Beberapa Pokok Pikiran
Bagaimana memperkuat akar perpuisian di Indonesia? Ini tema yang terkesan agak galau, cemas, seakan bimbang tentang nasib perpuisian dan juga kepenyairan di Indonesia. Mungkin pertanyaan ini mengandung maksud, bagaimana upaya-upaya dan kerja keras yang harus dilakukan untuk terus mempertahankan semangat perpuisian di Indonesia, agar terus hidup dan berakar di tengah masyarakat kesusasteraan.
Kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan agar tradisi-tradisi dan lain-lain kerja budaya yang sudah dilakukan tetap hidup dan terpelihara? Tetapi, mungkin juga pertanyaan tematik tadi, semacam kegelisahan di kalangan penyair dan dunia perpuisian Indonesia, bahwa mungkin satu hari, puisi akan tercerabut dari akar kesusasteraan di Indonesia. Tersisih dan tersingkir, serta tidak dianggap lagi sebagai karya sastra, mengingat bagaimana cabang seni sastra yang satu dan paling tua ini, dirasakan seperti makin lama makin kehilangan para peminat dan pendukungnya.
Bagaimana misalnya, susahnya menjual buku puisi di toko-toko buku, dibanding buku-buku novel. Bagaimana misalnya kegiatan membaca puisi di sekolah-sekolah sudah nyaris tak ada lagi, karena kurikulum di sekolah-sekolah sekarang sudah menyisihkan kesusasteraan dari mata pelajaran utama.
Di perguruan tinggi, Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, juga sudah hampir tak mengenal puisi dan kesusasteraan lainnya dan susah mendapat para mahasiswa. Bayangkan seorang penyair, seperti Hasan Aspahani, atau lainnya yang sedang menanjak, tak dikenal para siswa di sekolah-sekolah menengah dan bahkan di perguruan tinggi (untung dia menulis biografi Chairil Anwar, bisa menyelenggarakan diskusi-diskusi sastra di berbagai tempat, bayangkan kalau yang ditawarkan adalah diskusi buku puisinya Dan Tinta pun Telah Mengering yang jadi buku pilihan terbaik HPI 2016, betapa sulit dan lambatnya respons dunia pendidikan dan perguruan tinggi).
Mereka terperangkap oleh mindset para pengajarnya, yang hanya tahu Chairil Anwar, Sutarji Calzoum Bachri dan terkadang tak bisa membedakan antara Taufik Ismail dan Taufik Ikram Jamil.
Apakah puisi memang akan tercerabut dari akarnya? Saya kira tidak. Bukan saja karena sampai saat ini tetap masih banyak penyair dan puisi-puisi yang diciptakan (tahun 2016, pada iven Anugerah Buku Puisi Terbaik HPI 2016, ada sekitar 255 buah buku kumpulan puisi yang ikut bertarung—ini yang tercatat karena ikut berlomba, sementara yang diterbitkan dan tidak terinformasikan dan tidak ikut lomba, bukan mustahil juga banyak. Buku-buku puisi yang diterbitkan, mungkin lebih banyak dari buku-buku novel, dan bahkan buku-buku fiksi dan nonfiksi lainnya yang terbit di Indonesia).
Fenomena perpuisian di Indonesia beberapa tahun terakhir ini memang menunjukkan tanda-tanda yang sangat menggembirakan. Komunitas-komunitas sastra, khususnya puisi tumbuh di mana-mana. Kegiatan membaca dan membicarakan puisi terjadi di mana-mana. Di kafe dan bahkan ruang-ruang terhormat di gedung legislatif, bukan hal yang mustahil untuk disentuh puisi. Sementara itu, sudah ada pula Hari Puisi Indonesia (HPI), yang dirayakan tiap tanggal 26 Juli.
Bahkan tahun 2016 ini dapat dikatakan sebagai tahun puisi di Indonesia, karena seorang wakil presiden bersedia hadir di acara peringatan Hari Puisi Indonesia.
Di dunia pun, tahun ini adalah tahun puisi, dengan ditetapkan lirik-lirik lagu Bob Dylan sebagai karya sastra. Dan untuk itu Bob Dylan dianugerahi Hadiah Nobel 2016. Meskipun, seperti diutarakannya dalam pidato tertulisnya yang dibacakan Azita Raji, Duta Besar Amerika Serikat untuk Swedia, pada malam resepsi penganugerahan Nobel Prize itu, Bob Dyland masih ragu atau dengan rendah hati dan bertanya: Apakah lagu-lagu saya itu memang sebuah karya sastra?
Di luar indikator-indikator dan semua kecenderungan, serta perubahan persepsi dunia kesenian itu terhadap puisi. Ada hal yang paling esensial, yaitu premis yang menegaskan bahwa pada hakikatnya puisi itu adalah kita semua. Sepanjang kita masih ada, bernapas dan menjalani kehidupan kita, maka puisi akan tetap ada, tetap eksis. Karena puisi, bukan saja genre sastra yang paling tua (bahkan dijuluki ibu kesusasteraan), tapi adalah salah satu cara kita mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri kita.
Mengekspresikan luka, duka dan dosa kita sebagai anak cucu Adam, atau dalam versi yang lebih religius dan humanis, sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Mengaktualisasikan diri kita sebagai tanda bersyukur atas anugerah cinta dan kehidupan yang tak ternilai ini yang sudah kita terima dalam bentuk kerja dan jejak kehidupan yang kita tinggalkan.
***
Kita semua hakikatnya adalah penyair. Adalah puisi. Ketika masih dalam rahim kehidupan, Tuhan telah meniupkan roh kehidupan dan menjadikan kita manusia. Lalu lahir ke dunia ini. Kun Fayakun, kata Allah, dan sebuah takdir menunggu kita.
Tugas kita adalah seperti dikatakan penyair Sutardji Calzoum Bachri, pergi mengembara dan berjalan pulang, kembali ke rumah asal kita, tempat roh kehidupan itu berasal dan ditiupkan, menjemput takdir kita. Kembali kepada Maha Pencipta. Saya, dengan latar belakang kelahiran, budaya dan sejarah kepenyairan saya, mengumpamakan kita seperti burung kedidi (burung pantai di Kepulauan Riau, bertubuh kecil, berkaki panjang) yang berlari dari satu pantai ke pantai lainnya.
Jejak-jejak sejarah kehidupan kita itulah puisi. Kitalah yang menulis puisi-puisi itu, sejarah itu, seberapa kecil dan terkadang nyaris tak terbaca dan tercatat. Kita semua telah menulis puisi-puisi kita sebagai bagian dari kehendak mengekspresikan suasana dan perasaan hati kita, puisi-puisi yang merefleksikan luka sejarah, duka asal dan dosa Adam dan Hawa yang melekat pada kita. Dan dalam perjalanan pengembaraan itulah kita meluahkan ekspresi batin kita, mengaktualisasikan sikap hidup kita dan itulah puisi-puisi yang kita tulis tiap saat, tiap waktu, serta kemudian meninggalkan jejak kepenyairan kita. (*)
LOGIN untuk mengomentari.