Divonis 2 Tahun, Ahok Langsung Ditahan, Djarot jadi Plt Gubernur DKI
Vonis hakim dua tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok karena diduga menista agama, membuka tabir kejanggalan kinerja Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin Ali Mukartono. Tuntutan JPU yang begitu rendah membuat majelis hakim yang dipimpin Dwiarso Budi membuat ultra petitum atau vonis yang melebihi tuntutan.
Sidang dengan terdakwa Ahok dimulai pukul 09.10. Saat itu, hakim langsung membacakan putusannya. Putusan tersebut berjumlah 630 halaman.
Hakim Dwiarso Budi menuturkan, menimbang tuntutan JPU dengan tuntutan satu tahun penjara dan masa percobaan dua tahun. Serta, permohonan kuasa hukum untuk memutuskan terdakwa tidak bersalah. ”Setelah menimbang semua, amar keberatan Ahok dan kuasa hukum ditolak,” jelasnya.
Selanjutnya, para hakim secara bergiliran membacakan putusannya. Salah seorang hakim menyebutkan, dalam Pasal 156 A terdapat tiga unsur, yakni barang siapa, dengan sengaja dan melakukan di muka umum menyatakan kebencian yang melecehkan, merendahkan dan menghina agama.
“Maka, dalam putusan ini akan dijelaskan apakah tiga unsur ini terbukti,” ujarnya.
Hakim lainnya, menyebutkan bahwa unsur pertama barang siapa telah terpenuhi. Yang menjadi subyek hukum adalah Basuki Tjahaja Purnama yang berpidato di Kepulauan Seribu. “Sudah cocok,” ungkapnya.
Untuk unsur kedua disebutkan bahwa baru akan dijelaskan, setelah unsur ketiga terpenuhi. Untuk unsur ketiga berupa frase di muka umum menyatakan kebencian, diketahui Ahok berpidato dalam acara panen ikan kerapu di depan masyarakat. Lalu, para pelapor juga mengetahui adanya pernyataan Ahok dari berbagai media sosial, baik Facebook, Whatsapp dan jamaahnya.
“Saat berpidato itu, Ahok mengungkapkan soal Al Maidah 51 yang merupakan bagian dari ayat suci Al Quran. Memang dalam Islam terdapat perbedaan penafsiran terhadap kata Auliya, bisa pemimpin, wali teman setia dan pelindung ,” terangnya.
Namun, perbedaan penafsiran itu tidak bisa membuat seseorang merasa paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Bahkan, malah menganggap pendapat yang lainnya bohong. “Surat Al Maidah digabungkan dengan kata bohong itu negatif,” paparnya.
Dengan begitu, pengadilan meyakini Ahok telah menghina Al Maidah 51. Al Maidah 51 merupakan bagian dari kitab suci Al Quran, maka melecehkan Al Maidah 51 sama artinya dengan melecehkan Al Quran. “Kitab suci harus dihargai siapapun, umat Islam dan juga Ahok sebagai terdakwa. Dengan begitu unsur ketiga terpenuhi ,” tuturnya.
Lalu, Hakim Ketua Dwiarso melanjutkan pembacaan putusannya. Dia mengatakan, unsur kedua dengan sengaja ditimbang dari perkataan Ahok. Walau sempat oleh Ahok disebut tidak sengaja. Namun, ternyata terdapat beberapa video di tempat lain yang membahas Al Maidah 51.
“Lalu, alasan mengungkapkan soal Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu karena adanya ibu-ibu yang diam saja dan diasumsikan terdakwa karena Al Maidah 51, seperti saat di Pilkada Belitung. Ibu itu bisa saja diam karena alasan lainnya yang tidak diketahui. Ahok hanya berasumsi,” jelasnya.
Karena membuktikan sengaja itu persoalan hati, maka akan dipertimbangkan tentang kondisi dari Ahok. Dia mengatakan, Ahok merupakan pejabat negara yang seharusnya memahami bahwa membicarakan agama orang lain merupakan hal yang sensitif.
Maka, seharusnya bisa menghindari menggunakan kata-kata yang bernada negatif, menghina dan melecehkan. “Namun, sayangnya kata bohong itu malah diulangi,” ujarnya.
Menimbang pernyataan kuasa hukum yang menyebut bahwa adanya desakan politis yang yang begitu besar terkait kasus ini, namun nyatanya semua yang melaporkan merupakan tokoh-tokoh agama. “Tidak ada anggota partai, politisi dan sebagainya yang melaporkan kasus ini,” urainya.
Dwiarso menyebut bahwa pernyataan Ahok juga menimbulkan keresahan dalam masyarakat penganut agama Islam. Bahkan, hingga mengganggu kerukuan hidup. Karena itu, dakwaan alternatif JPU dianggap tidak tepat. Pasal 156 A bisa digunakan dalam vonis ini.
“Dengan begitu, majelis hakim memutuskan Ahok bersalah dan dihukum dua tahun penjara dan memerintahkan untuk penahanan terhadap Ahok,” terang Dwiarso.
Hakim Ketua lalu meminta tanggapan dari Ahok. Setelah berbincang-bincang meminta konsultasi dengan pada kuasa hukum, Ahok langsung memutuskan untuk banding. “Saya banding yang mulia,” ujarnya.
Salah satu pelapor, sekaligus Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman menuturkan, apa yang dilakukan majelis hakim itu progresif. Hakim dengan vonis itu melakukan ultra petitum atau putusan melebihi tuntutan. “Melampaui jaksa penuntut umum,” jelasnya.
