in

Pilpres Popular Vote Atau Electoral Collage?

Bayu Agung Perdana, S.IP, Pemerhati Pemilu Dan Demokrasi.(IST)

Pemilihan presiden (Pilpres) di Indonesia menerapkan sistem Populer Vote, dengan sistem ini calon yang berpotensi menang di pilpres adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.

Sistem ini berbeda dengan Pilpres Negara yang menjadi kiblat demokrasi dunia Amerika Serikat yang menerapkan sistem Electoral College. Pemenang pilpres Amerika ditentukan oleh elector di masing-masing daerah yang juga dipilih oleh masyarakat.

Artinya, setiap daerah di Amerika memiliki kesempatan yang sama menjadi penentu kemenangan calon presiden. Seperti contoh pada pilpres 2016, Donald Trump berselisih tiga juta suara di bawah pesaingnya, Hillary Clinton.

Namun Trump mendapatkan suara terbanyak di electoral college, sehingga Trump yang terpilih menjadi Presiden Amerika. Kalau dilihat pola yang diterapkan Amerika ini tentu cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Dalam hal ini bukan berarti kita serta merta ikut meniru sistem pemilu di negara Paman Sam tersebut secara utuh.

Tetapi, di Indonesia hendaknya perlu ada model sistem pemilihan yang juga memberikan “keadilan” yang sama kepada anak bangsa yang berasal dari luar daerah yang notabene jumlah pemilihnya banyak atau mayoritas sebagai penentu kemenangan capres dan cawapres.

Popular Vote ini lebih mengarah pada percakapan pilpres untuk calon Presidennya berasal dari daerah yang banyak penduduknya. Sedangkan daerah-daerah yang tidak menjadi penentu cenderung dilupakan.

Ini tentu tidak adil kiranya bagi daerah atau Provinsi yang jumlah pemilihnya sedikit, karena tidak terbukanya ruang pertukaran aspirasi masyarakat dengan kandidat capres. Selain itu, sistem popular vote ini hanya membuka ruang bagi kandidat capres dan cawapres di daerah-daerah yang jumlah penduduknya banyak.

Artinya, kader-kader terbaik bangsa yang datang dari daerah-daerah kecil sulit untuk masuk bursa pemilihan capres dan cawapres karena terkendala dukungan popularitas. Kepentingan-kepentingan daerah kecil di masa depan dengan sistem ini dinilai akan mempersempit kesempatan anak bangsa yang potensial untuk bisa terpilih sebagai Presiden.

Sistem pemilihan yang membuka ruang kepada figur-figur terbaik di daerah-daerah yang jumlah penduduk di kampung halamannya tidak terlalu banyak juga harus menjadi prioritas untuk dipertimbangkan dan dikaji lebih dalam kedepannya.

Dengan menjadikan setiap daerah punya kesempatan yang sama untuk mendorong kader-kader terbaik untuk bisa terpilih sebagai presiden, merupakan sebuah kemewahan yang mungkin saja di tunggu-tunggu.

Sebagai perumpamaan ada figur terbaik yang lahir di pulau Sumatera, Papua, atau NTB. Model pemilihan presiden berdasarkan popular vote tentu akan menyulitkan figur-figur ini masuk radar.

Tetapi, jika masing-masing daerah bisa memunculkan kader-kader terbaiknya dan ada sistem yang memberi peluang mereka terpilih, pastinya pesta demokrasi di Indonesia yang dilakukan lima tahun sekali akan lebih menarik.

Tentunya, sistem demokrasi kita patut diapreasisi jika kesempatan itu bisa diperoleh oleh kader-kader terbaik dari daerah kecil.(Bayu Agung Perdana, S.IP, Pemerhati Pemilu Dan Demokrasi)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Solok Siap jadi Tuan Rumah Latsitardanus LXIII

Cegah Polio Dengan Kesadaran Imunisasi