Palembang, BP
Penyelesaian sengketa bisnis BANI kini terus mendapatkan perhatian lebih dari banyak pihak. Tren peningkatan ini selain dipicu oleh asas efisiensi waktu bisa terselesaikan di bawah 90 hari, juga tingginya tingkat transparansi dan keterbukaan tanpa harus dipublish layaknya penyelesaian melalui Pengadilan. Kabar gembiranya lagi, dalam waktu dekat, penyelesaian Arbitrase bakal mengacu pada sistem online, dimana pendaftaran kasus bisa dilukukan secara online menghemat waktu.Termasuk estimasi biayanya pun benar benar terukur, semakin besar kasus, malah semakin murah biayanya.
“Semua rating biaya jelas, di sini. Tidak boleh dikira kira, semua sesuai dengan kondisi kasus real. Beda dengan biaya biasa dipatok oleh pengacara terkadang lebih banyak dibesar-besarkan. Di BANI nilai ekonomis semua pihak dijaga supaya untung bukan rugi dalam penyelesaian sengketa bisnis melalui Arbitrase,” kata Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Palembang yang juga Pakar Hukum Bisnis sekaligus Arbiter BANI, Prof Dr. H. Joni Emirzon SH, M. Hum dalam Short Talk “ Peran Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia” di Hotel Aryaduta, Palembang, Sabtu (23/11) dengan nara sumber lain Arbiter BANI sekaligus kandidat Doktor Ilmu Bisnis Unpad kini juga berkiprah di Komite BPH Migas, Ir. H. Ahmad Rizal, SH, MH, FCBArb dan pembawa acara wartawan senior Sumsel, Sarono Putro Sasmito.
Apalagi kata Joni, dalam waktu cepat Arbitrase juga bakal menerapkan sistem online, dimana para pemohon termohon bisa mengirimkan berkas perkara nya lewat online sebelum sidang, sehingga makin cepat dan hemat lagi biayanya.
Oleh sebab inilah, kini tren peningkatanya luar biasa. Tidak saja di Indonesia naik terus trenya sejak 1990 an hingga kini, namun di negara seperti Jepang naik 15 persen, Korea 16 persen, Singapura 16 persen, Malaysia 13 persen, German naik 8 persen.
“Trust inilah menjadikan fungsi BANI kini terus dituntut progresif dalam semua lini,” katanya.
Bisa dibayangkan, jenis kasusnya pun kini sangat variatif banyak. Tidak saja bidang konstruksi menempati rate tertinggi hingga 33 persen porsinya, namun kasus leasing pembiayaan kini juga trenya juga sudah naik ke posisi 25 persen, telekomunikasi khususnya infrastrukturnya, disusul bidang trading, finance, agency dan bidang asuransi pun sudah mulai banyak kasus yang masuk meminta untuk diselesaikan melalui Arbitrase ini.
Saat ini dari sekitar 1.000 kasus yang masuk, 80 persen terselesaikan tuntas di arbiter. Hanya sebagian kecil saja yang tidak puas dan mengajukan ke pengadilan. ” Biasanya terjadi jika ada unsur ketidakjujuran di salah satu pihak, seperti ada kwitansi palsu dan lainya, “ katanya.
Dia juga memastikan kalau kasus-kasus arbitrase baik di Medan, Jambi, Palembang, Jakarta haram untuk dieksposenya karena memang itu memang larangan.
“ Kalau saya ekspose pasti yang punya kasus gugat saya, membuka rahasia,” katanya.
Karena itu kini sudah banyak pengusaha menilai lembaga arbitrase lebih aman daripada berpekara di Pengadilan Negeri, oleh karena itu kenyamanan dalam berarbitrase akan terwujud jika para pihak berbicara untuk kepentingannya karena tidak ada orang yang masuk di sana, termasuk merekam tidak diperbolehkan kecuali sekretaris majelis bisa merekam dimana rekaman tersebut tidak untuk di sebar keluar.
