in

Peran Orang Kecil dalam Kehidupan

Judul : Profesi Wong Cilik
Penulis : Iman Budhi Santosa
Penerbit : Basa Basi
Cetakan : November 2017
Tebal : 308 Halaman
ISBN : 978-602-391-371-8

Jika profesional modern tumbuh menjadi individu yang banyak dicontoh orang, mata pencaharian tradisional Jawa justru membuat pelakunya sebagai penyangga wujud tata kebudayaan yang sangat spiritual dan religius. Buku mengenai 100 Tokoh Dunia sudah diterbitkan dan pembaca bisa mempelajari kesuksesan mereka. Mungkin setelah itu ada baiknya jika masyarakat mengarahkan pandangan ke bawah. Sejenak melalui buku ini, pembaca belajar dari kebudayaan wong cilik di Jawa memadukan spiritualisme dan profesionalisme yang tegar menyelamatkan kawula alit pada zamannya.

Fenomena pengabdian para abdi dalem keraton, jika mengamati dengan saksama lewat kacamata batin yang bersih dan hati terbuka dapat menjadi contoh laku olah spiritual orang Jawa. Ini khususnya, mereka yang sengaja memilih bekerja dengan mengabdi kepada raja dan negara sebagai mata pencarian. Mereka yang komitmen kejawaannya tidak lagi berorientasi pada aristokrasi keraton. Pekerjaan seperti itu akan dinilai sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Terlebih ketika gengsi keilmuan (intelektualitas) makin berkuasa.

Kesetiaan yang begitu mbalung sungsum (sampai ke tulang sumsum) dapat dijadikan tolok ukur, pengabdian tidak sekadar mengadakan ‘jual-beli’ tenaga dan jasa. Namun, juga membuat semacam ikatan batin sublim antara abdi dan negara serta junjungannya (hlm 214). Walau kekucah (gaji) yang diperoleh dari pengabdian kecil, mereka ikhlas menerima dengan hati terbuka. Mereka tidak mengeluh kesah karena pengabdian bukan semata-mata dianggap sebagai pekerjaan atau mata pencaharian. Ini jauh berbeda dengan generasi modern yang hanya menilai pekerjaan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang ekstrem.

Kisah lainnya, dari Purnawirawan bernama Rakijan. Dia mantan anak buah Mayjen HM Ismail (Gubernur Jateng era 80-an) pada awal kemerdekaan justru tidak latah menangguk berkah politik pembangunan Orde Baru dengan menjadi lurah, misalnya, atau minta dikaryakan seperti kebanyakan purnawirawan seangkatannya. Rakijan benar-benar meninggalkan seluruh atribut ketentaraan dan kembali menjadi rakyat biasa. Pun tak ada seorang yang tahu kepindahan Rakijan bersama keluarga.

“Dulu ketika perang kemerdekaan, seharusnya saya sudah mati di sini. Belanda mengepung kami hampir seharian,” demikian Rakijan bertutur sambil menyingkap bajunya memperlihatkan bekas luka parah di pinggangnya (hlm 273). Saat itu, Rakijan mengaku diselamatkan seorang pencari kayu di desa Mentasan. Keduanya akrab, benarbenar seperti orang tua dan anak. Tak disangka, sebelum pencari kayu meninggal, Rakijan diharuskan menerima warisan tanah darinya. Untuk mengenang jasanya, Rakijan mendirikan rumah yang kemudian ditempati.

“Dulu ketika perang kemerdekaan, seharusnya saya sudah mati di sini. Belanda mengepung kami hampir seharian,” demikian Rakijan bertutur sambil menyingkap bajunya memperlihatkan bekas luka parah di pinggangnya (hlm 273). Saat itu, Rakijan mengaku diselamatkan seorang pencari kayu di desa Mentasan. Keduanya akrab, benarbenar seperti orang tua dan anak. Tak disangka, sebelum pencari kayu meninggal, Rakijan diharuskan menerima warisan tanah darinya. Untuk mengenang jasanya, Rakijan mendirikan rumah yang kemudian ditempati.

Pemetik rata-rata menyatakan, meskipun tenaga kasar, tak merasa lagi sebagai kuli. Mereka menilai, perusahaan telah berusaha sekuat tenaga menghargai. Sedangkan perihal upah yang belum sesuai dengan kehendak dan cita-cita adalah persoalan lain.

Sebagai masyarakat kecil, mereka umumnya sadar bahwa cita-cita sekecil apa pun memerlukan ongkos. Jer basuki mawa beya. Mereka juga menyadari posisi. Pekerjaan terendah tidaklah identik dengan pekerjaan “rendah”. Agaknya, mereka juga telah menyatu dengan konsep manunggaling kawula lan Gusti. Ada pemimpin, ada juga yang harus dipimpin. Ada yang diatur, harus pula ada yang mengatur (hlm 76).

Fatoni Prabowo Habibi, Mahasiswa IAIN Pekalongan

What do you think?

Written by Julliana Elora

BERITAPAGI – Sabtu, 24 Februari 2018

Membangun Budaya Kritis