Oleh: Dudy Oskandar, Jurnalis,
Peminat Sejarah Sumatera Selatan
SEBENARNYA tidaklah banyak yang dapat diuraikan tentang perkembangan pers dan jurnalistik di Sumatera Selatan ini. Karena perkembangannya sebenarnya baru saja dimulai sejak kemerdekaan ini.
Kalau kita katakan demikian, bukanlah berarti dalam masa sebelum itu, di zaman penjajahan Belanda dan Jepang, belum ada pertumbuhan ini.
Memang sejak sekitar tahun 1925 masyarakat di Sumatera Selatan dan dikota Palembang ini khususnya sudah mulai mengenal adanya koran Indonesia, yang diterbitkan oleh orang Indonesia dengan memuat kejadian sehari, kritik dan humor didalam lingkungan masyarakat disini.
Namun pandangan masyarakat yang masih tebal diliputi awan penjajahan ketika itu, sangatlah lain sekali terhadap pekerjaan persurat-kabaran ini.
Wartawannya yang di zaman itu banyak dikenal dengan nama Jurnalis” atau tukang koran dipandang masyarakat tidak lebih dari pada seorang yang pekerjannya membuat berita tentang suatu kecelakaan, pencurian, perkara-perkara pembunuhan, perkelahian, dll.
Kejadian sehari, disamping menulis tentang tetek-bengek mengorek kesalahan atau perbuatan’ orang lain dalam korannya. Kalau dipihaknya orang juga menjadi sasaran kadang menerima tulisan demikian sebagai suatu perbuatan ,,schandaal” dipihaknya pembaca lainnya tulisan ini dianggap sebagai suatu perbuatan kelucuan yang kadang menarik sekali.
Tidak heran kalau sering-sering terjadi perang pena (polemik) antara jurnalis-jurnalis atau dibeberkannya tulisan-tulisan yang bersambung tentang diri atau perbuatan seseorang lantas jumlah langganan korannya bertambah.
Selaras pula dengan mutu jurnalistik dan pandangan masyarakat terhadapnya ketika itu, tidak heran kalau sementara jurnalis atau koresponden dizaman itu disamping mencari berita, kadang-kadang juga mencari bahan’ dan bukti untuk melakukan suatu ,,chantage” (pemerasan) terhadap seseorang.
Dengan melakukan ,,chantage” ini dia akan mendapatkan sesuatu keuntungan yang diinginkanya.
Dalam ceritera pengalaman rekan tua di zaman itu ada diceritakan konon seorang jurnalis telah dapat membuktikan rahasia pribadi seorang residen Belanda. Hal ini dijadikannya suatu ”chantage”, sehingga suatu waktu residen kolonial yang biasanya garang itu terpaksa tunduk kepadanya . ………..
Sementara itu dunia persurat-kabaran sangat sempit sekali. Di Palembang hanya ada diterbitkan surat kabar harian Pertja Selatan oleh Percetakan Meru”, yang redaksinyan berturut-turut dipimpin oleh Mas Arga, Bratanata, Nungtjik Ar. dan Kgs. Mas’ud.
Disamping itu pernah diterbitkan SK Berita Pagi, tetapi tidak lama umurnya karena tidak mendapat sambutan rakyat. Masyarakat Belanda dan orang Indonesia yang berbahasa Belanda ketika itu mengenal pula adanya sebuah surat kabar Belanda bernama Palembangsch Nieuwsblad yang dicetak dan dikeluarkan oleh Drukkery K.A. Ebeling.
Pernah pula untuk waktu yang pendek dibulan Oktober 1927 diterbitkan suatu surat kabar Melaju T‘hoa bernama Bintang Sumatera” oleh Kwee Tjin Hong dan Tan Bun Kim.
Lain-lain penerbitan yang dapat dicatat terbit sebelum perang, adalah: majalah Mutiara dari percetakan Krakatau Pelita dipimpin oleh R. Achmad Azhari, ,,Suluh Marga”, dipimpin olch Arga, Suluh Peladjar“. kemudian berganti nama ,,Suluh Masjarakat”, yaitu majalah untuk murid-murid dipimpin oleh Tjik Man Ar. dan K.M. Zen Mukti.
Langkah Pemuda dipimpin oleh Hambali Usman, ,,Kedjora” dipimpin oleh Husin Mu‘in, SK Obor Rakja dibawah pimpinan Dr. A.K. Gani, Nungtjik Ar. dan A.S. Sumadi.
