in

Peran Politik Perempuan Minang

Luas. Seakan tak tertepi. Dalam. Seperti tak kan pernah sampai kita ke dasar lubuknya. Kalimat ini pun serasa tak memuaskan kita untuk mendiskripsikan eksistensi perempuan di Minangkabau. Pengharungan besar tentang falsafah keperempuan Minangkabau sejak lama terus berlangsung sampai kini. Silih berganti para ahli, dari dalam dan luar negeri, untuk semakin memahami peran domestik dan kuasa publik perempuan di Minangkabau. Pencarian yang takkan pernah usai, kerena dalam diri perempuan Minangkabau berkelindan secara rumit hampir semua unsur kehidupan. 

Unsur sosial, ekonomi, budaya, kuasa politik dan keyakinan religi perempuan Minangkabau koeksistensi bersama bawaan dasar masyarakat Minangkabau yang menganut matrilineal.

Tulisan ini adalah serpihan kecil pemikiran penulis yang terbawa resah pula oleh kegelisahan intelektual ibu Doktor Nurwani Idris. Nurwani Idris, seorang doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya, kelahiran Payakumbuah, yang menghaqulyakini ratusan disertasi belum tentu akan dapat mengungkap dan mengurai tuntas tentang hakikat nilai dan arsiran peran perempuan Minangkabau. 

Sehubungan dengan pandangan Nurwani dalam bukunya, Perempuan Minangkabau, Dalam Metafora Kekuasaan (2017), salah satu tema yang beliau dalami dan terasa sangat aktual untuk didiskusikan, yaitu tidak berkesesuaiannya antara modal falsafah yang dimiliki perempuan Minangkabau dalam hal politik dengan rendahnya peran politik perempuan Minangkabau, terutama di lembaga-lembaga politik modern.  

Dengan semakin dekatnya pilkada serentak 2018 dan pemilu serentak 2019, menjadikan tema “Peran Politik Perempuan Minangkabau” semakin “seksi” untuk “ditelanjangi” lebih “bulat” lagi. Menjadi harapan kita semua, kontestasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 diramaikan pula oleh bermunculannya tokoh perempuan di ranah Minang, baik sebagai calon kepala/wakil kepala daerah atau calon anggota legislatif. 

Selanjutnya tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan, sumber daya politik apa yang dimiliki perempuan Minangkabau yang memugkinkan peran politiknya berkembang dengan baik, dan kendala apa yang mereka alami sehingga potensi itu tak termanfaatkan dengan baik?

Seperti diharapkan, bermunculannya para tokoh perempuan Minangkabau dalam kancah politik, sebenarnya memiliki dasar pijakan kultural dan empirik yang cukup memadai. Sebagai yang tertakdir pada alur matrilineal, secara politis perempuan Minangkabau berada pada poros sentral sumber daya kekuatan sosial ekonomi masyarakat, dan adat Minangkabau mengakui kedudukannya setara dengan laki-laki. 

Bahkan dalam pengambilan keputusan tertentu yang punya dampak risiko tertinggi terhadap keseimbangan harmoni dalam kaum, perempuan Minangkabau punya kekuatan hak veto membatalkan keputusan sepihak yang diambil oleh pemimpin laki-laki (mamak/penghulu). Sekadar contoh, pihak yang akan bertransaksi dengan objek tanah pusaka (pusako tenggi atau randah), apakah itu transaksi jual, gadai, pinjam pakai dan sejenisnya, belum berani melakukan akad transaksi bila masih ada pihak perempuan yang belum setuju. 

Artinya, adat Minangkabau menempatkan perempuan pada kursi kuasa yang lebih tinggi dari pada lelaki (mamak). Kontrol ekonomi dan relasi sosial dalam kaum berada dalam genggaman perempuan yang tertua, dan hari ini  kontrol itu mengalami pergeseran ke perempuan yang lebih mapan secara ekonomi atau pendidikan ketimbang lebih senior dari sisi umur.

Konsekuensi sosial ekonomi paham matrilineal yang menempatkan perempuan Minangkabau pada titik tengah dominasi tawar penawar, yang pada akhirnya berkontribusi pula dalam pembentukan potensi diri untuk mengelola masalah yang berhubungan dengan urusan kuasa di ranah publik, agaknya telah menjadi landasan  pemikiran Doktor Nurwani Idris untuk memperkuat legitimasi kultural Perempuan Minangkabau sebagai the ultimate source of wisdom. Sumber kearifan tertinggi dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau. 

