in

Perempuan Minang dalam Res Publica

Oleh: Rahmadiah
Tenaga Ahli Anggota DPR RI Fraksi NasDem

Berbeda dengan suku dan etnis yang ada di Indonesia lainnya, Minangkabau merupakan satu-satunya suku yang menganut sistem kekerabatan matrilineal bukan patrilineal pada lazimnya.

Sistem kekerabatan ini mendudukan perempuan di tempat yang tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini ditandai besarnya kedudukan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Artinya perempuan tidak hanya didengar tetapi juga dipertimbangkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

Oleh karena itu, perempuan Minangkabau sejak zaman dahulu ditempatkan sebagai pilar utama dalam suku dan disimbolkan dengan limpapeh rumah gadang. Dengan kata lain perempuan Minangkabau dianggap sebagai sumber kearifna yang tinggi (the ultimate source of wisdom).

Perempuan Minang yang disimbolkan dengan Bundo Kanduang tidak dapat dipisahkan dalam proses pengambilan keputusan di adatnya.

Pada zaman dahulu diketahui bahwa terdapat empat jenis orang penting dalam pengambilan keputusan adat yang terdiri dari Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai dan Bundo Kanduang.

Dapat dikatakan bahwa peran Bundo Kanduang dalam ruang publik Nagari berada pada posisi strategis. Sebagai Bundo Kanduang dan Limpapeh Rumah Gadang, perempuan Minang sudah seharusnya memiliki sifat kepemimpinan.

Selain itu juga harus memiliki sifat keibuan sehingga perempuan Minang dapat menjadi madrasah bagi anak-anaknya kelak. Dari hal-hal tersebut, perempuan Minang diharuskan memerankan dua peran sekaligus yaitu sebagai ibu yang berperan dalam wilayah domestik dan Bundo Kanduang yang berperan sebagai pemimpin di wilayah publik.

Menurut Tanner (1967), perempuan Minang dengan begitu merupakan pemegang tanggung jawab ekonomi tertinggi dan sekaligus pengontrol kekuasaan di nagari. Dalam hal ini maka tidak ada keputusan penting yang dijalankan tanpa sepengetahuannya.

Hal itu sesuai dengan ungkapan Minang yang cukup terkenal untuk menggambarkan perempuan sebagai (1) Amban puro; pemegang kunci harta pusakaa; (2) Unduang unduang ke Madinah; payung panji ke dalam surgal dan (3) Ka-pai tampek batanyo, ka-pulang tampek babarito yang artinya semua keputusan yang akan diambil harus dimusyawarakan dulu dengannya.

Ironisnya pada zaman kini, tidak banyak orang menyadari bagaimana pentingnya peran perempuan Minang di lingkungannya, sehingga nilai-nilai yang ada dulu kalau sebagian besar musnah dan usang.

Sebagai ilustrasi misalnya jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik Kabupaten, Kota dan Provinsi di Sumatera Barat. Pada tahun 2019 hanya 49 orang perempuan dari total 655 kursi anggota dewan dari semua tingkatan.

Artinya hanya 7,4% keterwakilan perempuan duduk sebagai anggota DPRD dari berbagai tingkatan di Sumatera Barat. Tentu ini sangat mengejutkan mengingat Sumatera Barat merupakan tempat yang dikenang sebagai embrio pejuang perempuan dan pendidikan perempuan.

Kita tentu dapat mengenang Ruhana Kuddus (1884-1972), seorang perempuan kelahiran Koto Gadang, Agam. Kiprahnya selama hidup membuatnya layak mendapat gelar pahlawan nasional. Sebagai perempuan Ruhana sempat mendirikan sekolah di Koto Gadang pada tahun 1905.

Kemudian pada Februari 1911 mendirikan sebuah perkumpulan pendidikan Bernama Kerajinan Amai Setia (KAS). Perkumpulan pendidikan ini tidak hanya mengajari perempuan tentang keterampilan berumah tangga tetapi juga membaca dan menulis. Dengan KAS, Ia ingin memperluas perjuangan hak wanita.

