Oleh: Dudy Oskandar (Jurnalis, Peminat
Sejarah Sumatera Selatan )
#Koran Pertja Selatan: Dipuji Sebagai
Koran Antikolonialisme, Dituding Pro Belanda
Inilah salah satu koran lama di Sumatra 1920-an, yang radikal, berani mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Memiliki korespoden di Eropa, Tiongkok dan Rusia. Dan laku di masyarakat luas.
Dalam buku Pers Perlawanan, Politik Wacana Antikolonialisme Pertja Selatan, Basilius Triharyanto, September – 2009 disebutkan pertama kali Pertja Selatan terbit tertanggal 1 Juli 1926 di bawah bendera N.V.
“Peroesahaan Boemipoetra” Palembang.
Pada masthead tercantum Kiagus Muhammad (KM) . Adjir sebagai direktur dan administrateur (administrasi) Kiagoes Mas’oed. Lalu sebagai redacteur (redaktur) atau penanggung jawab redaksi adalah Raden Mas Ario (R.M.A) Tjondrokoesoemo. Di tahun pertama, Pertja Selatan menyapa pembacanya seminggu 2 kali yaitu hari Senin dan Kamis. Harga eceran 15 sen dan sekali terbit 2 lembar, 4 halaman serta dicetak 1000 eksemplar.
Edisi proefnummer (nomer perkenalan) dikeluarkan pada 17 Juni 1926 yang dibagi-bagikan secara gratis kepada para Pasirah (kepala marga) – Pasirah Bond, sekolah sekolah Islam.
Pasirah Bond adalah sebuah organisasi perkumpulan Pasirah atau kepala marga di seluruh tanah adat Marga di berbagai daerah Sumatera Selatan yang meliputi Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Palembang.
RMA. Tjondrokoesoemo adalah orang pertama yang mengemudikan Pertja Selatan. Tjondrokoesomo atau yang lebih dikenal Tj.K. sebelumnya memimpin surat kabar Tjahaja Palembang [1925-1928].
Namun hanya bertahan setahun.
Pada 1926, Kiagoes Moehamad Adjir, directeur Pertja Selatan mengangkatnya sebagai hoofdredacteur (pemimpin redaksi).
Menurut KM. Adjir, Tjondrokoesoemo adalah orang yang dikenal reputasi baik dalam dunia jurnalisme, baik di Sumatra maupun di Jawa. Selain itu ia pun cukup dikenal dan dekat dengan kalangan pergerakan nasional di Sumatra Selatan.
Pada 1927 Tjondrokoesoemo terpaksa meninggalkan meja redaksi karena 2 kemungkinan. Karena usianya sudah uzur dan karena Pemerintah Hindia Belanda memblacklistnya menggerakkan pemberontakan komunis 1925-1926.
Mundurnya Tjondrokoesoemo dikabarkan dalam Pertja Selatan no. 40, 22 November 1926. Direksi mengabarkan kemundurannya karena kesehatan dan tidak diketahui sampai kapan.
Posisi redacteur langsung ditempati Mas Arga. Kehadiran Mas Arga pun juga tidak dijelaskankan. Direksi hanya menegaskan haluan Pertja Selatan tidak berubah. Kabar yang dimuat dalam “kabar direksi” itu disiarkan sedikitnya 5 kali.
Mas Arga adalah mantan korektor harian Bintang Timoer, surat kabar Batavia yang dikemudikan oleh Parada Harahap. Di tangannya,
Pertja Selatan tetap memunculkan kritik-kritik pedas terhadap pemerintah.
Arga sering menurunkan tulisan seputar gejolak pemberontakan komunis 1926/1927. Karena itu Mas Arga dikenal jurnalis radikal dan berani, sehingga ia “menggondol” dua delik, saat keluar dari redaksi (1 Mei 1927) delik yang satu sedang diparket (diproses) dan satunya masih di tangan polisi kolonial.
Tahun 1926-1927 Pertja Selatan menorehkan sejarah sekaligus berada dalam ujian berat. Pasalnya, pemerintah kolonial memberikan tekanan dan tindakan keras terhadap politikus dan surat kabar Melayu bumiputra. “Bogem hitam” itu yang menjadi alat pemukul mematikan adalah pasal 153 bis dan ter dari Buku Hukum Siksa Hindia Belanda atau Wetboek van Straftrecht (W.v.S.). Pemerintah menyebut mereka kaum “ekstremis” yang sangat garang dan brutal.