Kiao Paou dibawah pimpinan Lim, Tjanang dibawah pimpinan M. Jahja, Al-Balagh” kemudian berganti nama ,,Penerangan” terbit dalam masa pendudukan Belanda 1950, dibawah pimpinan Husin Muin dan K.M. Zen Mukti.
Kesukaan masyarakat dalam membaca surat kabar ketika itu hanyalah terbatas kepada mengikuti berita tentang proses sesuatu perkara di pengadilan misalnya , sentilan-sentilan atau polemik mengenai diri orang.
Disamping itu ada juga yang suka memperhatikan berita-berita pasar, ataupun berita-berita sekitar pergolakan Internasional.
Surat kabar sebagai pembawa pendapat umum, sebagai pendorong masyarakat berpikiran kritis dan sebagai bahan-bahan pendidik yang murah, belum dikenal orang. Ini tak mengherankan justru karena tingkatan kecerdasan dan pendidikan masyarakat kita pada umumnya ketika itu masih sangat rendah sekali.
Tentang Koran Pertja Selatan
Inilah salah satu koran lama di Sumatra 1920-an, yang radikal, berani mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Memiliki korespoden di Eropa, Tiongkok dan Rusia. Dan laku di masyarakat luas.
Kali pertama Pertja Selatan terbit tertanggal 1 Juli 1926 di bawah bendera N.V. “Peroesahaan Boemipoetra” Palembang.
Pada masthead tercantum Kiagus Muhammad (KM) . Adjir sebagai direktur dan administrateur (administrasi) Kiagoes Mas’oed. Lalu sebagai redacteur (redaktur) atau penanggung jawab redaksi adalah Raden Mas Ario (R.M.A) Tjondrokoesoemo.
Di tahun pertama, Pertja Selatan menyapa pembacanya seminggu 2 kali yaitu hari Senin dan Kamis. Harga eceran 15 sen dan sekali terbit 2 lembar, 4 halaman serta dicetak 1000 eksemplar.
Edisi proefnummer (nomer perkenalan) dikeluarkan pada 17 Juni 1926 yang dibagibagikan secara gratis kepada para Pasirah (kepala marga) – Pasirah Bond, sekolah sekolah Islam.
Pasirah Bond adalah sebuah organisasi perkumpulan Pasirah atau kepala marga di seluruh tanah adat Marga di berbagai daerah Sumatera Selatan yang meliputi Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Palembang.
RMA. Tjondrokoesoemo adalah orang pertama yang mengemudikan Pertja Selatan. Tjondrokoesomo atau yang lebih dikenal Tj.K. sebelumnya memimpin surat kabar Tjahaja Palembang [1925-1928].
Namun hanya bertahan setahun.
Pada 1926, Kiagoes Moehamad Adjir, directeur Pertja Selatan mengangkatnya sebagai hoofdredacteur (pemimpin redaksi).
Menurut KM. Adjir, Tjondrokoesoemo adalah orang yang dikenal reputasi baik dalam dunia jurnalisme, baik di Sumatra maupun di Jawa. Selain itu ia pun cukup dikenal dan dekat dengan kalangan pergerakan nasional di Sumatra Selatan.
Pada 1927 Tjondrokoesoemo terpaksa meninggalkan meja redaksi karena 2 kemungkinan. Karena usianya sudah uzur dan karena Pemerintah Hindia Belanda memblacklistnya menggerakkan pemberontakan komunis 1925-1926.
Mundurnya Tjondrokoesoemo dikabarkan dalam Pertja Selatan no. 40, 22 November 1926. Direksi mengabarkan kemundurannya karena kesehatan dan tidak diketahui sampai kapan.
Posisi redacteur langsung ditempati Mas Arga. Kehadiran Mas Arga pun juga tidak dijelaskankan. Direksi hanya menegaskan haluan Pertja Selatan tidak berubah. Kabar yang dimuat dalam “kabar direksi” itu disiarkan sedikitnya 5 kali.
Mas Arga adalah mantan korektor harian Bintang Timoer, surat kabar Batavia yang dikemudikan oleh Parada Harahap. Di tangannya,
Pertja Selatan tetap memunculkan kritik-kritik pedas terhadap pemerintah.
