in

Potensi Gejolak Sosial Kecil selama dan sesudah Sidang MK

Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tamagola, soal Potensi Gejolak Sosial Pascasidang Mahkamah Konstitusi

Proses penyelenggaraan Pemilu 2019 saat ini tengah dalam tahap persidangan gugatan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati demikian, polarisasi yang terjadi di masyarakat akibat dari Pilpres 2019 belum mereda.

Bahkan, temuan yang terdapat dalam survei nasional yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), kepuasan dan kepercayaan terhadap demokrasi Indonesia turun pascakerusuhan 21–22 Mei 2019. Kerusuhan usai pengumuman pemenang Pemilu 2019 tersebut dinilai akan terulang setelah keputusan sidang MK jika salah satu peserta pemilu tidak puas terhadap hasilnya.

Untuk mengupas hal tersebut, Koran Jakarta mewawancarai Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Thamrin Amal Tamagola, di Jakarta, Minggu (16/6). Berikut hasil pem­bahasannya.

Pendapat Anda soal polarisasi masyarakat yang masih terjadi saat ini?

Polarisasi masyarakat itu meluas karena terseret oleh polarisasi elite politik. Nah, kalau elite politiknya itu sekarang mulai sadar dan menganjurkan hal-hal yang baik, saya kira dapat membuat sejuk dan mudah-mudahan suhu politik yang sempat panas itu makin lama makin membaik. Saya apresiasi ucapan Prabowo yang mengimbau pendukungnya untuk tidak melaku­kan aksi massa saat sidang MK dan menganjurkan supaya menerima keputusan MK apa pun itu demi ke­damaian bangsa dan negara.

Tapi, apakah masih ada potensi gejolak sosial pascasidang MK?

Saya kira potensinya makin kecil, sesudah imbauan dari Prabowo itu. Selain itu, kelihatan pihak 02, mereka tidak punya bukti yang cukup terkait kekuatan hukum di MK, dan saya rasa mereka sadar dan menerima apa pun keputusan MK. Namun, menurut saya, tergantung polisi bagaimana bisa mengin­trogasi dalang kerusuhan 21–22 Mei 2019. Bagaimana poli­si bisa meng­gulung kalau ada komplotan di belakang­nya, sehingga akan dingin potensinya. Rakyat juga semakin lama semakin lelah dengan situasi politik semacam ini.

Namun, kemarin masih ada beberapa aksi massa?

Iya, mereka itu kelompok yang memiliki kepentingan karena mera­sa dirugikan ketika Jokowi berkuasa. Seperti HTI, Pan Islamisme, FPI, serta jenderal-jenderal purnawirawan Orde Baru yang pro-Cendana. Mereka kan paling kehilangan ketika Jokowi naik jadi presiden. Oleh karena itu, mereka tidak puas, terutama juga pensiunan jenderal-jenderal yang dulu besar pada masa Orde Baru, sehingga merapat ke 02.

Bagaimana dengan narasi tim hukum 02 yang mendelegitimasi hasil pemilu dan integritas MK?

Kalau ada yang bisa meng-coun­ter, dengan menjelaskan secara proporsional mengenai fungsi dan kedudukan MK, lama-lama orang akan masuk akal. Menu­rut saya, saat ini fenomena sosial yang terjadi di masyarakat adalah persaingan informasi antara orang yang mencoba untuk mencerahkan rakyat dengan orang yang mau mempengaruhi pikiran rakyat.

Secara sosiologis, apakah ma­sih bisa berdampak ke masyara­kat narasi tersebut?

Masih bisa terjadi, kalau pihak-pihak pilar Orde Baru bertemu dengan gerakan Pan Islamisme, kemudian ketemu dengan ke­nyataan bahwa masih banyak umat Islam yang miskin dan terdepak dari politik. Lalu dari kenyataan tersebut, pihak oportunis politik mengeksploitasi sehingga terjadi gejolak sosial di masyarakat.

Lalu, rekonsiliasi apa yang dibutuhkan untuk mengurangi polarisasi ini?

Rekonsiliasi substantif, yaitu kita harus tahu akar masalahnya, sub­stansinya harus kita tahu. Sebagai contoh, menurut data KPK, tingkat korupsi di Aceh dan Sumatera Barat masih tinggi, dan itu harus diper­hatikan pemerintah. Kesejahteraan rakyat tidak bisa terjadi jika pemer­intahan korup. Kemudian, program KH Ma’ruf Amin soal ekonomi keumatan, program Jokowi soal kartu-kartu pendidikan dan kesehatan diseriusi pada periode keduanya, itu yang harus diselesaikan pemerintah. trisno juliantoro/AR-3

What do you think?

Written by Julliana Elora

IWO Kebut Pembetonan Jalan Panti Asuhan Aisyiyah

Gubernur Anies Keluarkan Aturan Gaji Tambahan Baginya & Wagub