Dia menuturkan, vonis ini merupakan tamparan bagi JPU dan Kejaksaan Agung. Institusi Kejaksaan Agung itu besar, kasus ini bertingkat dari JPU pasti diketahui Jaksa Agung. “Dengan hakim mementahkan tuntutannya, maka dengan ini Jaksa Agung harus dicopot,” tegasnya ditemui pasca persidangan.
Sementara Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menuturkan, kinerja JPU itu sangat tidak otonom. Karena tuntutannya diduga merupakan putusan yang diambil oleh atasannya. “Tidak mustahil ini terkait intervensi politik,” ujarnya.
Dengan putusan hakim tersebut, kata dia, menunjukkan sikap jaksa yang tidak logis. Apalagi, jaksa justru menyatakan pikir-pikir atas vonis tersebut. Bukannya, menyatakan langsung menerima mengingat vonisnya lebih dari tuntutannya. “Sebagai wakil publik harusnya jaksa mewakili kepentingan umum,” tuturnya.
Bagian lain, Ketua JPU Kasus Ahok Ali Mukartono mengatakan, pihaknya menghormati putusan hakim. Memang vonis itu bisa dilakukan karena Pasal 156 A terdapat surat dakwaan. “Kami masih diskusikan bagaimana untuk menyikapi ini,” ujarnya.
Saat ditanya terkait adanya intervensi sehingga tuntutan yang begitu rendah dan berbeda dari vonis? Ali mengaku tidak ada tekanan dalam melakukan tuntutan. “Tidak ada itu, saya tidak tahu,” paparnya.
Namun begitu, dia mengatakan bahwa kemungkinan perbedaan vonis dengan tuntutan itu terjadi karena perbedaan pendapat. “Kami bekerja sesuai prosedur, ini hanya perbedaan pendapat saja antara JPU dan hakim,” terangnya singkat dan berjalan masuk ke mobilnya.
Kuasa hukum Ahok, Rolas Sitinjak menuturkan, vonis hakim ini sangat mengabaikan adanya tekanan yang begitu luar biasa pada kasus ini. “Ada tekanan yang mendesak Ahok untuk dihukum, ya karena itu kami banding,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga meminta penangguhan penahanan terhadap Ahok. “Inikan belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah, seharusnya tidak perlu ditahan,” jelasnya usai persidangan.
Kuasa hukum Ahok lainnya, Tommy Sitohang mengatakan bahwa hakim menilai Ahok jujur, kooperatif dan sopan, tapi malah tetap melakukan penahanan. “Ini bagaimana dikatakan jujur, sopan, kooperatif tapi ditahan,” terangnya.
Hormati Proses Hukum
Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla mewakili pemerintah mengungkapkan simpatinya atas vonis dua tahun penjara terpidana Ahok. Sebab, bagaimanapun Ahok sebagai gubernur adalah wakil pemerintah pusat di DKI Jakarta. “Ahok itu Gubenur DKI (Jakarta) wakil pusat di daerah,” ujar JK di kantor Wakil Presiden, kemarin (9/5).
Dia menuturkan meskipun sudah divonis dua tahun penjara, tapi Ahok masih punya hak untuk menempuh langkah hukum lanjutan. Misalnya banding ke pengadilan tinggi.
Namun, lebih dari itu semua orang sudah sepakat untuk menerima hasil putusan hakim atas Ahok. Sehingga, diharapkan tidak ada gejolak lagi di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada demo-demo dalam skala besar lagi.
Termasuk peserta demo yang dimotori Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) pada Jumat (5/5) di Mahkamah Agung. Mereka juga sudah sepakat untuk menerima apapun putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
“Semua sudah sepakat dengan siapa saja bahwa apapun keputusan pengadilan akan diterima. Jadi tidak akan tergantung apa puas atau tidak puas karena sudah menyatakan terbuka bahwa (putusan) Ahok akan diterima,” imbuh JK.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat tenang dalam menyikapi putusan atas kasus Ahok. “Saya minta semua pihak menghormati proses hukum yang ada, serta putusan yang telah dibacakan oleh majelis hakim,” ujarnya di sela kunjungan ke Papua, kemarin.
Dalam hal ini, dia juga meminta masyarakat menghormati langkah banding yang diambil Ahok. Pemerintah, lanjut Jokowi, juga menghormati proses hukum dan membiarkannya berjalan sesuai mekanisme berlaku. “Dan sekali lagi, pemerintah tidak bisa mengintervensi proses hukum yang ada,” lanjut mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Djarot jadi Plt Gubernur DKI
Hanya dalam hitungan jam setelah vonis terhadap Ahok, Mendagri Tjahjo Kumolo menyambangi Balai Kota sekitar pukul 16.35, guna menyampaikan surat keputusan (SK) penetapan Djarot Saiful Hidajat menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta.
Selain Tjahjo, ada beberapa pejabat yang menghadiri penyerahan SK tersebut. Di antaranya, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi dan Sekda DKI Saefullah.
Menurutnya, kekosongan pemerintahan tidak boleh ada. Artinya, harus ada yang menggantikan posisi Basuki dalam memimpin ibukota. Nah, berhubung tidak ada SK wakil gubernur, mau tidak mau, Djarot harus mau menjadi Plt.
Tjahjo menjelaskan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2015 Pasal 65 Ayat 3 ditegaskan, kepala daerah yang sedang mengalami masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Makanya, Basuki diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai gubernur. Meskipun ada upaya hukum dari Basuki, Kemendagri tetap melaksanakan pemberhentian sementara itu.
“Kalau ditanya sampai kapan wagub jadi Plt? Kan ada upaya hukum? Jawabnya sampai ada keputusan tetap banding ataupun hingga masa jabatan gubernur dan wakil gubernur defenitif berakhir pada Oktober 2017,” terang Tjahjo. (*)
LOGIN untuk mengomentari.