in

QE Sulit Menahan Kejatuhan Harga Properti

HONG KONG – Pasar pro­perti Hong Kong diperkirakan tidak mengulang lagi lonjakan harga properti 278 persen yang terjadi dalam 12 tahun terakhir. Hal itu disebabkan ekonomi se­dang berkontraksi, penganggur­an meningkat, dan ketegangan politik yang semakin panas yang bakal mencairkan gelombang baru pelonggaran kuantitatif (quantitative easing, QE).

Menurut para pengamat, re­kor enam triliun dollar AS yang akan digelontorkan oleh bank sentral di seluruh dunia tahun ini hanya sedikit memban­tu mengangkat harga properti perkotaan, yang telah turun 5,4 persen sejak puncaknya pada Mei lalu. Mereka menambah­kan indikasi bank sentral Ame­rika Serikat (AS) Federal Reserve yang akan menjaga tingkat suku bunga nol persen hingga 2022, sedikit mendukung pasar pro­perti di Hong Kong.

“Perkiraan ekonomi mele­mah berkepanjangan, ketim­bang pemulihan kurva berben­tuk V terlihat di cukup banyak ekonomi regional selama krisis keuangan global,” kata Kepa­la Penelitian Asia-Pasifik dari Nuveen Real Estate, Harry Tan, yang mengelola portofolio 131 miliar dollar AS. “Sebagian be­sar ekonomi regional diper­kirakan mengalami kontraksi dengan laju paling tajam dalam beberapa dekade,” katanya.

Prospek yang lemah menim­bulkan bahaya potensial bagi pembeli rumah. Dalam bebera­pa pekan terakhir, beberapa di antaranya telah tertarik dengan diskon yang ditawarkan pe­ngembang untuk meraih pasar. Menurut data Otoritas Mone­ter Hong Kong (HKMA), hal itu karena nilai properti yang jatuh lebih cepat daripada hipotek, sehingga peminjam menghada­pi risiko jatuh ke dalam ekuitas negatif, yang tecermin pada 384 kasus pada akhir Maret.

Bank sentral global telah memangkas suku bunga dan melepaskan jumlah likuiditas keuangan yang belum per­nah terjadi sebelumnya untuk mengangkat ekonomi global dari kemerosotan yang dise­babkan oleh pandemi Covid-19.

“Enam triliun dollar ada­lah jumlah yang mengejutkan, yang setara dengan lebih dari setengah total QE global kumu­latif yang terlihat selama 2009 hingga 2018,” kata Direktur Tim Ekonomi Fitch, Robert Sierra. QE global antara 2009 dan 2018 diketahui berjumlah 11,1 trili­un dollar AS.

Namun menurut Tan, harga properti residensial tidak akan merespons QE saat ini. “Dam­pak marjinal dari pelonggaran moneter dan QE pada tahun 2020 juga cenderung lebih ren­dah, mengingat tingkat suku bu­nga pada tahun 2020 sudah pada posisi siklus baru terendah,” katanya, seraya memperkirakan harga rumah akan turun hingga 20 persen tahun ini, sebagai ke­lanjutan penurunan harga yang dimulai pertengahan 2019.

Tidak Likuid

Pakar ekonomi dari Univer­sitas Airlangga, Imron Mawar­di, mengatakan kelesuan pa­sar properti karena konsumen lebih mengutamakan investasi yang lebih aman dalam situasi penuh ketidakpastian di te­ngah pandemi Covid-19.

“Situasi ketidakpastian yang belum jelas kapan berakhir, mendorong orang untuk berin­vestasi yang sifatnya save heav­en and liquid, sehingga mereka lebih memilih dollar atau emas. Properti memang kalau naik tinggi, tapi jualnya susah, tidak likuid,” ungkapnya.

Namun, kondisi ini lebih berlaku untuk properti pre­mium yang digunakan untuk second home atau investasi, sedangkan pasar rumah seder­hana sehat yang sifatnya ke­butuhan dasar dan bersubsidi tidak lesu karena orang sudah menyiapkan uangnya.

Dalam masa pandemi Cov­id-19, orang sudah mulai sadar tidak lagi membutuhkan kantor atau tempat berjualan. Mereka bisa memanfaatkan platform online untuk menjalankan pe­kerjaan atau mengembang­kan usahanya. Selain efesiensi, turunnya pasar perkantoran disebabkan oleh penurunan demand agregat yang otomatis membuat banyak usaha ber­henti atau tutup. SB/SCMP/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Resmi Buka Cabang di Kuto, Pusat Khitan Sumsel Gelar Khitan Gratis

Karih Penghulu