JAKARTA – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak sepenuhnya membatasi seluruh kegiatan masyarakat, namun hanya aktivitas tertentu saja di wilayah terduga terinfeksi Covid-19. Tapi, saat PSBB diberlakukan, warga mesti melakukan pembatasan proses bekerja, belajar, atau kegiatan keagamaan dan menggantinya dengan kegiatan di rumah atau tempat tinggal.
“Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk di dalam suatu wilayah yang diduga ada infeksi Covid-19 guna mencegah kemungkinan penyebaran. Masyarakat juga masih dapat laksanakan kegiatan sehari-hari, namun kegiatan tertentu dibatasi,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Oscar Primadi, dalam jumpa pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB di Jakarta, Minggu (5/4).
Aturan pelaksanaan PSBB tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Selain itu, aturan mengenai PSBB juga diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. PP dan Keppres tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020. Dalam PP dan Keppres itu diatur mengenai strategi pemerintah dalam menangani penyebaran virus Covid-19 di Indonesia.
Diketahui, per Minggu, 5 April 2020, pasien positif Covid-19 di Indonesia mencapai 2.273 orang, 198 pasien Covid-19 meninggal dunia, dan 164 pasien dinyatakan sembuh. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah pasien baru Covid-19 terbanyak. Ibu Kota mengalami penambahan sebanyak 96 kasus baru dalam 24 jam terakhir.
Oscar memaparkan jenis kegiatan masyarakat yang secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB sebagai Percepatan Penanganan Covid-19.
“Kegiatan pembatasan meliputi meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus aspek pertahanan keamanan,” kata dia.
Oscar mengatakan PSBB berbeda dengan karantina, namun bersifat lebih ketat daripada imbauan jaga jarak fisik (physical distancing).
“PSBB kita harapkan lebih ketat daripada social distancing. Sifatnya bukan imbauan, tapi penguatan pengaturan kegiatan penduduk dan penegakan hukum, tentunya dengan instansi berwenang sesuai UU yang berlaku,” kata dia.
Kriteria PSBB
Lebih lanjut, ia berharap pelaksanaan PSBB dapat memutus rantai penularan dari hulunya. “Pelaksanaan ini tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga masyarakat agar bisa terlaksana dengan baik,” katanya.
Pada kesempatan itu, Oscar menjelaskan ada sejumlah kriteria untuk menentukan PSBB di suatu wilayah. “Mekanismenya adalah, pertama, dilihat dari jumlah kasus positif dan kematian yang menyebar dan cepat, lalu keterkaitan epidemiologi yang serupa dengan wilayah atau negara terdampak lain,” katanya.
Lebih lanjut, kriteria wilayah dapat ditentukan dari permohonan kepala daerah dan gugus tugas untuk menetapkan suatu wilayah untuk diberlakukan PSBB. “Kedua, PSBB ditetapkan Menkes (Menteri Kesehatan) dengan permohonan dari gubernur, bupati, atau wali kota maupun gugus tugas untuk menetapkan PSBB di wilayah tertentu,” papar Oscar.
Permohonan tersebut, lanjut dia, harus disertai sejumlah data, seperti bukti peningkatan dan penyebaran berdasarkan waktu, kejadian transmisi lokal, dan informasi kesiapan daerah.
Anggota Komisi IX bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan DPR, Dewi Aryani, meminta kepala daerah cermat sebelum mengajukan permohonan PSBB kepada Menteri Kesehatan, terutama ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat setempat.
“Jangan sampai ketika Menkes menetapkan PSBB di suatu wilayah, daerah belum siap mengenai anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial,” kata Dewi. Ant/ang/fdl/AR-2