Arga sering menurunkan tulisan seputar gejolak pemberontakan komunis 1926/1927. Karena itu Mas Arga dikenal jurnalis radikal dan berani, sehingga ia “menggondol” dua delik, saat keluar dari redaksi (1 Mei 1927) delik yang satu sedang diparket (diproses) dan satunya masih di tangan polisi kolonial.
Tahun 1926-1927 Pertja Selatan menorehkan sejarah sekaligus berada dalam ujian berat. Pasalnya, pemerintah kolonial memberikan tekanan dan tindakan keras terhadap politikus dan surat kabar Melayu bumiputra. “Bogem hitam” itu yang menjadi alat pemukul mematikan adalah pasal 153 bis dan ter dari Buku Hukum Siksa Hindia Belanda atau Wetboek van Straftrecht (W.v.S.). Pemerintah menyebut mereka kaum “ekstremis” yang sangat garang dan brutal.
Seorang koresponden Pertja Selatan di daerah Uluan menjadi korban bogem hitam itu.
Ia terkena pasal 153 bis dan ter karena satu artikel dalam Pertja Selatan 20 Juli 1932, yang judulnya “B.B. Matjan”. M. Noer, sang koresponden itu diadukan oleh controleur(pengawas) setempat.
Tulisannya dianggap telah menyinggung perilaku seorang pejabat BB (Binnelandsch Bestuur) Muara Dua. Lalu M. Noer dihadapkan ke sidang Landraad dan dijatuhi hukuman 2 bulan penjara.
Kasus lainnya juga menimpa Paman Lengser redaktur yang menulis di rubrik “Roembah Lalap”. Paman Lengser merupakan nama samaran dari Noengtjik.
Ia beberapa kali dipanggil Dinas Intelijen Belanda (P.I.D), salah satunya dimintai keterangan perihal tulisan resensi sebuah buku berisi tentang peperangan, yang dinilai sebagai buku terlarang, “bacaan liar”. Noengtjik bergerak cukup licin. Ia hanya merasa letih karena sering diinterogasi, yang tanpa berujung di terali besi penjara.
Pada 1938 Noengtjik kembali berurusan dengan polisi kolonial. Ia telah melindungi seorang jurnalis yang tulisannya dianggap mencemarkan nama baik Tan Shio Sak, seorang reserse staatpolitie Palembang. Ia dimintai keterangan dan membuka identitas penulis kabaran bernada menghina reserse itu. Noengtjik menolaknya dan melindungi penulis tersebut, akibatnya Landraad menjatuhkan hukuman denda f. 25 (forin = gulden, rupiah Belanda).
Perkara ini bertambah panjang karena melibatkan direktur KM. Adjir dalam membongkar kedok penulis itu. Adjir menegaskan tanggungjawab redaksi ada pada Noengtjik dan menolak membuka kedok sang penulisnya.
Peristiwa ini menjadi polemik berbulan-bulan di antero jurnalis Nusantara karena baru kali pertama perkara tulisan yang menjadi tanggungan redaksi dikenakan juga oleh seorang direktur, yang bertanggung jawab memimpin dan menjalankan perusahaan penerbitan, padahal tanggungjawab redaksi sepenuhnya pada hoofdredacteur.
Tuntutan itu berakhir (1939) dengan hukuman denda f.10.
Meskipun redaksi Pertja Selatan sering dikenai hukuman, bisnis surat kabarnya mengalami kemajuan. Pada 1929 oplah surat kabar dinaikkan ke angka 2500 eksemplar. Jumlah halaman saban terbit ditambah antara 2 ½ sampai 3 lembar penuh (10-12 halaman). Saat itu sebuah firma besar Eropa terikat kontrak advertensi dengan Pertja Selatan. Belanja penerbit atau percetakan juga bertambah, dari f. 5000 menjadi sekitar f. 7500.
Pada 1939 Pertja Selatan berhasil didagblaadkan, jadi harian, setelah terbit 3 kali 1 minggu, yaitu hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Sumber:
- Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Selatan, Kementrian Penerangan , Siliwangi-Jakarta, Agustus 1954
- http://beritapagi.co.id/2019/05/04/koran-pertja-selatan-koran-beridiologi-anti-kolonial-dari-palembang
- Pers Perlawanan, Politik Wacana Antikolonialisme Pertja Selatan, Basilius Triharyanto, September – 2009