Di Sabang Jangan Pernah Sakit Keras
Setelah 72 tahun Indonesia merdeka, bagaimanakah potret “teras depan” negeri ini? Mulai hari ini (16/8) sampai 19 Agustus mendatang, koran ini menurunkan laporan berseri langsung dari titik-titik terluar negeri ini. Dimulai dari tapal batas di sebelah barat: Sabang. Pekerjaan Zarkasyi sejatinya nelayan. Tapi, kalau dia terbiasa siaga 24 jam, itu bukan karena setiap saat pria 58 tahun tersebut harus turun ke laut berburu ikan.
Melainkan karena setiap saat perahunya yang ditambatkan persis di belakang rumah panggungnya mesti jadi semacam ambulans. Membawa pasien sakit parah dari Sabang, Pulau Weh, tempatnya bermukim, ke Banda Aceh, ibu kota Aceh. Dari belakang rumah, Zarkasyi langsung menuju Banda Aceh memutari 0 (Nol) Kilometer. Itu pun kalau cuaca memungkinkan. Jika angin kencang dan ombak besar, warga Gampoeng (Kampung atau Desa) Iboih, Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya, itu terpaksa menolak mengantarkan karena terlalu berbahaya. “Sulit, tapi ya itu. Pulang belum tentu selamat,” ucapnya.
Itulah salah satu ironi besar di Sabang, kota paling barat di Indonesia. Pemandangannya menawan. Di daratan maupun di bawah laut. Potensi pariwisatanya besar. Begitu pula daya tarik ekonominya karena berada di jalur lalu lintas laut internasional. Tapi, fasilitas kesehatan dan harga kebutuhan pokok tak seindah panorama dan potensinya. Di atas perahunya, Zarkasyi mengenang bagaimana beberapa kali sesampai di tujuan, pasien keburu meninggal dunia. Malah ada yang meregang nyawa saat masih dalam perjalanan.
Pulau paling barat Indonesia sejatinya Pulau Rondo. Tapi, Rondo tak berpenghuni. Hanya ada pos keamanan di sana. Jadi, 0 kilometer Indonesia pun dihitung dari Sabang. Itulah pintu gerbang negeri ini di sebelah barat. Nama kota tersebut juga diabadikan dalam salah satu lagu nasional.
Tapi, setelah 72 tahun Indonesia merdeka, salah satu kebutuhan paling mendasar di sektor kesehatan pun masih banyak kekurangan. Sabang memang sudah memiliki RSUD, puskesmas dengan layanan rawat inap, dan puskesdes. Tapi, layanan kesehatan tersebut hanya menerima perawatan sakit ringan yang tidak perlu alat khusus. Kalaupun opname, hanya karena butuh istirahat atau pengawasan dokter.
Tapi, jika sakit parah, satu-satunya rujukan adalah rumah sakit di Banda Aceh. Dan kepada orang-orang seperti Zarkasyi-lah mereka bisa berharap. Dengan bayaran “sukarela”, tapi di kisaran Rp 4–5 juta.
Direktur RSUD Sabang dr Masri Ramlan tidak menampik tentang keterbatasan pelayanan kesehatan di wilayahnya bekerja. Menurut dia, rujukan ke Banda Aceh dilakukan ketika fasilitas di Sabang tidak ada. “Misalnya CT scan, di sini tidak ada. Kalau ada pasien cedera batok kepala, harus dirujuk,” katanya.
Saat ini baru ada 12 dokter spesialis di RSUD Sabang. Antara lain spesialis penyakit dalam (2 orang), spesialis kandungan (2), spesialis anak (2), spesialis bedah (2), spesialis jantung (1), dan spesialis akupunktur (1).
Ada juga spesialis mata dan kulit masing-masing satu orang yang baru masuk per 1 Agustus 2017. Hanya, mereka belum bisa bekerja karena peralatan belum ada. Mereka baru bisa bekerja tahun depan setelah pemerintah kota melakukan pengadaan peralatan melalui APBD.
Di Sabang juga tidak ada ahli anestesi. RSUD tipe C itu hanya memiliki penata anestesi. Dulu seorang perawat, tapi bersekolah lagi. Meski tidak memiliki ahli bius, RSUD Sabang tetap melayani operasi. Sepanjang penata anestesi tersebut menilai memungkinkan. “Kalau dia tidak mau bertanggung jawab, dirujuk,” ucapnya.
Bukan hanya itu, RSUD juga terkadang kehabisan stok obat-obatan. Tapi, pihak rumah sakit tidak bisa langsung membeli karena harus melewati prosedur pengadaan obat. Satu-satunya solusi, pasien diberi resep dan diminta mencari sendiri. “Pernah kehabisan infus. Caranya, kami pinjam ke dinas kesehatan, kalau kami sudah ada, dikembalikan,” imbuh Masri.
Seperti umumnya warga di kawasan perbatasan negara, transportasi masih menjadi kendala besar di Sabang. Jalur udara dari Medan memang ada, empat kali dalam seminggu. Tapi, akses melalui laut masih jadi andalan.
Dari Banda Aceh, ada juga kapal ekspres yang biasanya dinaiki pejabat atau wisatawan. Tapi, untuk angkutan barang dan penumpang kelas ekonomi, hanya ada satu kapal, yaitu KMP BRR. Nama populernya kapal lambat.
KMP BRR yang berkapasitas 350 penumpang itu menjadi tulang punggung utama transportasi ekonomi Sabang. Semua kebutuhan masyarakat didistribusikan dengan menggunakan satu-satunya kapal tersebut. Mulai daging, sayur, beras, gula, elpiji, sampai bahan bangunan. Bahkan, warga yang sakit—jika dirujuk ke rumah sakit di Banda Aceh—harus menunggu jadwal kapal.
