in

Petuah Bang Lah

Pagi ini seorang sahabat almarhum Ayah saya, melintas di depan rumah. Kebetulan saya sedang online sembari bincang-bincang kisah lampau dengan ibunda tercinta. Lelaki itu sudah terlihat semakin rapuh. Walau demikian ia masih aktif sebagai pemanjat kelapa di kampung. Pun demikian, ia sudah mengurangi jam terbangnya.

Saya memanggilnya Bang Lah. Ia lahir ketika Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) meledak melawan Republik Indonesia. Ketika saya menanyakan nama Daud Bereueh. Ia mengaku kenal. Walau dalam ceritanya banyak yang salah, namun saya memaklumi. Ia hanya jebolan MIN di Tanoh Mirah. “Kelas tiga MIN, PKI pun meletus,” ujarnya menerangkan masa kecilnya.

Lelaki ini unik. Selain sebagai kolega almarhum Ayah, ia juga teman adik dari ibu saya. Saya mengenalnya sebagai pemanjat kelapa yang hemat kalam. Dari saya kecil sampai dewasa, ia masih setia dengan profesinya. “Ho tajak teuma. Miseu tagese ho laen, pu taneuk pubut. Ada awaknyan (pemimpin) trok jih limong thon sigo. Lheuh nyan puh soh-soh keudeh,” ujarnya serius.

Ia adalah pemanjat kelapa legend yang tersisa. Sebelumnya saya juga mengenal Lah lainnya. Namun ia sudah berpulang keharibaan Ilahi Rabbi. Profesi ini memang minim peminat. Regenerasi sangat minim. “Pilot” muda yang saya kenal adalah sahabat saya yang sudah sarjana.

Menjadi tukang panjat kelapa juga butuh keahlian khusus. Jam terbang juga sangat mempengaruhi. Resikonya juga besar. Banyak pemanjat kelapa yang terjatuh dari pohon kelapa dan kemudian meninggal dunia. Kisah-kisah pilu ini kerap meninggalkan duka mendalam. Karena profesi ini tidak pernah diakui dan tidak punya asuransi.

Kembali ke Bang Lah tadi. Pagi ini ia bercerita bahwa di Banda Aceh –ia baru pulang dari sana–ongkos panjat kelapa sudah mencapai 10.000 per batang. Sedangkan di Teupin Mane ongkosnya masih 5000 per batang. Ini dilematis menurut saya. Ia pun mengaku demikian. Tapi mau apalagi? Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Demikian kata pepatah mengatakan.

Dalam bincang singkat itu, ia sempat berkata bahwa tiada kemenangan dalam kehidupan, bila manusia bergelut dengan kebohongan. Maka ia akan didera kesusahan. Kemudian, ibadah. Sehebat apapun seorang manusia, tanpa ibadah, ia hanyalah manusia yang merugi. Dunia adalah kefanaan. Dunia adalah tipuan bagi yang lalai. Nikmat dunia ibarat kenikmatan di balik selimut di penghujung malam. Sebentar dan sementara.

Ia juga menyentil manusia eumbong. Sombong dan lupa diri. “Seringkali, ketika berada di atas angin, menjadi lupa diri dan menganggap orang lain sampah. Kenapa bisa demikian? Itu karena eumbong tadi. Hana the droe dan hana meupat meuneumat,” ujarnya.

Pada ujung pembicaraan, ia berkata “Andaikan Abu Bereueh mau mendengarkan petuah Soekarno, Aceh sudah merdeka. Tapi inilah politik. Abu mungkin tak mampu membina bangsa ini. Memang tidak mudah peutimang nanggroe.”

Mendengar kalimat itu, nyaris tawa saya meledak. Namun karena dihadapan saya adalah seorang lelaki yang bicara politik secara sangat terbatas, saya menahan diri. Ia pun mengumpulkan catatan “sejarah” itu dari cerita sepotong-sepotong, atau bahkan hanya sambi lalu semata. Bang Lah, lelaki itu masih bersahaja. Tenang dan santai. Usianya sudah senja. Satu hal yang luar biasa, ia masih tetap memanjat kelapa untuk menafkahi anak dan istri. Ia juga punya suara emas. Ia akan sangat bersemangat membaca Quran dengan gaya qari, bila berjumpa dengan seorang adik ibu saya. Mereka berdua punya kemampuan membaca Quran dengan suara yang empuk. Namun nasib mereka berbeda. []

Komentar

What do you think?

Written by virgo

IKAT Aceh Adakan Seminar Mawaris

Mobil Box Terguling di Depan Mapolsek Simpang Kiri