Saatnya Tegakkan Hukum Satwa Langka
Terungkapnya lima pelaku sindikat perdagangan harimau sumatera (panthera tiger sumatera) oleh Petugas Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPLHK) Sumatera Wilayah dua beserta Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar dan polisi kehutanan Minggu (19/2) menjadi catatan buruk bagi populasi satwa liar yang dilindungi.
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Berdasar data yang dihimpun Padang Ekspres Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa liar atau sekitar 17% satwa di dunia terdapat di Indonesia.
Indonesia adalah negara nomor satu dalam hal kekayaan mamalia (515 jenis) dan menjadi habitat lebih dari 1539 jenis burung. Sebanyak 45 % ikan di dunia, hidup di Indonesia berdasarkan data International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
IUCN melansir jumlah total spesies satwa Indonesia yang terancam punah dengan kategori kritis (critically endangered) ada 69 spesies, kategori endangered 197 spesies dan kategori rentan (vulnerable) ada 539 jenis (IUCN, 2013). Satwa-satwa tersebut benar-benar akan punah dari alam jika tidak ada tindakan untuk menyelamatkannya.
Menurut catatan Profauna, perdagangan satwa liar pada 2015 meliputi 96 ekor trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang terungkap di Medan pada April 2015.
Dari jenis satwa yang diperdagangkan 17 kasus (25%) kasus melibatkan satwa laut (penyu, pari, hiu, dan lainnya). Kelompok satwa lainnya yaitu jenis kucing besar (harimau, kucing hutan, dan lain-lain) sebanyak 16 kasus (24%), burung paruh bengkok 12 kasus (18%), primata 11 kasus (16%), dan berbagai jenis burung berkicau ada 10 kasus (15%).
Wildlife Crimes Unit (WCU) juga mencatat kerugian Indonesia akibat praktek perdagangan satwa tersebut mencapai Rp 9 triliun per tahun.
Sementara Sumbar sendiri, berdasar Informasi Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Sumbar Rusdian menyatakan, hewan dilindungi yang paling banyak diburu dan dijual di pasar gelap adalah harimau, trenggiling dan gading gajah. Di Sumbar yang terbanyak diburu adalah harimau.
“Untuk saat ini yang paling banyak diburu di Sumatera adalah harimau dan trenggiling. Sementara untuk hewan yang diperdagangkan di pasar gelap tertinggi adalah gading gajah, kulit harimau, dan trenggiling,” ujarnya, Kamis (2/3).
Menurut Rusdian yang menjadi permasalahan masih diburunya satwa liar di Sumbar karena tingginya permintaan pasar terhadap buruan hewan-hewan liar yang dilindungi ini, apalagi ia menyatakan permintaan pasar terhadap kulit maupun gading sangat tinggi.
“Permasalahan ini sudah kompleks khususnya di Indonesia ada banyak motif orang melakukan perburuan hewan liar yang dilindungi. Pertama semua perburuan itu motifnya ekonomi. Kemudian kondisi hutan yang luas dan tidak sebanding dengan total petugas tidak setiap saat ada memantau di kawasan, penegakan hukum yang lemah serta tingginya adanya permintaan pasar, berlaku hukum ekonomi, apabila ada permintaan orang akan terus berburu, apalagi permintaannya sangat tinggi,” tutur Rusdian.
Sampai saat ini Rusdian menyatakan, penegakan hukum yang juga sangat lemah di Indonesia dan membuat para pelaku nyaman berburu di Indonesia bahkan memanfaatkan penduduk sekitar untuk berburu dan membayar mereka menjadi modus dalam melakukan penangkapan hewan liar dilindungi ini.
“Penegakan hukum tidak pernah ada yang dihukum maksimal dalam perburuan hewan liar ini. Sayangnya vonisnya tidak ada yang maksimal. Dua kasus terakhir di Bengkulu dan Teluk Kuantan hukumannya di bawah empat tahunan. Pelaku akan cenderung mengulangi tindakannya itu, karena menggiurkannya bisnis perburuan hewan liar ini,” tambahnya.
Sampai saat ini karena keterbatasan dana dari BKSDA membuat mereka baru bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang ancaman hukuman berburu hewan-hewan liar. Ia berharap ada peningkatan taraf ekonomi masyarakat sehingga perilaku perburuan hewan liar bisa diminimalisir.
“Sampai saat ini kami baru bisa melakukan sosialisasi tentang bahaya berburu hewan liar, sosialisasi kepada masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu Kasat Polhut BKSDS Sumbar, Zulmi Gusrul menyatakan untuk ancaman pidana berlaku sama bagi pemburu, pembeli dan pedagang sama Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.
“Undang-Undang tidak memisahkan siapa pembeli siapa pemburu dan penjual, satwa dilindungi adalah tindakan kriminal yang harus dihukum, ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal 100 juta rupiah, “ ujar Zulmi
Sementar itu Yandri dari Institution Conservation Society (ICS) Kabupaten Solok Selatan menyatakan modus yang banyak digunakan untuk menangkap hewan-hewan liar adalah dengan menggunakan jerat atau ranjau.
“Biasanya jerat ini banyak kami temukan di daerah Pesisir Selatan, Dharmasraya, kemudian Solok Selatan, kawasan Batang Hari, modusnya sama yakni dengan metode jerat atau ranjau,” ujarnya.
Biasanya pelakunya memanfaatkan keberadaan masyarakat lokal yang miskin untuk melakukan pekerjaan menjerat khususnya harimau, karena harimau menjadi buruan paling menggiurkan di Sumbar. Biasanya mereka menjual hasil buruan ke penadah di Palembang dan Batam.
Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industri dan pertambangan juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orang utan, harimau sumatera, dan gajah sumatera.
Perburuan satwa liar itu juga sering berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat satwa ini dimusnahkan.
Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar.
Lebih dari 95 % satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak.
Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas. Semakin langka satwa tersebut maka akan semakin mahal pula harganya.
“Perburuan ini sudah sangat memprihatinkan, seharusnya semua pihak yang terlibat dari pemerintah, perusahaan, LSM dan masyarakat untuk melindungi hewan-hewan ini. Karena apabila rantai makanan putus bisa terjadi bencana di dunia. Menurutnya saat ini yang harus ditingkatkan adalah penegakan hukum, karena sampai saat ini sangat susah menjerat pelaku kejahatan perburuan dan penjualan hewan-hewan liar yang dilindungi ini,” ujar Yandri. (*)
LOGIN untuk mengomentari.