Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) semakin hari kian bertambah parah saja. Di samping dipicu pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dampak bertambahnya penduduk dan perkembangan ekonomi, juga akibat konflik kepentingan dan kurang terpadunya antarsektor, antarwilayah hulu-tengah-hilir. Terlebih lagi, pengelolaan sumbedaya alam pada DAS lebih diorientasikan pada upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Jelas, membutuhkan biaya tak sedikit membenahinya kembali semua itu. Bila hanya menyadarkan pada alokasi anggaran pemerintah, jelas sulit ditangani seiring sangat terbatasnya anggaran pemerintah. Nah, salah satu sumber pembiayaan yang memungkinkan adalah lewat penggunaan pembiayaan kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Atau lebih tepatnya, pengembangan pembayaran jasa lingkungan DAS (Payment for Environmental Services/ PES).
Cara ini diharapkan dapat mendorong perilaku konservatif pemilik tanah ulayat ataupun lahan pribadi dalam memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya, serta bermanfaat pula bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat penyedia jasa seiring lahan terkelola dengan baik. Lewat cara ini, juga diharapkan bisa mengatasi ketidakseimbangan dan mengurangi konflik antara masyarakat di hulu DAS yang diduga menjadi penyebab mahalnya biaya eksternalitas yang selama ini ditanggung masyarakat di hilir.
Peluang ini jelas bisa dimanfaatkan Kota Padang yang memiliki wilayah perkotaan di sepanjang pantai barat plus dilingkupi Bukit Barisan membentang dari Utara ke Selatan yang juga tempat berhulunya enam DAS besar. Yakni, DAS Timbalun, Bungus, Arau, Kuranji, Airdingin dan Kandis. Lalu, terdiri dari 23 sungai dan anak anak sungai, curah hujan lk 4.300 mm/ tahun.
Agar ketersediaan air pada keenam DAS ini terjamin stabil sepanjang tahun, maka keberadaan hutan di hulu DAS sebagai daerah tangkapan air harus tetap terpelihara. Salah satunya, senantiasa melakukan kegiatan perlindungan hutan, konservasi dan rehabilitasi hutan dan lingkungan (RHL) di hulu ke -6 DAS tersebut.
Jelas bukanlah hal mudah melaksanakan pengelolaan hutan dan DAS ini. Terutama, persoalan anggaran yang harus berkelanjutan. Makanya, perlu dicari pendanaan konservasi dan RHL dari berbagai pihak yang menggunakan jasa dalam kawasan DAS itu sendiri.
Bila pengelolaan DAS tersebut bisa dilakukan masyarakat setempat, maka sudah sewajarnya biaya pengelolaan kawasan DAS ini juga ditanggung atau dibebankan kepada pihak-pihak yang memanfaatkan jasa air dan lingkungan di kawasan DAS melalui pengembangan jasa-jasa yang disediakan DAS tersebut.
Sasaran dan manfaat kegiatan ini adalah guna mengembangkan model pembayaran jasa lingkungan dari pengguna jasa DAS kepada penyedia jasa. Di mana, hal ini dibatasi pada jasa air dan hutan guna mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan di hulu DAS yang mandiri dan berkelanjutan.
Dalam pengelolaan sumber daya air dan lingkungan, berlaku prinsip penghasil polutan harus membayar (kompensasi) kepada penerima dampak (polluter pay sufferer).
Bila pengelolaan SDA dan lingkungan ini berjalan baik, terdapat pula manfaat positif bagi ekosistemnya. Misalnya, pengelolaan sumber daya hutan yang baik akan menghasilkan perbaikan iklim mikro, penyerapan CO2, menghasilkan O2, menghambat laju erosi, sedimentasi dan mengendalikan tata air, dan sebagainya.
Ke semuanya itu, merupakan hasil dari upaya suatu pihak yang dinikmati oleh pihak lain. Intinya, berlaku prinsip penerima manfaat membayar (kompensasi) kepada penyedia manfaat (user pay/ compensate provider). Untuk mendorong upaya perbaikan dan pelestarian lingkungan, selain berupa imbauan moral, perlu juga dikembangkan instrumen insentif yang memadai.
Insentif diartiakan sebagai cara menyediakan instrumen yang mampu memberikan motivasi kepada seseorang atau kelompok untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan masyarakat luas.
Berdasarkan analisis tersebut di atas, dalam pemberian insentif pengelolaan SDA, model yang mulai banyak diterapkan adalah model Payment for Environmental Services (PES). Lewat model ini bisa mendorong perilaku konservatif di lahan pribadi ataupun tanah ulayat guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya.
Menurut Dr Nursidah, kepala BPDAS-HL Agam Kuantan (2016), menjelaskan bahwa secara umum PES diartikan sebagai cara/ mekanisme kompensasi. Di mana, penyedia jasa dibayar oleh penerima jasa. Sedangkan PES diartikan sebagai sebuah transaksi sukarela yang melibatkan paling tidak satu penjual (one seller), satu pembeli (one buyer) dan jasa lingkungan yang diartikan dengan baik. Di sini, berlaku prinsip bisnis hanya membayar bila jasa telah diterima.
Dengan demikian, konsep PES didasarkan pada prinsip kesukarelaan pemilik dan pengguna lahan untuk berperan dalam upaya konservasi dan RHL. Hal ini didasarkan pada pemberian skema kompensasi guna menghargai upaya masyarakat dalam mengelola ekosistem untuk menghasilkan jasa lingkungan yang lebih baik.
Konsep PES dapat diterapkan pada pengelolaan DAS, konservasi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon dan pelestarian keindahan bentang alam. Khusus pengelolaan DAS, PES dimaknai/ didefinisikan sebagai implementasi mekanisme pasar untuk memberi kompensasi kepada pemilik lahan di hulu DAS dalam memelihara atau mengubah penggunaan lahan yang berpengaruh pada ketersediaan dan/ atau mutu sumberdaya air di hilir DAS.
Penerapan PES untuk perlindungan DAS, dimaksudkan sebagai upaya melindungi DAS agar bisa menghasilkan air secara optimal. Terutama, terjamin kualitas dan kuantitasnya, tidak terpolusi oleh bahan bahan kimia berbahaya, dan lainnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.