“ Bagi teman-teman media, kondisi seperti ini agar bisa diberikan pencerahan kepada berbagai pihak dan disinilah letak simbiosis kita antara lembaga arbitrase dengan rekan-rekan media, kita saling membantu bagaimana mencerahkan anak bangsa Indonesia ini,” katanya.
Selain itu diberbagai aturan di Indonesia ini sudah mengarah penyelesaian permasalahannya kepada arbitrase contohnya undang-undang perlindungan konsumen , undang-undang konstruksi.
Apalagi lembaga leasing (lembaga pembiayaian) kini juga memilih arbitrase dan kini gencar melakukan sosialisasi.
“Kita rencana mengundang berbagai lembaga keuangan , sekarang lembaga keuangan, OJK sudah memiliki lembaga arbitrase, saya, pak Bambang dan pak Rizal masuk dalam arbitrase OJK,” katanya.
Apalagi cara penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase ini menurutnya lebih elegan .
“Bukan berarti kita tidak setuju dengan Pengadilan Negeri, sekarang Pengadilan Negeri sudah over load kasusnya, dan memang hakim itu hanya memiliki ilmu hukum tapi tidak memiliki ilmu konstruksi , makanya dalam penyelesian kasus seperti itu maka para pihak lebih memilih dalam kontraknya memilih lembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesian konfliknya ,” katanya.
Sementara Arbiter BANI sekaligus kandidat Doktor Ilmu Bisnis Unpad kini juga berkiprah di Komite BPH Migas, Ir. H. Ahmad Rizal, SH, MH, FCBArb menambahkan perlu adanya arbiter-arbiter lain dari banyak kalangan kedepan.
“ Kalau prospek menjadi arbiter itu sangat besar, umurnya 35 punya pengalamannya dibidangnya selama 15 tahun , punya integritas bisa jadi arbiter bisa ikut pelatihan-pelatihan bula perlu cari sertifikasi melalui Institut Arbiter Indonesia,” katanya.
Menurutnya, ada banyak badan arbiter di Indonesia, namun paling tua dan memiliki branding lebih dari sisi kapasitas kapabilitas, BANI masih yang terdepan dipercaya banyak pihak.
Kelebihan lain sistem arbiter di BANI, cepat, sederhana (tidak perlu banyak orang syarat) fleksibel efektif, biaya murah, rahasia, final binding, kebebasan memilih arbitrator.
” Prinsip di Arbitrase para pihak mencari keadilan, bukan kemenangan, beda kata banyak pihak dengan kondisi di Pengadilan, orang banyak mengambil permisalan, seperti beli kambing bayarnya pakai sapi, “ katanya.
Ada prinsip yang dipegang secara universal, independen, imparsial, cepat, final, juga berlaku untuk investasi dan finance.
Contoh sengketa kasus lahan penyewaan tower meski kasusnya kecil tapi tuntutanya hingga miliaran.
Prospek jadi arbiter luar biasa saat ini, memiliki bidang khusus dan pengalaman 15 tahun di bidangnya sangat dicari. Kini jumlah arbiter lokal baru mencapai sekitar 70-an, dan internasional 70-an, angka ini masih sangat sedikit, kedepan kebutuhan arbiter di banyak bidang sehingga bisa terus melengkapi kebutuhan Arbitrase.
Rata rata kasus konstruksi membumbung dibandingkan kasus lai lantaran ada banyak persoalan peluk di sini, sesuai UU mengatur jasa konstruksi, penyelesaian sengketa konstruksi harus dimusyawarah mufakatkan secara berjenjang, mediasi, rekonsiliasi, Arbitrase dan tidak ada kata kata pengadilan negeri. Artinya sektor ini benar benar diarahkan untuk penyelesaian lewat jalur Arbitrase.
Dan menurutnya yang bisa membatalkan putusan Arbitrase hanya tiga faktor, ada dokumen disembunyikan para pihak ditutup tutupi, ada dokumen palsu, adanya tipu muslihat salah satu pihak.#osk