>> Penerimaan pemerintah belum memadai, di saat beban utang sangat besar.
>> Jika terjadi turbulensi global dan nasional maka keuangan RI akan terguncang keras.
JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah agar mewaspadai tren pertumbuhan utang luar negeri (ULN) swasta yang cukup pesat, dan jumlahnya kini telah melampaui ULN pemerintah. Kondisi seperti itu apabila tidak dikelola dan diantisipasi secara cermat dikhawatirkan berpotensi memicu krisis ekonomi seperti yang terjadi pada krisis keuangan 1998.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik, Salamuddin Daeng, mengungkapkan ULN swasta yang terus berkejaran dengan ULN pemerintah mesti dicermati karena terjadi di tengah-tengah perlambatan ekonomi global akibat perang dagang dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang stagnan di level 5 persen.
“Krisis 1998 terjadi karena utang swasta besar, namun utang pemerintah masih kecil sehingga negara masih bisa menalangi kewajiban bayar swasta. Inilah yang melahirkan skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” papar dia, di Jakarta, Senin (17/6).
Sedangkan saat ini, lanjut Salamuddin, ULN swasta dan pemerintah sama-sama besar dan negara tidak memiliki kekuatan keuangan seperti 1998. Itu berarti, ancaman krisis yang harus diwaspadai jauh lebih besar.
“Jika terjadi turbulensi global dan nasional dalam level kecil saja maka keuangan Indonesia akan terguncang sangat keras karena pemerintah sendiri tidak memiliki kemampuan lagi untuk menalangi utang swasta dan BUMN yang menggunung,” tukas dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengumumkan ULN Indonesia naik 8,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) per akhir April 2019 menjadi 389,3 miliar dollar AS atau setara 5.533 triliun rupiah dengan menggunakan perhitungan kurs tengah pada 30 April yakni 14.215 rupiah per dollar AS.
ULN tersebut terdiri atas utang pemerintah yang ditambah dengan bank sentral sebesar 189,7 miliar dollar AS dan utang swasta termasuk BUMN sebesar 199,6 miliar dollar AS.
“ULN Indonesia secara keseluruhan tumbuh 8,7 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 7,9 persen (yoy),” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Onnny Widjanarko, Senin.
Jika melihat sektornya, kenaikan ULN April lalu lebih didominasi kenaikan utang swasta, karena ULN pemerintah tumbuh melambat yakni 3,4 persen (yoy) dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,6 persen (yoy).
Pada periode sama, ULN swasta naik 14,5 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Maret 2019 sebesar 13 persen (yoy). ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap atau air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian dengan total pangsa 75,2 persen terhadap total ULN swasta.
Penerimaan Memburuk
Menurut Salamuddin, yang harus diwaspadai saat ini adalah penerimaan pemerintah yang juga sedang buruk di saat beban bayar utang pemerintah sangat besar dan masih ditambah oleh utang swasta sangat besar.
Pendapatan pajak pemerintah, lanjut dia, jika diukur dengan kurs dollar AS, peningkatan dari 2013 saat dollar masih 9–10 ribu rupiah dan saat ini menjadi 14–15 ribu rupiah, sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan utang dalam mata uang AS itu. Begitu pula di swasta, utang valas melesat, namun pertumbuhan pendapatan stagnan, padahal banyak ULN swasta yang digunakan untuk bisnis dengan pendapatan dalam rupiah.
“Maka lesatan jumlah utang akan menghadapi tekanan berat currency, bunga, dan risiko yang selalu naik. Maka kebijakannya naikkan suku bunga. Suku bunga naikkan peringkat utang, yang memicu tambahan utang. Ini seperti lingkaran setan, padahal di sisi pendapatan stagnan,” papar Salamuddin.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Munawar Ismail, mengatakan walaupun rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) dinilai masih dalam batas aman, namun negara harus berhati-hati dengan porsi ULN swasta yang lebih besar dari utang pemerintah dan bank sentral. “Hal itu disebabkan karakteristik utang swasta, seperti jangka waktu pendek dan bunga tinggi akan turut membebani devisa dan APBN, karena mengandung unsur utang BUMN,” jelas dia.
Munawar menegaskan siapa pun yang berutang, pemerintah harus punya devisa yang memadai karena saat utang itu jatuh tempo, pembayaran utang swasta sekalipun akan berpengaruh ke cadangan devisa. YK/SB/bud/WP