Seorang koresponden Pertja Selatan di daerah Uluan menjadi korban bogem hitam itu.
Ia terkena pasal 153 bis dan ter karena satu artikel dalam Pertja Selatan 20 Juli 1932, yang judulnya “B.B. Matjan”. M. Noer, sang koresponden itu diadukan oleh controleur(pengawas) setempat.
Tulisannya dianggap telah menyinggung perilaku seorang pejabat BB (Binnelandsch Bestuur) Muara Dua. Lalu M. Noer dihadapkan ke sidang Landraad dan dijatuhi hukuman 2 bulan penjara.
Kasus lainnya juga menimpa Paman Lengser redaktur yang menulis di rubrik “Roembah Lalap”. Paman Lengser merupakan nama samaran dari Noengtjik.
Ia beberapa kali dipanggil Dinas Intelijen Belanda (P.I.D), salah satunya dimintai keterangan perihal tulisan resensi sebuah buku berisi tentang peperangan, yang dinilai sebagai buku terlarang, “bacaan liar”. Noengtjik bergerak cukup licin. Ia hanya merasa letih karena sering diinterogasi, yang tanpa berujung di terali besi penjara.
Pada 1938 Noengtjik kembali berurusan dengan polisi kolonial. Ia telah melindungi seorang jurnalis yang tulisannya dianggap mencemarkan nama baik Tan Shio Sak, seorang reserse staatpolitie Palembang. Ia dimintai keterangan dan membuka identitas penulis kabaran bernada menghina reserse itu. Noengtjik menolaknya dan melindungi penulis tersebut, akibatnya Landraad menjatuhkan hukuman denda f. 25 (forin = gulden, rupiah Belanda).
Perkara ini bertambah panjang karena melibatkan direktur KM. Adjir dalam membongkar kedok penulis itu. Adjir menegaskan tanggungjawab redaksi ada pada Noengtjik dan menolak membuka kedok sang penulisnya.
Peristiwa ini menjadi polemik berbulan-bulan di antero jurnalis Nusantara karena baru kali pertama perkara tulisan yang menjadi tanggungan redaksi dikenakan juga oleh seorang direktur, yang bertanggung jawab memimpin dan menjalankan perusahaan penerbitan, padahal tanggungjawab redaksi sepenuhnya pada hoofdredacteur.
Tuntutan itu berakhir (1939) dengan hukuman denda f.10.
Meskipun redaksi Pertja Selatan sering dikenai hukuman, bisnis surat kabarnya mengalami kemajuan. Pada 1929 oplah surat kabar dinaikkan ke angka 2500 eksemplar. Jumlah halaman saban terbit ditambah antara 2 ½ sampai 3 lembar penuh (10-12 halaman). Saat itu sebuah firma besar Eropa terikat kontrak advertensi dengan Pertja Selatan. Belanja penerbit atau percetakan juga bertambah, dari f. 5000 menjadi sekitar f. 7500.
Pada 1939 Pertja Selatan berhasil didagblaadkan, jadi harian, setelah terbit 3 kali 1 minggu, yaitu hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Sayang dalam buku Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan , Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954 koran Pertja Selatan dikonotasikan miring.
Dalam tulisan tersebut disebut Koran Pertja Selatan di tuding di sokong oleh golongan pendukung cita-cita negara Sumatera Selatan, kemudian golongan ini yang menerbitkan harian Pertja Selatan dibawah pimpinan R. Usman Azhari dan Kiagus Mas‘ud, dengan mendapat subsidi yang tidak kecil dari pihak RVD” (Jawatan Penerangan) Belanda.
Pertja Selatan juga dituding dijadikan trompet kaum yang menamakan dirinya federalisten dalam melakukan propaganda.
Hampir seluruh penerbitan harian Pertja Selatan dilanggani oleh RVD yang kemudian menyebarkannya dengan gratis keseluruh pelosok. Namun demikian Pertja Selatan tidak dibaca orang, justru karena isinya yang penuh dengan penghinaan terhadap Pemerintah dan pemimpin perjuangan Republik Indonesia.#