Pengakuan bahwa perempuan di Minangkabau sebagai sumber kearifan tertinggi ini, mewujud dalam pemosisian peran dan fungsi perempuan sebagai Amban Puro, yaitu sebagai pemegang kunci harta pusaka. Juga, pemosisian perempuan sebagai yang paling diyakini kapabel untuk urusan yang berhubungan dengan pembentukan karakter Islami di tengah keluarga dan masyarakat. Dalam konteks ini, perempuan dikias sebagai unduang-unduang ka Madinah, payuang panji ka sarugo. Banyak lagi mamang adat yang menunjukkan kuatnya peran publik dan kapabilitas politik perempuan Minangkabau. 

Singkat kata, sistem matrileneal telah membangun pola-pola budaya hubungan laki dan perempuan yang egaliter. Laki dan perempuan sama memiliki derajat kesetaraan, duduak samo randah tagak samo tenggi.

Deskripsi di atas cukup untuk membangun logika, bahwa pada perempuan Minangkabau melekat potensi kapabalitas politik sejak ia berada dalam kandungan ibunya. Persoalannya, mengapa di aras publik atau di jagat kepemimpinan politik, perempuan Minangkabau relatif sangat rendah? Nurwani Idris (2017) melabelnya sebagai sebuah kesenjangan, antara nilai kesetaraan dan potensi kuasa yang membentuk perempuan Minangkabau (sebagai konsekuensi sistem matrilineal) tetapi dalam kenyataannya justru peran politik kepemimpinan perempuan Minangkabau masih jauh dari harapan. Mengutip data Pemilu 2004, tak seorangpun perempuan Minang di DPR. Pemilu 2004 di DPRD Sumbar, hanya 4 orang perempuan dari 42 anggota legislatif. Angka seperti ini tak punya kisaran lebih baik untuk pemilu-pemilu tahun berikutnya. 

Di level kepemimpinan di nagari, data sensus tahun 2000 menunjukkan dari 534 nagari, hanya ada 4 orang wali nagari perempuan, yaitu wali nagari Koto Baru Simalanggang, Nagari Suayan (Kabupaten Limapuluh Kota) Nagari Lawang (Agam) dan Nagari Simpang Torang di Kabupaten Pasaman (Nurwani, 2017)

Khusus untuk masalah rendahnya posisi keterwakilan perempuan Minangkabau dalam parlemen, Nurwani Idris (2017:513) menempatkan 4 faktor penyebab, yaitu, a. Ketiadaan kemampuan untuk itu atau rendahnya sumber daya, b. Ketidaktertarikan mencempungi urusan politik, c. Ketidakadaan permintaan kepada mereka/tidak mempunyai jaringan dan, d. Adanya regulasi/aturan yang menghalangi. 

Empat jawaban Nurwani yang disusun dalam riset ilmiah disertasi ini, menjadi menarik untuk dijadikan diskursus paling tidak karena dua alasan, pertama, karena masih banyak ruang kosong dalam perspektif epistimologi keilmuan untuk mencari mengapa rendahnya keterlibatan perempuan Minang dalam kepemimpinan politik. Ruang kosong itu bila diisi, konsekuensinya, bisa saja pendapat Nurwani cenderung terkoreksi dan bisa pula cenderung semakin valid dan realibilitasnya semakin tinggi. 

Kedua, bisa jadi kemungkinan jawabannya adalah, karena akar tunggang sumber kekuasaan yang melekat pada perempuan Minangkabau itu, bisa jadi bagian dari akar kekuasaan yang semata-mata bertujuan menjunjung nilai-nilai kehidupan yang paling tinggi dan maha sakti, yaitu, harmoni, keseimbangan kepuasan lahir dan bathin, menempatkan diri dalam jalur politik semata-mata panggilan pengabdian untuk mengurus kehidupan orang lain supaya lebih baik. Seperti lilin yang terus menerangi dalam lelehan perjuangan diri yang sebentar lagi sirna. 

Sementara yang terjadi sekarang, akar kekuasaan paling dominan tumbuh dari keinginan untuk meraih kepuasan lahiriyah yang semu, memenuhi syahwat liar pribadi, rong-rongan keluarga, kelompok dan kepentingan partai politik yang menaungi. 

Demi kepentingan rakyat, para peserta kontestansi politik hanya bagian hingar bingar janji-janji politik belaka. Jelas dan dipastikan, gejala perilaku politik seperti yang ada sekarang, adalah suatu tanah tumbuh yang tidak cocok dengan bibit budaya kekuasaan sejati Minangkabau yang egaliter, mengutamakan harmoni, damai dan menempatkan pencapaian kesejahteraan semua orang sebagai tujuan tunggal. (*)        

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

UN Berbasis Komputer Ditarget 100%

Industri Fashion Online Tumbuh