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1912, Ia mendirikan surata kabar sendiri Bernama Soenting Melajoe. Menurutnya dengan surat kabar Ia dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan banyak perempuan di berbagai daerah.

Pengalaman sejarah lain yang layak diingat adalah keberadaan Diniyyah Putri Padang Panjang. Sebuah madrasah khusus anak-anak perempuan yang didirikan pada tahun 1928 oleh Rahmah El Yunusiyyah. Pendirian Diniyyah Putri ini diilhami oleh keinginan Rahmah El Yunusiyyah agar anak-anak perempuan mendapatkan kesempatan yang luas untuk menggunakan haknya dalam belajar dan menuntut ilmu. Awal kemunculan lembaga pendidikan ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Bahkan mendapat cercaan dan hinaan.

Masyarakat menganggap Rahmah El Yunusiyyah sebagai ayam betina yang hendak berkokok, upaya seorang perempuan yang hendak menyamai laki-laki. Namun sejarah kemudian mencatat bahwa Diniyyah Putri selain melahirkan tokoh perempuan besar juga memberi inspirasi bagi dibukan sekolah perempuan serupa di berbagai negara. Pada tahun 1957 Rahmah El Yunusiyyah mempelopori dibukanya Kuliyatul Bamat di Al Azhar Universita Cairo yang memungkinkan perempuan ikut berpartisipasi dalam perkuliahan. Sampai saat ini Diniyyah Putri telah mempunyai tujuh tingkatan pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak.

Dua contoh di atas memberikan gambaran tentang besarnya kontribusi perempuan dalam wilayah publik bukan melulu domestik. Ruhana Kuddus dan Rahmah El Yunusiyyah keduanya aktif dalam dunia pendidikan dan perjuangan sekaligus. Dunia yang sangat identik dengan dunia patriarki. Sebuah dunia yang sebenarnya berseberangan dengan sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau. Sistem yang sebenarnya menggambarkan pola budaya egaliter. Mengutip Ali Akbar Naviz (1999), menurut alam pikiran Minangkabau egaliti berarti persamaan atau kesetaraan yang menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan sama, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi.

Sungguh mengejutkan kiranya jika melihat sedikitnya keterwakilan perempuan Minangkabau di parlemen. Artinya perempuan Minang berada di posisi-posisi penting dalam wilayah publik. Ada anggapan bahwa dunia politik bukan dunia perempuan tapi mempunyai kekuasaan politik yang kuat dalam masyarakatnya sebagai pengontrol kekuakasaan, karena yang melaksanakan public policy adalah laki-laki. Dengan kata lain perempuan adalah penentu dan laki-laki adalah pelaksana. Tentu saja ini merupakan kesalahkaprahan dalam memahami konsep egaliter.

Jika demikian maka konsep Bundo Kanduang tidak mampu menjangkau wilayah-wilayah publik. Padahal dalam banyak hal dari wilayah publik itulah sumber manfaat dan masalah selalu berasal.
Tentu saja tidak mudah untuk membayangkan perempuan mengambil peran di res publica.

Selain karena budaya yang menganggap itu sebagai wilayah laki-laki, juga karena adanya kekosongan sumber daya perempuan yang siap beradu kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas dalam kontestasi politik. Sekali lagi tentu saja selalu ada yang pertama, dan selalu saja harus ada yang memulai memberi teladan. Jika tidak para Bundo Kanduang yang mengontrol sumber daya kekuasaan maka sumber daya negara akan terpakai secara mubazir dan berlimpah secara tidak adil pada satu kelompok saja. Dalam rancang masa depan haruslah perempuan Minang berani untuk melihat arena publik sebagai tantangan zaman untuk mengembalikan harkat dan derajat perempuan.(*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kinerja PT BPR Tambun Ijuk, NPL-nya hanya 0,62 Persen

J-Hope BTS berangkat wajib militer