari kalangan budayawan/seniman dan akademisi (antara lain Dr Agus Taher), bahwa orang-orang seperti mereka sudah sepatutnya diberi penghargaan. Mereka berkarya untuk memperkaya kebudayaan Minangkabau yang tentu saja tidak dilatarbelakangi oleh keinginan untuk dipuja dan diberi penghargaan. 

Tapi kitalah yang mesti sadar untuk memberi penghargaan kepada mereka. Alhamdulillah, kesempatan itu datang pada malam 25 Oktober itu. Entah karena kita masih diingatkan akan pentingnya seni budaya sebagai bagian dari identitas diri,  malam itu beberapa penerima penghargaan sudah dalam keadaan sangat sepuh, bahkan salah satu di antaranya, yaitu mantan Wali kota Sawahlunto, Amran Nur, sudah meninggal (diwakili oleh istrinya). 

Amir MS (yang malam itu diwakili oleh keluarga) terbaring sakit di Jakarta menghadapi penyakit tuanya. Sedangkan Lettu CPM Burhanuddin, Satayu, dan Yus Datuk Parpatiah kelihatan sudah sangat sepuh, hingga terpaksa dibimbing naik panggung dan didudukkan di kursi.

Malam itu, mamak urang Minang di Malaysia, Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr Rais Yatim dalam pidato sambutannya sempena peresmian YPM, menekankan urgensi untuk kembali menggali nilai-nilai adat dan seni budaya Minangkabau. Suku bangsa Minangkabau, seperti halnya etnis-etnis lain di Indonesia dan Malaysia, makin kehilangan identitas diri dan hidup dalam kegalauan global. 

Serbuan budaya asing, terutama melalui melalui media, makanan, dan produk-produk teknologi, telah mengakibatkan orang Minangkabau makin meninggalkan nilai-nilai lokal mereka dan cenderung melahap apa saja yang disodorkan oleh Barat.

Akibatnya, masyarakat kita dilanda oleh materialisme yang akut. Hal itu saya rasakan setiap kali saya pulang ke Indonesia dalam perantauan saya selama hampir 20 tahun di jantung kebudayaan Barat. 

Di tempat teknologi itu sendiri berasal, pemakaian alat-alat itu memperhatikan batas kewajaran. Orang menghargai seni dan mengapresiasinya untuk memperkaya batin. Dalam masyarakat kita justru sebaliknya yang terjadi. 

Akibatnya, masyarakat kita kering dari segi kejiwaan. Tanpa sadar kita makin tidak menghargai apa-apa yang berasal dari budaya kita sendiri. Kondisi seperti inilah yang terjadi sekarang. Masyarakat kita mudah marah, egois di jalan dan juga di ruang-ruang publik yang lain, gampang berdusta, cepat iri hari, cenderung memakai jalan pintas untuk mengejar ambisi, suka menyuap/disuap, menipisnya rasa respek, dan kehilangan rasa toleran. Perbedaan paham dan dalam pandangan politik cepat menimbulkan konflik. Kesetiakawanan sosial dan rasa kebersamaan makin menipis. Suka kepada hal-hal yang bersifat kamuflase dan permukaan.

Inilah harga mahal dari budaya materialisme akut yang telah melanda bangsa Indonesia. Akibatnya kita merasa inferior terhadap kebudayaan sendiri. Kita lebih bangga dengan kebudayaan asing. Sebaliknya, kita cenderung tidak menghargai kebudayaan kita sendiri. 

Saya menilai, penghargaan ‘Pejuang Seni Budaya Minangkabau’ yang diberikan oleh YPM kepada sepuluh orang di atas memberi peringatan kepada kita bahwa ada hal-hal yang harus kita sadari di balik glamour dunia materi yang semakin menjajah kehidupan sehari-hari kita, yaitu seni budaya kita sendiri, yang memiliki peran penting untuk membentuk identitas kita yang berpijak pada ranah bunda sendiri. 

Bayangkan, setiap hari kita menikmati syair lagu-lagu Satayu yang jumlahnya puluhan itu. Lagu-lagu ciptaan beliau yang penuh simbolisme bahasa yang khas Minangkabau itu didendangkan oleh orang Minangkabau baik di kampung maupun di rantau. Bagi mereka yang jauh dari ranah bunda, jauh dari tepian tempat mandi, lagu-lagu seperti itu adalah ‘sitawa sidingin’ pengobat rindu kepada kampung halaman. Begitu juga dengan para penerima penghargaan yang lain, yang telah berkiprah di dunia mereka masing-masing, yang tanpa sadar telah menjadi ‘penghadang’ lajunya kebudayaan asing yang  makin lama kian mencengkeram otak dan perasaan kita. Betapa bebalnya (pemerintah) kita jika mengabaikan para penciptanya, menganganggap mereka seolah tidak ada dan tidak berkontribusi kepada bangsa ini.

Kita berharap, semoga penghargaan itu menyadarkan semua pihak tentang pentingnya merevitalisasi kebudayaan kita sendiri. Malam itu, di tengah para hadirin yang terdiri dari para budayawan, akademisi, dan ulama, Gubernur Sumatera Barat, menjelaskan bahwa pemerintah mendukung program-program YPM. Hadirin tentu mencatatnya. Kita tentu berharap, di masa depan pemerintah akan lebih apresiatif kepada para pejuang seni budaya Minangkabau. Mengapa, misalnya, pemerintah tidak melanjutkan tradisi penghargaan ‘Tuah Sakato’ yang sudah ada di masa pemerintahan Gubernur Gamawan Fauzi? 

Seperti dikatakan oleh Ketua YPM, Dirwan Ahmad Darwis, diharapkan tradisi pemberian penghargaan seperti ini akan berlanjut. Akan tetapi, sepatutnyalah pemerintah yang lebih dahulu berinisiatif memberikan penghargaan seperti ini. 

Semoga apa yang dikatakan oleh Gubernur Sumatera Barat pada malam itu, tidak hanya sekadar lip service. Tidaklah akan sampai miliaran atau triliunan rupiah uang rakyat yang akan dikeluarkan oleh pemerintah untuk menghidupkan tradisi memberikan penghargaan kepada para pejuang kebudayaan seperti mereka. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

JK Prihatin, tak Percaya Dahlan Melanggar

Merampok di Jalinsum, Kakak-Adik Dibekuk