Sebenarnya pernah ada dua kapal lain: KMP Gurita dan KMP Tanjung Burang. Tapi, KMP Gurita tenggelam pada 19 Januari 1996 setelah beberapa jam keluar dok untuk menjalani perbaikan. Kapal itu mengangkut ratusan pemudik yang rata-rata mahasiswa asal Sabang yang berkuliah di Banda Aceh.
Ada juga KMP Tanjung Burang yang telah ada sejak Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Saat ini kapal tersebut sering sakit-sakitan karena termakan usia. Tapi sesekali masih berlayar.
Nah, sejak 2010 ada KMP BRR yang merupakan bantuan untuk korban tsunami. Itulah satu-satunya kapal barang dan penumpang yang menjadi pahlawan masyarakat Sabang. Semua kebutuhan warga Sabang bergantung pada KMP BRR.
Zulkarnain, warga Gampoeng Kuta Ateuh, Sabang, mengenang bagaimana Idul Fitri tahun ini menjadi Lebaran yang paling tidak dirindukan. Sebab, seminggu sebelum hari raya umat muslim tersebut, KMP BRR harus istirahat karena perbaikan tahunan.
Sebagai gantinya, KMP Tanjung Burang yang sedang istirahat karena sakit akhirnya dipaksa berjalan. Tapi, sakitnya tambah parah. Hanya beberapa hari dipakai, KMP Tanjung Burang tidak bisa lagi digunakan.
Akibatnya, banyak pemudik yang kesulitan kembali ke Sabang. Sebagai ganti sementara, PT Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) hanya menyediakan KMP Papuyu dan kapal ekspres. Persoalannya, kapal Papuyu hanya mampu mengangkut empat mobil. “Ratusan kendaraan tertahan di Banda Aceh. Tidak bisa kemari,” kata Zulkarnain.
Bukan hanya penumpang, distribusi logistik pun sangat terganggu. Ketika permintaan kebutuhan pokok melonjak karena momen Lebaran, stok di Sabang sangat menipis. Akibatnya, harga kebutuhan pokok meroket hingga tiga kali lipat. Sebab, truk pengangkut bahan makanan tertahan di pelabuhan. Banyak sayur dan buah yang akhirnya membusuk sebelum naik kapal.
Hingga kini belum ada gambaran bagaimana kondisi transportasi andalan warga Sabang itu bakal bisa lebih baik. Padahal, dampaknya sangat luas. Terutama pelayanan kegawatdaruratan dan harga kebutuhan pokok.
Murniati, warga Juroung Tanoh Buju, Gampoeng Cot Ba’u, Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya, misalnya, pernah mengalami sendiri benturan antara kegawatdaruratan kondisi kesehatan dan keterbatasan fasilitas transportasi itu. Dia terkena kanker payudara dan harus segera dioperasi. Perempuan 43 tahun itu pun dilarikan ke RSUD Sabang.
Tapi, sesampai di sana, dokter spesialis yang bisa menangani operasi sedang berada di Medan. Ibu dua anak itu pun tidak punya pilihan selain menyeberang ke Banda Aceh. “Untung masih ada kapal ekspres. Bisa lebih cepat sampai,” ujarnya.
Memang, dengan kapal ekspres, Sabang ke Banda Aceh bisa ditempuh dalam waktu 45 menit. Tiketnya Rp 80 ribu per orang. Jika menggunakan KMP BRR, dibutuhkan waktu hingga 1,5 jam. Waktu tempuh bisa lebih lama jika ombak tinggi. Namun, tarifnya jauh lebih murah. Hanya Rp 27 ribu.
Terbatasnya sarana transportasi juga sangat berdampak pada harga dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Kalaupun ada, harganya berlipat-lipat. Bahkan, pada hari normal pun harganya melambung.
Sabang tidak menghasilkan bahan makanan yang berasal dari tanah. Sawah tidak ada, petani apalagi. Beras didatangkan dari luar Sabang. Petani sayur ada, tapi sangat sedikit. Hasilnya hanya cukup untuk konsumsi si penanam. Buah hasil Sabang pun hanya ada salak. Kalau ditemukan jeruk, pasti didatangkan dari luar Pulau Weh.
Jangan tanya harga. Sebab, di Sabang harga bergantung cuaca. Ketika cuaca baik saja, harga sudah lebih mahal. Apalagi jika cuaca tidak mendukung pelayaran. Bisa lebih mahal lagi. Beras misalnya. Harga satu sak beras dengan berat 15 kilogram (kg) mencapai Rp 175 ribu. Kalau pas sedang langka, harga naik.
Begitu pun daging ayam. Jika ayam kampung, harganya Rp 150 ribu per ekor. Sedangkan ayam pedaging Rp 45 ribu per kg. Tapi, belinya harus per ekor.
Untuk daging sapi, saat normal harganya sampai Rp 160 ribu per kg. Pada momen tertentu bisa tembus Rp 170 ribu. Sabang pernah pesta gula. Harganya Rp 8 ribu per kg. Tapi, itu dulu. Ketika banyak kapal dari Thailand mampir ke Pelabuhan Sabang.
Pelabuhan Sabang sebenarnya menganut perdagangan bebas. Artinya, bebas masuk tanpa pajak. Karena itulah, banyak kapal yang bersandar. Apalagi, Sabang berada di lintasan jalur laut internasional. Tapi, kapal-kapal itu kini jarang datang. Warga hanya mendengar ketika ada kapal datang membawa bahan makanan atau apa pun ditangkap. Mereka pun takut dan rugi kalau mampir ke Sabang. (*)
LOGIN untuk mengomentari.