in

Pergulatan batin seorang profesor ketika anaknya mogok sekolah

Surabaya (ANTARA) – Gelar profesor yang menjadi dambaan puncak semua dosen, menorehkan dua cerita sekaligus bagi Ridho Bayuaji, Guru Besar Teknik Infrastruktur Sipil di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang sejak 2021 mendapat amanah sebagai Kaprodi Program Profesi Insinyur Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT) ITS

Bagi Ridho, turunnya surat keputusan (SK) sebagai guru besar itu merupakan kabar membahagiakan, sekaligus menggundahkan jiwanya. Saat SK itu turun, Abdul Bahaudin atau Addin, anak pertamanya, memutuskan berhenti (mogok) sekolah saat si anak baru 3 bulan mengenyam pendidikan di satu sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya.

“Luar biasa gungcangnya perasaan saya, saat itu. Bapaknya menjadi guru besar, sedangkan anaknya tidak mau sekolah. Cemas sekali,” kata Prof. Ridho Bayuaji, saat berbincang dengan ANTARA di suatu siang di Surabaya.

Karena itu, Ridho dan istri sengaja tidak mengabadikan momen pengukuhan guru besar pada 25 November 2020 itu, baik dalam bentuk foto maupun video.

Saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar dengan judul “Potensi Beton Geopolimer: Beton Ramah Lingkungan dan Peluang Kontribusinya pada Infrastruktur Maritim di Indonesia” itu, Ridho tampil dengan membawa beban jiwa mengenai masa depan Addin dipastikan tidak akan memiliki ijazah pendidikan yang tinggi.

Beruntung sekali, Ridho dan istrinya, Ari Destari, saat itu sudah intensif belajar Ilmu Kesadaran sehingga pergolakan batinnya lambat laun bisa terlampaui, khususnya setelah melakukan konsultasi privat dengan Bang Aswar, pengampu Ilmu Kesadaran di Indonesia.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Pemkab Musi Banyuasin raih penghargaan Gemilang Adinkes 2024

Kemenpora yakin peserta PKPBN jadi contoh positif untuk generasi muda