Dulu, sekitar 9 tahun silam, saya kenal dengan salah seorang kepala daerah (Kada) di daerah pemekaran. Lugas dan ramah pada semua orang adalah ciri khasnya saat itu. Bahkan, saya pernah ditugaskan khusus untuk melaporkan tentang sekolah yang berada di daerahnya seperti kandang, tak layak. Hasilnya, bantuan pun berdatangan usai liputan itu.
Beberapa hari lalu, saya pun ingin bersilaturahmi dengannya dan bertemu. Sambutannya ternyata di luar dugaan. Dingin, angkuh, sombong dan tak beretika saya nilai. Tak mencerminkan sosok pemimpin.
“10 atau 9 tahun itu semua bisa berubah. Semua bisa mengaku dekat dan kenal dengan saya, tapi saya tentu tak harus kenal dengan mereka,” cetusnya tanpa memandang saya sambil mematik rokoknya. Duh. Sombong. Tak menunggu waktu lama, saya langsung berdiri dan keluar dari ruangannya.
Bagi saya, itu tak masalah. Yang menjadi pikiran saya, kenapa bisa drastis perubahannya. Sombong seakan jabatan itu akan diembannya sampai mati. Nilai pertemanan hanya sebatas kepentingan dan aroma lainnya. Itulah faktanya.
Saya teringat kembali saat masih berkutat di bangku kuliah, di Jurusan Sosiologi Unand. Pernah belajar tentang politik. Politik hadir hanya jika ada sebuah ruang kosong yang terus terisi menurut Hannah arendt, Claude leffort pun punya penalaran yang sama. Politik meresap ke dalam kehidupan manusia karena memang dibutuhkan. Politik adalah mengenali setiap wajah yang hadir didalam dirinya, diri kita sebagai mana dalam etika Immanuel Levinas.
Politik seharusnya bebas menjadi dirinya sendiri tidak terjebak dalam skenario apa pun, tidak terhempas dalam kepentingan siapa pun. Politik tidak sekadar petarungan ideologi dan tata cara ia bisa mengubah segalanya, ia bisa mengubah nasib manusia. Politik mampu menjadi senjata perjuangan. Dan, mungkin inilah yang sedang dialaminya.
Ya, kebiasaan yang sering kita temui pasca-Pilkada adalah perombakan kabinet yang terdiri atas Sekretaris Daerah, Kepala Dinas, Kepala Bagian dan seterusnya. Perombakan komposisi jabatan menjadi momok (hantu kecil) bagi pejabat teras di daerah, sehingga kadang mereka terjebak dengan pilihan politik.
Bagi siapa pun yang akan dinilai buruk oleh atasan, maka yang dilakukannya adalah mengganti bawahan yang berbeda pilihan tersebut. Lebih-lebih jikalau ada pegawai yang sudah terjun mengkampanyekan salah satu kandidat lain, maka sanksi mutasi jabatan semakin dekat di mata. Begitu juga dengan media yang dianggap tak loyal akan kena imbasnya. Bahkan, hingga merembet ke pribadi.
Fenomena ini menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh kepala daerah pasca-otonomi daerah sehingga terciptalah raja-raja kecil yang ingin sewenang-wenang berbuat semaunya sesuai kepentingan politik yang dia inginkan.
Bagi yang berseberangan pilihan politik maka mereka hanya sapu dada ketika “dibuang” ditempat tertentu sesuai kemauan raja-raja di daerah, proses mutasi pegawai terkesan hanya menjadi akal-akalan untuk mengganjal karir pegawai yang berbeda haluan, sedangkan pegawai yang telah menunjukkan dirinya sebagai pengikut setia maka bersiap-siaplah di tempatkan pada jabatan yang empuk dan terhormat.
Inilah yang dinamakan politik balas dendam yaitu politik yang dipakai oleh kepala daerah atau pimpinan organisasi untuk menjatuhkan bawahan yang berbeda pilihan/pendapat demi kelancaran tugas/misi organisasi.
Dalam peta kekuatan politik pemerintahan, birokrasi merupakan mesin politik yang efektif menggalang massa demi mengamankan dan mempertahankan status quo atau merebut kekuasaan tersebut.
Banyaknya kebijakan kepala daerah yang mengecewakan para pegawai dan kelompok masyarakat berakibat terciptanya “kelompok barisan sakit hati” yaitu sekumpulan pegawai/kelompok masyarakat yang kecewa dengan kebijakan kepala daerah yang tidak sesuai keinginan mereka atau mekanisme yang benar.
Barisan ini tentu tidaklah sehat dalam dunia birokrasi tetapi penguasa itu sendirilah yang menaruh racun (patologi) birokrasi di dalam tubuhnya. Orang-orang yang tergabung dalam barisan ini yang akan menaruh dendam pula ketika pemilihan kepala daerah 5 tahun ke depannya.
Seharusnya politik balas dendam itu tidak dimiliki oleh manusia yang beradab karena sifat dendam hanya dimiliki oleh setan/iblis yang dendam/iri dengan manusia dan sampai sekarang dendam tersebut bersemayam dalam jiwa-jiwa manusia yang lemah.
Tentu kita sebagai manusia beriman, tidak pantas mengikuti kebiasaan perilaku saling dendam, karena kita terlahir dengan fitrah (suci) tanpa dendam, semoga kita ditunjukan jalan yang lurus. Amin..! (*)
LOGIN untuk mengomentari.